Transformasi Konten Keislaman di Era Digital Indonesia

waktu baca 10 minutes
Selasa, 17 Jun 2025 21:07 0 Redaksi

OPINI | TD — Perubahan cara belajar agama saat ini tidak dapat dipungkiri, beralih dari metode konvensional ke digital. Generasi muda kini lebih banyak memanfaatkan internet dan media sosial untuk mempelajari agama.

Menurut survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2017, sebanyak 50,9 persen pelajar dan mahasiswa mencari pengetahuan agama melalui internet dan media sosial, angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan 48,6 persen yang mengandalkan buku.

Kecenderungan ini semakin meningkat seiring dengan penetrasi internet di Indonesia, yang pada awal tahun 2024 mencapai 79,5 persen dari total populasi. Fenomena “Ustaz Google” dan penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) mulai berfungsi sebagai sumber jawaban atas pertanyaan-pertanyaan agama.

Fenomena “Ustaz Google” mendorong generasi muda untuk mencari jawaban instan di dunia digital, menggeser pola belajar tradisional seperti pengajian tatap muka menuju interaksi personal di ruang maya.

Media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok, serta aplikasi Islami, kini menjadi platform dakwah baru. Para ustaz dan pendakwah aktif membuat konten ceramah, kajian fikih, dan sesi tanya jawab agama melalui live streaming maupun video pendek.

Kemudahan akses ini memungkinkan siapa saja untuk mempelajari ilmu agama kapan saja dan di mana saja, mengatasi batasan ruang dan waktu yang ada dalam metode konvensional.

Dampak Positif Digitalisasi

Akses informasi keagamaan kini menjadi lebih mudah. Dakwah digital mampu menembus batas geografis, memungkinkan siapa pun untuk mendengarkan ceramah dari ulama terkemuka secara online, membaca tafsir Al-Qur’an melalui ponsel, atau mempelajari hadits melalui aplikasi. Ini sangat membantu masyarakat di daerah terpencil yang sebelumnya kesulitan mendapatkan ilmu agama.

Oleh karena itu, media sosial perlu menghadirkan konten dakwah yang interaktif, kreatif, dan menarik bagi generasi muda. Pendekatan visual di Instagram dan TikTok, podcast kajian, serta infografis keislaman membuat pembelajaran agama menjadi lebih menarik. Jangkauan dakwah pun meluas, melintasi batas usia dan gaya belajar.

Era digital juga memfasilitasi terbentuknya komunitas Muslim lintas negara. Melalui grup WhatsApp, Telegram, dan forum daring, umat dapat berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bertukar ilmu.

Solidaritas umat semakin kuat, contohnya penggalangan dana kemanusiaan untuk korban bencana yang dapat dilakukan dengan cepat melalui media sosial, melibatkan donatur dari berbagai belahan dunia.

Efek Negatif Digitalisasi

Namun, terkait distribusi narasi keagamaan di media sosial Indonesia, riset PPIM UIN Jakarta menunjukkan bahwa narasi konservatif mendominasi hingga 67,2 persen antara tahun 2009-2019, sementara narasi moderat hanya mencapai 22,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa suara Islam moderat sering kali tenggelam di tengah dominasi narasi konservatif.

Penelitian juga menunjukkan bahwa akun dengan paham Islamis atau konservatif memiliki potensi viral yang lebih tinggi dibandingkan akun moderat, sehingga pesan Islam wasathiyah kalah dalam gaung di ruang digital.

Arus informasi digital yang bebas membuka peluang penyebaran konten menyesatkan. Munculnya hoaks berbalut agama, hadits palsu, dan tafsir keliru yang beredar luas menjadi masalah serius. Kurangnya literasi digital membuat sebagian masyarakat mudah terpengaruh oleh disinformasi yang dapat memicu salah paham dan polarisasi.

Algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten sensasional yang berbasis engagement. Akibatnya, materi provokatif atau ekstrem lebih mudah viral dibandingkan konten moderat dan edukatif. Pengguna dapat terjebak dalam filter bubble yang mempersempit sudut pandang dan memperkuat radikalisasi melalui rekomendasi konten sejenis.

Kelompok ekstremis juga memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan ideologi radikal dan merekrut simpatisan. Pada tahun 2024, pemerintah memblokir sekitar 180.954 konten yang mengandung intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di ranah siber. Konten tersebut sebagian besar berupa propaganda dari jaringan teroris, menunjukkan luasnya peredaran konten berbahaya yang mengancam pemahaman Islam moderat di dunia maya.

Islam Kebangsaan, Demokrasi, dan Keutuhan NKRI

Hasil survei SMRC 2017 menunjukkan bahwa 79,3 persen responden menilai NKRI yang berideologi Pancasila sebagai bentuk negara terbaik, sementara hanya 9,2 persen yang setuju Indonesia menjadi negara khilafah. Mayoritas umat Islam Indonesia mendukung konsep Islam kebangsaan yang sejalan dengan demokrasi Pancasila.

