Perjalanan Sebuah Pemandangan

waktu baca 2 menit
Jumat, 4 Des 2020 21:04 0 76 Redaksi TD

Harum tubuhmu yang perempuan, mengingatkanku tentang jalan-jalan di hari minggu; sepetak ladang gerimis, kotak angin, dan beberapa orang yang menggantung ingatannya pada pohon-pohon sajak, untuk mengekalkan sebuah makam kesepian yang tak terlupakan.

Hari ini menjadi muram. Matahari terbunuh sejak ditanggalnya shubuh. Pemandangan serupa samar, tapi sangat jelas. Aku melihat seorang yang buru-buru mencuci airmata, sebagai hadiah untuk dirinya sendiri– seorang laki-laki yang amat percaya pada kata-kata, menulis cerita agar semua nampak sibuk menganggapnya gila, dan putus asa.

Dari suatu tempat yang menyatakan kegelisahan, di sebuah kafe, aku memesan segelas kopi dengan nama yang kuaduk di dalamnya. Kunyala sebatang tembakau, menyesapnya. Seperti ingin menanggalkan aroma tubuh perempuan, mataku terpejam, dan menerbangkan semua kisah dalam kepulan asap, hingga menyentuh plafon bercat abu-abu.

“Ini kopimu, Mas.” Suara perempuan pelayan kafe mengagetkan lamunanku.
“Iya. Terimakasih. Tapi aku harus pergi sekarang.”

Kutinggalkan segelas kopi yang tak sempat terseruput di atas meja kayu, dengan selembar uang dua puluh ribu, dan beberapa bekas kenangan. Sebab perjalanan harus lekas kutempuh. Sebab tidak semua ingatan perlu dinikmati utuh.

Harum tubuhmu yang perempuan, telah membawaku ke jalan-jalan di hari minggu, sepetak ladang gerimis, kotak angin, dan beberapa orang yang menggantung ingatannya pada pohon-pohon sajak, untuk mengekalkan sebuah makam kesepian yang tak terlupakan. Tetapi, aku mengambil napas terdalam dari setangkai Mawar, membakar seluruh waktu untuk perjalanan berikutnya, hingga menjadi abu yang kusimpan dalam peti kenangan.

Hari ini semakin muram. Aku tidak menemukan laki-laki yang mencuci air-matanya lagi. Ia sepertinya mati, dan abadi sebagai puisi.

Semarang, Desember 2020
Celcius Jouska

LAINNYA