Wak Samad biasa mendongeng untuk anak-anak setiap malam terang bulan. Selepas magrib pada malam terang bulan, terutama saat purnama, Wak Samad selalu siap dengan mug kaleng belangnya yang penuh terisi kopi.
Anak-anak pun sudah hapal dengan jadwal mendongeng itu. Selepas mengaji di rumah Ustaz Bahri, anak-anak tak langsung pulang, tetapi mampir di rumah Wak Samad yang kebetulan bersebelahan dengan rumah Ustaz Bahri. Anak-anak akan duduk membentuk setengah lingkaran, beralas tikar pandan, sementara Wak Samad duduk di tengah. Malam purnama ini Wak Samad berkisah tentang Guriang Sanca.
Cerita berikut ini adalah transkripsi atas dongeng Wak Samad. Tentu saja, bahasa cerita Wak Samad lebih alami dan lebih sederhana daripada ceritaku karena ceritanya ditujukan kepada anak-anak. Jadi, kalau ceritaku berikut ini terasa kaku, itu jelas karena ketakmampuanku bercerita sebaik Wak Samad.
***
Guriang Sanca adalah pengkhianat. Pengkhianat adalah sejenis binatang yang dianggap lebih nista dan menjijikkan daripada belatung. Guriang Sanca memang dianggap belatung. Ia hidup dari bangkai saudara-saudaranya yang ia bunuh sendiri. Berapa banyak saudara seperjuangan yang telah dia korbankan demi sebuah jabatan senapati.
Itulah yang tertanam dalam pikiran setiap prajurit Ki Rubak Sagara yang bermarkas di Gunung Padahyang—kelompok pemberontak yang menentang penindasan kerajaan terhadap rakyat. Sudah sekian lama pasukan ini terdesak makin jauh ke dalam hutan akibat penyisiran dan sergapan Senapati Guriang Sanca dan pasukannya.
***
Sembilan tahun yang lalu pemberontakan yang digalang Ki Rubak tak kunjung mendapatkan kemajuan yang berarti. Berbagai gerakan gerilyanya yang sporadis begitu mudah terlacak anjing-anjing keraton yang segera menumpasnya tanpa ampun. Ke mana pun mereka bersembunyi setelah serangan sergap-dan-lari selalu berhasil diketahui dan dibasmi, padahal tak ada orang lain yang hapal wilayah hutan di selatan Gunung Padahyang itu, selain Ki Rubak. Hanya Ki Rubak yang mengetahui seluk-beluknya. Dialah yang mengenal setiap pohon dan daunnya, setiap ular dan ikannya, setiap riam dan jeramnya, setiap bukit dan lembahnya.
Sembilan tahun yang lalu, setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, Sanca memutuskan memilih jalan perjuangannya sendiri. Dia meyakini bahwa kesetiaannya kepada cita-cita perjuangan harus melebihi kesetiaannya kepada pimpinan sekaligus ayahnya, Ki Rubak Sagara. Ada yang ingin dan harus ia lakukan. Penguasa keraton yang menindas rakyat itu harus ditumbangkan, tak peduli apa pun yang harus ia korbankan. Sanca bertekad melakukan hal yang mustahil: berkubang dalam genangan lumpur, tetapi tetap kalis tak ternoda—tanpa seorang pun tahu. Tanpa berpamitan, ia pun pergi meninggalkan Ki Rubak dan pasukannya: untuk menjadi prajurit istana.
Sembilan tahun yang lalu tak seorang pun bisa menduga apa yang dia pikirkan—tidak juga Ki Rubak. Mulanya, Ki Rubak mengira Sanca sedang kasmaran dan ingin meminang putri Lurah Pasir Kambang, Ni Ratna Asih, yang tampaknya tidak tertarik kepada Sanca. Sebagai ayah yang selama tujuh belas tahun hidup bersamanya, Ki Rubak yakin bisa membaca perasaan putranya itu dan, meskipun Ni Ratna Asih tidak tertarik kepada Sanca, bisa saja Ki Rubak menggunakan pengaruhnya untuk mendesak Lurah Pasir Kambang agar memberikan putrinya. Akan tetapi, ketika ditanyakan, Sanca hanya menggeleng dan tersenyum. “Belum waktunya menghabiskan waktu dengan berkasih-kasihan bersama wanita—yang mana pun,” jawabnya tenang.
