OPINI | TD – Kegelisahan yang dituangkan ke dalam tulisan ini sudah muncul sejak lama. Melihat realitas ketidakpedulian pemuda terhadap kondisi desanya. Para pemuda desa, khusunya di desa saya tinggal, jauh dari kata progresif. Nyaris benar-benar apatis atas apa pun yang terjadi di desa. Mau maju, stagnan, atau bahkan mundur suatu desa, pemuda tak akan pernah memperhatikannya.
Kondisi itu justru kemudian menjadi peluang bagi para penguasa desa (kepala desa/kades) dan oligarkinya. Terlebih sejak digulirkannya program dana desa. Gelontoran uang yang mengalir ke desa tak juga membuat pemuda merasa penting menjadi bagian dari desanya. Akibatnya, pengelolaan anggaran desa secara ugal-ugalan terjadi di hampir semua desa. Menyedihkan!
Suatu waktu saya membaca tulisan Eko Prasetyo berjudul “Kita Kehilangan Kaum Muda”. Tulisan itu saya baca di web Indoprogress. Seperti biasanya, tulisan-tulisan Eko selalu to the point, tajam, dan menghujam.
Eko membuka tulisannya dengan mengetengahkan pernyataan Bung Karno:
“..kalau pemuda sudah berumur 21, 22 sama sekali tak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa…pemuda yang begini baiknya digunduli saja kepalanya…” (Soekarno).
Saya menangkap maksud Eko menjadikan pernyataan Bung Karno sebagai teras tulisannya sebagai gebrakan atau bahkan tamparan untuk kaum muda. Toh, faktanya banyak kaum muda hari ini yang apatis terhadap politik, atau masuk ke dalam skema politik tetapi menjadi pemuda yang oportunis, fakir idealis. Padahal, kata Tan Malaka, idealisme adalah kemewahan kaum muda.
Eko lalu mengurai kisah fenomenal yang terjadi pada 16 Agustus 1945 malam hari. Ya. Itu adalah peristiwa revolusioner kaum muda yang digawangi diantaranya oleh Chaerul Saleh, Wikana, Jusuf Kunto, dan Sukarni. Mereka dengan berani membawa paksa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Pemuda-pemuda luar biasa itu merasa penting untuk mendesak Soekarno dan Hatta agar segera memproklamirkan Kemerdekaan. Alasannya juga sungguh epik, agar Kemerdekaan Indonesia bukan hasil give away dari Jepang. Kita tahu, bahwa pada tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno, Muhammad Hatta, dan dr. Radjiman Wedyodiningrat terbang ke Vietnam untuk memenuhi panggilan dari Jenderal Hisaichi Terauchi, Panglima tentara Jepang yang bertanggung jawab atas wilayah Asia Tenggara selama Perang Dunia II. Singkatnya, pertemuan itu membahas bahwa Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Tanggal 14 Agustus 1945, saat kembali ke Indonesia, 3 tokoh itu berdebat dengan kaum muda. Soekarno, Muhammad Hatta, dan dr. Radjiman Wedyodiningrat cenderung kompromis dengan kebijakan menunggu apa yang telah dijanjikan Jepang. Di lain sisi, kaum muda justru mendesak agar Kemerdekaan Indonesia segera dikumandangkan. Perihalnya, posisi Jepang sudah sangat terdesak akibat gempuran pasukan sekutu. Pemuda beranggapan, janji Jepang hanyalah akal-akalan mempertahankan wilayah jajahan sekaligus mengharap bantuan.
Perdebatan memanas, Soekarno dan Hatta menganggap pandangan kaum muda tergesa-gesa, terlalu berani, dan beresiko. Sedangkan kaum muda, menganggap Soekarno dan Hatta penakut dan tak berpendirian. Hingga akhirnya terjadilah Peristiwa Rengasdengklok yang pada klimaksnya, tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia Merdeka.
Kita hari ini membayangkan, andai kaum muda tidak bertindak berani pada saat itu, belum tentu Indonesia merdeka. Tanggal 24 Agustus 1945 yang dijanjikan Jepang bisa saja batal dengan berbagai sebab: Jepang berbohong atau Jepang menyerah sehingga wilayah jajahan berpindah tangan. Berkat langkah progresif kaum muda, Indonesia merdeka secara substansial, bukan hasil pemberian.
Kaum muda memang dididik oleh Soekarno dan Hatta serta kaum seangkatan lainnya. Namun saat adalah fundamental dan krusial yang memaksa perdebatan, kaum muda tidak ragu. Kaum muda dengan cergas mengkritik sikap kolot dan feodal. Kaum muda membangun konfrontasi dengan pandangan orang tua, bahkan mendominasinya.