Lalu, setelah seminggu sering memisahkan diri dan melamun, tiba-tiba Sanca menghilang dari pasukan. Prajurit yang ditugaskan mencari di seantero hutan Padahyang, bahkan di desa-desa sekitarnya, tak menemukan jejaknya. Sanca ditelan bumi. Keberadaannya baru diketahui setahun kemudian ketika Sanca bertempur sebagai prajurit dalam pasukan keraton—sebagai musuh!
Sejak itu, merebaklah serapah dan berkobarlah dendam. Pasti ular pengkhianat itulah yang selama ini telah menunjukkan tempat persembunyian setiap gugus pasukan. Makanya, di mana pun pasukan kita bersembunyi, pasti berhasil mereka sergap. Hanya markas pusat di lereng Padahyang ini yang masih aman. Itu pun mungkin tak lama lagi. Pasti si ular itu juga yang telah membocorkan strategi serangan yang direncanakan sehingga setiap rencana serangan pasti kandas di tengah jalan dan banyak anggota pasukan yang tertawan.
Ya, nama Sanca telah muspra di antara mereka. Namanya menjadi najis, terlalu busuk untuk mereka sebut. Untuknya telah disematkan julukan yang lebih tepat: si Pengkhianat atau si Ular—meskipun di istana ia dikenal sebagai Senapati Guriang Sanca.
***
Sanca. Nama itu diambil dari jenis ular yang melingkar di dekatnya ketika ditemukan Ki Rubak di tepi hutan. Entah anak siapa. Bagi Ki Rubak yang tak berputra, itu adalah anugerah dari Sang Hyang Keresa. Ular sanca yang berada di dekatnya mendesis ketika Ki Rubak mendekat. Ki Rubak berdiam diri, berusaha menunjukkan niat baiknya dengan tidak menampilkan sikap agresif. Setelah beberapa saat, ular sanca itu pun berlalu. Mungkin itu siluman penjaga yang diutus untuk mengantarkan anugerah itu kepadanya, pikirnya. Peristiwa itu terjadi ketika Ki Rubak mulai menggalang pasukan untuk memberontak terhadap keraton.
Hati Nyi Rubak yang telah menopause itu mendadak jadi sebesar gunung ketika Ki Rubak menyerahkan bayi itu ke pangkuannya. Ia spontan menangis senang sambil menggendong dan menimang-nimang bayi itu. Tak henti-henti juga dia menciuminya. Seperti ada kesepakatan yang tak terucapkan, tak pernah Nyi Rubak menanyakan dari mana bayi itu. Begitu juga Ki Rubak. Ia pun tidak pernah menceritakannya—kepada siapa pun.
Sanca tumbuh sesuai dengan lingkungannya yang keras tetapi bersahaja. Pengasuhnya bukan hanya Nyi Rubak dan Ki Rubak, tetapi juga seluruh anggota pasukan yang selalu berebut untuk mengasuh bocah lucu itu. Mungkin bukan hanya karena Sanca kecil yang lucu dan cerdas, melainkan juga karena setiap anggota yang bertugas mengasuh Sanca akan dibebaskan dari tugas-tugas rutin mereka.
Sejak berusia sekitar lima tahun, Sanca kerap diajak masuk lebih dalam ke hutan untuk berburu atau mencari buah-buahan yang jatuh karena masak. Tidak hanya siang hari, tetapi sering juga malam hari. Karena itu, Sanca terbentuk menjadi anak yang tidak takut pada kegelapan atau hal-hal angker yang dihubungkan dengan kegelapan atau tempat-tempat tertentu.
Dia jadi tahu persis apa cahaya yang berkelebat ke sana ke mari di dalam hutan ketika malam, apa yang berkelap-kelip di batang pohon, sepasang mata apa yang bersinar melotot menatapnya dari atas pohon, sepasang mata mana yang dia bisa tenang saja karena itu mata burung hantu, sepasang mata mana yang membuatnya harus waspada karena itu mata macan kumbang, dan sebagainya. Tentu saja, mulanya ia merasa takut melihat benda-benda itu. Namun, setelah dijelaskan dan dibuktikan apa sebenarnya benda-benda yang terkesan ajaib atau menyeramkan itu, ia pun tak takut lagi.
Sekali waktu, Sanca tercekat ketika pertama kali mendengar suara tangis bayi saat tengah malam di hutan—dia memang belum tahu bahwa dia sendiri dulu ditemukan di dalam hutan. Mang Karta, yang waktu itu bertugas mengajaknya ke dalam hutan, memahami keheranan Sanca.
“Ujang mau tahu apa yang nangis?” tanyanya.
Sanca mengangguk.
“Nanti, Mamang kasih tahu.”
Mang Karta mencabut goloknya, menebang sebatang bambu berukuran sedang. Tidak sampai satu menit, sebatang bambu runcing siap digunakan.
“Ujang tunggu saja di sini sebentar, ya?”
Sanca mengangguk dua kali. Dia tidak takut lagi ditinggal sendirian di hutan malam hari seperti itu. Ini bukan yang pertama.
Mang Karta mencari sumber tangisan bayi dan Sanca berjongkok di bawah pohon. Tak begitu lama setelah Mang Karta pergi, tiba-tiba terdengar suara dengking tertahan dan tangisan bayi terhenti tiba-tiba. Sanca tercekat. Biji matanya bergerak-gerak, mencari-cari ke arah Mang Karta pergi.
Beberapa menit kemudian terdengar langkah kaki di kegelapan. Mang Karta muncul dengan seekor hewan tertancap di ujung bambu runcingnya. Setelah dekat, Sanca melihat hewan seperti kucing.
Mang Karta menguliti hewan itu, menyianginya, lalu memanggangnya. Aroma daging bakar sontak membuat perut Sanca lapar. Dia pun melahap potongan daging yang disodorkan Mang Karta. Malam itu, setidaknya ada dua hal yang tersimpan dalam ingatan Sanca: hewan yang mengeluarkan suara tangisan bayi itu adalah musang dan daging musang bakar enak rasanya.
***
Suatu hari, saat Sanca berusia dua belas tahun, dia menghilang. Nyi Rubak adalah tipe ibu yang harus selalu tahu keberadaan anaknya. Kalau dia tahu Sanca pergi dengan siapa dan untuk tujuan apa, dia tidak akan cemas karena percaya pada perlindungan Ki Rubak atau siapa pun yang ditugaskan menjaga Sanca. Masalahnya, kali ini Sanca pergi tanpa teman, tanpa pamit, dan tak ada kegiatan ke hutan atau ke mana pun. Ki Rubak segera menyuruh sepuluh orang untuk mencari Sanca.
Sepuluh orang menyebar, menyisir setiap jengkal hutan di lereng Padahyang. Sebagian sambil menggerundel karena, begitu beranjak remaja, kelakuan Sanca mulai menjengkelkan. Bukan sekali dua kali dia mengambil dan menyembunyikan pakaian mamang-mamangnya yang sedang mandi. Bukan sekali dua kali juga dia memelorotkan kolor mamang-mamangnya ketika mereka sedang mengobrol. Sekarang ini, pergi enggak pamit, bikin Nyi Rubak khawatir aja. Huh!
Beruntung, penyisir itu tak perlu lama menggerundel karena dia langsung mendapat info dari warga kampung di bawah Padahyang: Sanca di rumah Lurah Pasir Kambang. Dia langsung tersenyum begitu mendengar info itu.