Namun hari ini pula kita dihadapkan pada kenyataan bahwa cerita kaum muda yang idealis dan determinis hanya tinggal kisah sejarah. Hari ini, kaum muda lebih banyak berada di dua blok. Blok pertama, apatis alias tidak peduli. Blok kedua, ikut serta dalam politik bahkan menjadi bagian dari pemerintahan, namun dengan mental yang menyebalkan.
Kaum muda desa, yang dibahas dalam tulisan ini, tidak membawa semangat muda, berani, militan. Melainkan, muda, pengecut, dan menyebalkan. Di beberapa desa, termasuk di desa saya, beberapa pos pemerintahan dan mitranya diisi kaum muda, terutama tentu Karang Taruna (Katar).
Baiklah, kita bedah sedikit Katar. Sederhananya, pengertian Katar adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengembangkan generasi muda. Jelas bahwa Katar adalah wadah kaum muda. Katar memiliki tugas mengaktifkan akal sehat dan nalar kritis pemuda sebagai bagian dari upaya pemberdayaan.
Namun bagaimana realitasnya? Katar hari ini justru menjadi tempat para orang tua dengan cara pandang yang lapuk dan feodal. Kalau pun diisi pemuda, cara pandangnya bahkan melebihi kelapukan orang tua. Katar menjadi organisasi pemuda yang keropos. Cara pikirnya osteoporosis. Katar malah bertindak sebagai kacung kepala desa. Mengamankan segala kebijakan buruk kepala desa sebagai sebuah sabda. Menjengkelkan!
Agar tulisan ini tak terlalu panjang, kita beralih ke lembaga desa lain. Selanjutnya BPD, tak perlu saya jelaskan kepanjangannya. Di beberapa desa, termasuk desa saya, komposisi BPD diisi kaum muda. Mereka tentu potensial menjadi ‘watch dog’ masyarakat desa dalam mengawal anggaran desa. Tapi yang ada, mereka justru menjadi tukang stempel kepala desa. Mereka tak punya nyali, tak ada debat sengit di ruang diskusi. Musyawarah desa hanya menjadi formalitas normatif. Kaum muda itu bisu plus dungu, hanya bisa mengangguk setuju.
Pun di pemerintah desa. Beberapa pos jabatan diisi pemuda. Tapi justru hanya jadi kepanjangan tangan kepala desa. Apa pun keputusan kepala desa, akan dijawab “iya, Pak”. Tak peduli kebijakan itu benar atau salah, atau bahkan merugikan rakyat dan keuangan desa. Apa pun keinginan kepala desa akan dieksekusi, tanpa interupsi, apalagi koreksi. Memalukan!
Para pemuda yang menduduki pos-pos yang disebutkan di atas, bisa jadi memiliki pengetahuan, tanpa tidak memiliki kecerdasan. Mereka bisa saja hafal segala peraturan perundang-undangan, tapi tak memiliki keterampilan untuk menerapkan. Ditambah, pandangan pragmatis akan mata pencaharian. Sehingga mereka lebih takut kepada kepala desa daripada Allah SWT. Para pemuda itu tak sadar, bahwa atas kedunguannya, bukan hanya berpotensi diperiksa di inspektorat, tapi juga dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Blok kedua, yaitu kaum muda yang apatis. Ini banyak faktor, seperti kekecewaan atas perilaku buruk kepala atau memang sudah tak percaya pada lembaga desa. Kelompok pemuda ini, beranggapan bahwa politik desa bukan urusan mereka, tak relevan dengan kehidupan mereka. Padahal hari ini, sudah cukup banyak pemuda desa yang menjadi mahasiswa. Namun tetap saja tak menunjukkan kecenderungan untuk peduli terhadap kondisi desa.
Mereka pemuda desa yang jadi mahasiswa, bisa saja di kampusnya masuk BEM, atau organisasi intra/ektra kampus lain. Mereka turun ke jalan mengkritisi APBN/ABPD atau memprotes Presiden, Gubernur, dan Bupati. Tapi tak pernah mahasiswa asal desa itu turun aksi mengkritisi APBDes atau memprotes kepala desa.
Kadang ada mahasiswa yang datang ke desa untuk melakukan penelitian. Sayang, tujuan mereka semata menyelesaikan tugas penelitian, bukan untuk pendampingan karena kepedulian. Ironis memang.
Hal itu kemudian diperparah dengan tingginya angka pengangguran di desa. Tak semua pemuda desa memiliki kesempatan langsung kuliah usai lulus sekolah. Sebagiannya harus kerja dulu, baru melanjutkan studi. Sebagian lainnya, bahkan sudah menyatakan selesai belajar. Target selanjutnya: kerja.