Soal ketertarikan Sanca kepada Ni Ratna Asih semua orang tahu, termasuk Lurah Pasir Kambang, istrinya, dan Ni Ratna Asih sendiri. Remaja yang sebaya dengan Sanca itu juga sudah balig dan mengerti makna segala tingkah laku Sanca, termasuk kunjungannya yang tiba-tiba di siang bolong seperti ini. Sayangnya, dia sendiri tidak tertarik kepada Sanca, terlebih setelah ibunya menjanjikan bahwa dia akan dijodohkan dengan putra Bupati Lebak Kirai yang lebih ganteng dan lebih dewasa.
Baik Ki Rubak maupun Lurah Pasir Kambang tampaknya tenang-tenang saja melihat kelakuan anak-anak mereka. Yang gelisah justru istri-istri mereka. Keduanya diam-diam tidak setuju bila Sanca berjodoh dengan Asih—dengan alasan masing-masing.
Nyi Lurah tidak setuju karena diam-diam dia curiga Sanca itu bukan anak Ki dan Nyi Rubak. Ki Rubak itu orang aneh: tinggal di hutan, tidak mau bermasyarakat, dan kurang terhormat. Juga tidak jelas apa harta yang dimilikinya. Dia tinggal di hutan Padahyang dan bersikap seolah-olah Gunung Padahyang dan seluruh isinya itu miliknya, padahal gunung itu milik keraton. Karena itu, meskipun suaminya sangat menghormati Ki Rubak, dia sendiri cenderung menganggap Ki Rubak sebagai orang yang tidak sederajat dengan dia dan suaminya—dan anak Ki Rubak tentu tidak sederajat dengan anak mereka.
Di pihak lain, Nyi Rubak tidak setuju karena dia mengenal persis Nyi Lurah ketika mereka masih sama-sama remaja di perkampungan dulu. Akan tetapi, tak pernah ia bicara buruk tentang Nyi Lurah. Bahkan, ketika Ki Rubak bertanya apa alasannya tidak setuju Sanca berjodoh dengan Asih, ia hanya mengingatkan Ki Rubak tentang kain kebaya Nyi Lurah yang semuanya bermotif sekuik. Ki Rubak pun paham: motif batik naga berenang seperti itu memang dipakai perempuan sebagai jimat untuk menaklukkan hati suami.
***
Namun, anugerah yang diantarkan ular sanca itu berubah menjadi musibah ketika berusia dua puluh lima tahun. Tak dinyana, Sanca benar-benar menjadi ular sebagaimana siluman penjaganya dulu. Ia menyeberang ke pihak musuh, mengkhianati Ki Rubak dan ratusan pengikutnya. Dengan pengetahuannya yang begitu detail tentang siasat perang Ki Rubak—juga penguasaannya akan seluk-beluk Gunung Padahyang—Sanca telah menjadi ancaman serius. Pemberontakan Ki Rubak pun kocar-kacir dan mereka harus berpindah markas lebih sering daripada sebelumnya. Apakah Sanca tidak kasihan kepada Nyi Rubak, perempuan yang telah merawat dan mengasuhnya dengan sepenuh hati?
Nyi Rubak sendiri tak pernah sekali pun berprasangka buruk terhadap Sanca. Dia selalu menenangkan suaminya yang gusar. Ia selalu yakin, Sanca tidak akan pernah berniat buruk untuk orang tua dan mamang-mamangnya.
Ki Rubak dapat ditenangkan. Bagaimanapun, dia tetap merasa yakin bahwa hasil didikannya tak akan menjadi buah busuk. Akan tetapi, tidak demikian dengan para pengikutnya. Meskipun tidak menyetujui dan pilu mendengarnya, Ki Rubak tidak bisa mencegah ketika para prajurit bersumpah akan mencacah Sanca, mencincang tubuhnya hingga ratusan keping, sejumlah prajurit Ki Rubak yang telah ditangkapnya.
***
Di mata mereka Sanca itu benar-benar ular. Selain licik karena telah mengelabui dan mengkhianati ayah serta saudara-saudaranya, ia juga ternyata pandai menghasut orang untuk bekerja buat istana. Selama dua tahun terakhir ini, sudah sepuluh orang lebih berhasil diajaknya untuk membelot melawan Ki Rubak. Mereka dilantik menjadi bintara di bawah komando Senapati Sanca. Tanpa malu dan kasihan, mereka terlibat dalam penyergapan-penyergapan dan penangkapan-penangkapan pemberontak di berbagai wilayah, termasuk di Padahyang.
Satu hal yang membuat Ki Rubak agak heran: sejak Sanca menjadi bintara yang dipercaya istana untuk menumpas gugus-gugus pasukan Ki Rubak, tak pernah lagi terjadi pembantaian. Pasukan pemberontak yang berhasil disergap dan ditaklukkan—kecuali satu dua yang gugur dalam perlawanan—semuanya ditangkap dan dipenjarakan. Sebagiannya berhasil dihasut untuk membelot.
Di dalam penjara, para pemberontak yang ditawan dihujani berbagai siksaan. Mereka tidak diikat, tetapi secara berkelompok dimasukkan ke dalam aula-aula penyiksaan yang lantainya berupa balok-balok yang dipancang tegak berjajar dengan jarak antara sekitar satu meter. Lantai sebenarnya terletak tiga meter di bawahnya, penuh terisi moncong bambu runcing yang siap menyatai apa pun yang jatuh ke sana.
Setiap tawanan hanya boleh mengenakan kolor dan setiap hari dicambuk, dipaksa untuk berulang-ulang puluhan kali menyeberangi aula itu dengan melompat-lompat bertumpu pada tonggak-tonggak balok. Mayat mereka yang nahas terjatuh dibiarkan menancap di bawah sepanjang hari dan baru dikeluarkan saat tengah malam ketika para tawanan dimasukkan ke dalam ruang-ruang penjara yang panas—seperti ada tungku di balik dinding-dindingnya.
Tak ada hari tanpa penyiksaan yang secara khusus dirancang Senapati Guriang Sanca itu. Para tawanan dikelompokkan ke dalam gelombang-gelombang. Setelah satu bulan di siksa dalam satu aula penyiksaan, para tawanan itu digiring ke aula penyiksaan berikutnya dengan jenis siksaan yang berbeda, sementara gelombang tawanan yang baru dimasukkan ke aula pertama. Begitu seterusnya, berkelanjutan. Tingkat penyiksaan di aula yang berikut selalu lebih berat daripada aula sebelumnya. Semuanya dengan satu risiko utama: mati tersatai bambu runcing di dasar aula.
Ada dua belas jenis aula penyiksaan. Setelah setahun hanya sedikit yang berhasil sampai di aula terakhir dan “lulus” sehingga boleh menikmati sel yang tak panas dinding-dindingnya. Siksaan setelah aula kedua belas juga relatif lebih ringan. Mungkin karena tubuh mereka sudah terbiasa dengan siksaan-siksaan sebelumnya.
Beberapa tawanan yang telah “lulus” dipilih sendiri oleh Senapati Sanca untuk bekerja di berbagai bagian istana, mulai menjadi juru masak, pelayan, hingga tukang kebun dan bagian kebersihan. Semuanya patuh, tak ada yang berani bertingkah karena semuanya diawasi secara ketat oleh Senapati dan orang-orang kepercayaannya.
Kabar tentang penyiksaan yang menelan banyak korban itu sampai juga ke telinga Ki Rubak dan pasukannya. Kebencian dan dendam terhadap Sanca semakin mendidih. Mereka pun mendesak Ki Rubak untuk segera mematangkan rencana menyerbu istana.