Namun, mencari kerja tak semudah itu. Adanya pabrik-pabrik di desa memang menawarkan harapan. Namun saya tampungnya pasti ada batasan. Sekalipun ada lowongan, kadang dimanfaatkan oleh kepala desa dan para punakawannya untuk mendulang keuntungan.
Jadilah pemuda desa semakin apatis. Mereka ogah mengikuti program pemberdayaan, mereka hanya membutuhkan pekerjaan. Jangan bicara nalar kritis, karena situasi sudah kronis. Begitulah kira-kira. Padahal, skill alakadarnya. Kalau pun diterima kerja, paling beberapa tahun saja (kontrak). Setelah itu, karena aturan mengharuskan diangkat menjadi karyawan tetap, maka biasanya tak lagi digunakan perusahaan. Usia bertambah, skil tak ada ada, tentu akan semakin sulit cari kerja. Itu bisa jadi karena enggan meningkatkan keterampilan saat masih belia. Ujung-ujungnya, semakin tidak peduli terhadap desa.
Saat Pilkades tiba, kaum muda menunjukkan kedunguannya. Mereka kerap berbondong-bondong ke rumah calon kepala desa untuk berburu isi amplop. Ya, isi pikiran mereka ditukar dengan isi amplop. Mereka sungguh tak peduli siapa yang akan jadi, yang penting, dari semua calon, bisa mengumpulkan pundi-pundi.
Ketidakpedulian pemuda terhadap politik desa akan berdampak buruk terhadap desa dan masyarakat. Apabila ini dibiarkan, ke depan demokrasi di desa akan semakin lemah. Desa hanya akan dikuasai oleh segelintir orang atau bahkan hanya oleh satu keluarga.
Anggaran desa yang jumlahnya besar hanya akan jadi bancakan. Proyek-proyek yang bersumber dari anggaran desa yang memiliki dimensi swakelola hanya akan jadi ladang usaha kepala desa dan kroninya. Belum lagi potensi penyimpanan anggaran. Bila tak diawasi, maka sangat mungkin terjadi korupsi.
Kaum muda desa dibekuk oleh kekuasaan dan keadaan. Cara pandangnya menjadi kerdil. Desa yang katanya merdeka mengatur segala urusannya hanya bergantung pada kebijakan fasik kaum tua.
Sungguh, mengutip dan memodifikasi kalam Eko Prasetyo, desa sangat membutuhkan anak muda yang punya kekerasan dalam sikap, keteguhan pada cita-cita perubahan, dan enggan untuk tunduk pada kekuasaan.
Kaum muda desa memiliki potensi besar untuk membuat perubahan dan masa depan. Sudah saatnya, kaum muda yang duduk di pos lembaga desa bersikap idealis, jangan pragmatis dan oportunis. Buktikan keberadaan kalian di meja lembaga desa mewakili semangat sosial militan. Bila keadaan di dalam sudah memuakkan, keluarlah! Bentuk aliansi perlawanan! Bukankah begitu cara mendidik kekuasaan?! Bukankah kebenaran yang takut diungkapkan saat gelap akan berkumandang saat terang?!
Dan bagi kaum muda desa, sudah semestinya kita pelototi cara kerja kepala desa. Sinisme pada kekuasaan harus selalu kita tanamkan. Karena kekuasaan berpotensi membuat ketidakadilan. Kita harus mulai pertanyakan politik kebijakan anggaran desa. Kita harus kritis terhadap semua lembaga desa karena mereka bekerja dan digaji dengan uang desa.
Kita harus selalu kritis pada kekuasaan desa. Karena secara filosofis, basis sebenarnya dari kritik adalah agama. Sebab, agama adalah kritik untuk perilaku buruk manusia. Sama halnya dengan kritik yang merupakan teguran untuk perilaku buruk kekuasaan. Jadi, kritik bukan sekadar doktrin politik. Karena kritik selalu build-in dalam setiap peradaban, dan setiap peradaban pasti ada kepemudaan.
Pemuda desa jangan lagi canggung, agar dapat melahirkan gagasan yang agung. Ingat! Kekuasaan dapat membuat kecanduan. Namun, tak semua penguasa desa yang kecanduan melahirkan imajinasi pada kemakmuran dan keadilan. Sebab kebanyakan, para pemimpin desa adalah pemimpin medioker, pemimpin yang jauh dari sifat jujur (siddiq), amanah, menyampaikan (tabligh), dan cerdas (fathanah).
Desa harus menemukan lagi kaum muda!
Penulis: Ahmad Romdoni, Sekjen Cangkudu Progressive Movement. (*)