***
Tibalah hari yang ditentukan. Ki Rubak menghimpun seluruh pasukan dari berbagai wilayah pemberontakan dan memimpin mereka menyerbu istana. Tidak sebagaimana serbuan-serbuan kecil sebelumnya, serbuan besar-besaran ini tampaknya justru tak tercium oleh istana yang malam itu sedang dimabuk pesta. Ki Rubak memang menerapkan strategi senyap. Ribuan pemberontak bergerak tanpa suara sehingga berhasil mendekati istana tanpa kendala dan penjaga gerbang baru menyadari ketika gerbang dibobol dan ratusan orang membanjir ke dalam. Kepanikan melanda. Perlawanan para prajurit istana dengan cepat dipatahkan para pemberontak. Ditambah lagi, prajurit istana harus menghadapi musuh dari dua arah: dari luar dan dari dalam karena ratusan tawanan ternyata berhasil lolos dari sel-sel tahanan dan langsung menyerang dari dalam, sementara pasukan istana yang berada di luar istana juga dikepung pasukan pemberontak dari berbagai arah.
Seperti macan terluka, Ki Rubak Sagara mengamuk sambil merangsek menuju ruangan pesta. Tujuannya satu: menaklukkan raja. Namun, di sanalah dia dihadang Senapati Guriang Sanca. Pertarungan antara ayah dan anak itu nyaris tak dapat diikuti mata. Setelah sekian puluh jurus, akhirnya kepalan brajamusti Ki Rubak berhasil menghantam dada Guriang Sanca. Ki Rubak melayang mengejar Guriang Sanca yang terlempar membentur dinding dan menghantamkan brajamustinya sekali lagi. Guriang Sanca tak kuasa mengelak atau menangkis.
Setelah Guriang Sanca tertelentang tak bergerak, Ki Rubak menahan serangannya. Bagaimanapun, jiwa kesatria dan rasa kasih sayangnya membuatnya tak tega menghabisi Guriang Sanca yang sudah tak berdaya itu. Dia akan ditangkap untuk diadili bersama para petinggi istana lainnya.
Kesempatan beberapa detik itu segera diambil prajurit di sebelahnya yang langsung menghunjamkan tombaknya bertubi-tubi ke tubuh Guriang Sanca. Prajurit lainnya pun segera membacokkan goloknya berkali-kali, mencacah tubuh dan wajah Guriang Sanca—sebagaimana yang mereka ikrarkan beberapa tahun yang lalu: hingga kepingan tubuhnya sejumlah prajurit yang telah ditangkapnya.
Guriang Sanca binasa. Keraton berhasil dikuasai para pemberontak yang ingar-bingar menyorakkan kemenangan. Sang Raja ditangkap, dihajar habis-habisan, tetapi tak sampai mati. Ia diikat, sementara beberapa petinggi kerajaan yang berusaha melarikan diri berhasil ditangkap dan dihabisi. Tak ada ampun. Kelaliman dan penindasan terhadap rakyat selama mereka berkuasa tak bisa ditebus dengan harta, bahkan nyawa mereka. Sang Raja akan diadili. Mungkin akhirnya digantung atau dipancung di bawah matahari.
***
Dengan penuh kegembiraan, ratusan prajurit mengelu-elukan Ki Rubak Sagara. Dialah pahlawan sesungguhnya. Dialah yang dengan gigih memimpin perlawanan untuk meruntuhkan pemerintah lalim ini demi membebaskan rakyat dari penindasan—meskipun ia dikhianati anak tunggalnya sendiri. Namun, Ki Rubak Sagara malah diam seribu bahasa. Ia menolak diusung dan dielu-elukan. Wajahnya tegang dan muram. Hatinya pilu dan rawan. Ada bayangan sesaat yang melekat kuat menggundahkan hatinya.
Beberapa saat tadi ada yang luput dari perhatian para prajurit ketika mereka dengan beringas mencincang tubuh dan wajah Guriang Sanca. Sesaat sebelum sebilah golok mencacah wajahnya, Ki Rubak melihat Sanca—putra angkatnya yang dikasihinya, yang mereka juluki si Ular Pengkhianat itu—mengangguk lemah dan tersenyum kepadanya.
*****