Keterikatan antara pemahaman keislaman yang wasathiyah dan nasionalis dengan komitmen terhadap NKRI terbukti kuat, sehingga peran Islam moderat sangat penting dalam menjaga eksistensi Indonesia sebagai negara majemuk. Meskipun pendukung ide khilafah hanya minoritas, jumlah absolutnya signifikan (sekitar 20 juta penduduk), sehingga tetap perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap stabilitas nasional.

Organisasi Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah konsisten menanamkan nilai-nilai Islam wasathiyah yang mencintai tanah air. Keduanya merepresentasikan kekuatan civil society Islam dan berperan penting dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Studi menunjukkan bahwa penguatan Islam moderat melalui NU dan Muhammadiyah berkaitan langsung dengan keberlanjutan demokrasi dan keselamatan masyarakat di Tanah Air. Pemahaman “Islam kebangsaan” berfungsi sebagai benteng terhadap ideologi transnasional yang mengancam NKRI.

Misalnya, konsep khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap tidak sesuai dengan Indonesia dan dapat mengganggu persatuan nasional. Pemerintah bertindak tegas untuk membubarkan kelompok semacam itu demi menjaga Pancasila dan UUD 1945.

Ini menegaskan bahwa dukungan umat terhadap demokrasi Pancasila harus disertai dengan kewaspadaan terhadap ide-ide radikal yang dapat memecah belah bangsa.

Risiko Konten Keislaman Digital Tanpa Sanad

Era digital juga melahirkan banyak influencer agama tanpa latar belakang keilmuan yang memadai. Popularitas di media sosial sering kali menggeser otoritas ulama tradisional, sehingga muncul “ustadz medsos” dengan ribuan pengikut meskipun pengetahuan agamanya dangkal.

Fenomena ini menantang sistem otoritas keagamaan konvensional, karena konten viral sering kali lebih didengar dibandingkan nasihat dari kiai yang memiliki sanad. Dalam tradisi Islam, belajar harus dilakukan dengan berguru kepada ulama yang memiliki rantai keilmuan yang terhubung hingga Rasulullah.

Konten agama digital yang tidak memiliki sanad berisiko menyesatkan. Ulama mengingatkan bahwa tanpa sanad, orang dapat berbicara tentang agama sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan pribadi. Banyak kasus di mana ayat atau hadits dikutip secara sepotong-sepotong di media sosial untuk membenarkan kekerasan atau sikap intoleran.

Belajar agama secara otodidak melalui internet tanpa bimbingan guru dapat berbahaya. Generasi muda yang hanya mengandalkan Google atau YouTube rentan terpapar tafsir tekstual sempit, teori konspirasi, atau ideologi ekstrem. Tanpa sistem sanad yang memverifikasi kebenaran ilmu, pintu masuk radikalisme menjadi terbuka lebar di ranah digital.

Peran Ormas Keagamaan dalam Menjaga Islam Wasathiyah

Organisasi masyarakat sipil Islam seperti NU dan Muhammadiyah berupaya memenuhi ruang digital dengan konten Islam wasathiyah. Misalnya, situs NU Online telah diakui sebagai rujukan informasi keislaman moderat di dunia maya. Keduanya aktif menerbitkan artikel, fatwa, dan video ceramah yang mengajarkan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Kesadaran bahwa “internet adalah wilayah dakwah” mendorong ormas moderat untuk lebih giat hadir di media sosial. NU, Muhammadiyah, dan ormas lainnya membentuk tim cyber dakwah (seperti Cyber Army NU) untuk menyebarkan pesan wasathiyah. Mereka juga bekerja sama dengan pemerintah (Kominfo, BNPT) dalam program deradikalisasi online, seperti pembuatan konten kontra-narasi ekstrem dan pelaporan konten radikal.

Ormas keagamaan perlu menjalankan pelatihan literasi digital bagi da’i dan anggotanya agar melek teknologi. Di sisi lain, kader muda didorong untuk memproduksi konten kreatif Islam moderat (infografis, vlog, podcast) agar dapat bersaing dengan narasi konten radikal di lini masa. Langkah ini sejalan dengan anjuran agar ormas Islam moderat lebih banyak terlibat di dunia maya, agar internet tidak didominasi oleh paham keras.

NU dan Muhammadiyah perlu menekankan pentingnya sanad keilmuan, meskipun dakwah beralih ke digital. Melalui lembaga pendidikan dan pesantren daring, mereka memastikan ajaran yang disebarkan tetap bersumber dari ulama otoritatif. Peran ini menjaga otentisitas pemahaman agama di tengah banjir konten tanpa sanad.

Tantangan dan Solusi

Konten provokatif cenderung lebih menarik bagi algoritma dibandingkan pesan moderat. Narasi intoleran sering kali tampil lebih mencolok di media sosial karena sifatnya yang kontroversial dan emosional, sementara konten wasathiyah sering kali tenggelam karena kurangnya engagement.

Influencer ekstrem dapat membangun echo chamber yang mengisolasi audiens dari pandangan alternatif. Kelompok moderat juga menghadapi tantangan silent majority vs noisy minority, di mana kelompok moderat yang mayoritas cenderung diam, sementara kelompok ekstrem sangat vokal.

Fakta di banyak tempat menunjukkan rendahnya literasi digital. Banyak pengguna belum mampu memilah mana konten keagamaan yang kredibel. Hoaks dan ujaran kebencian mudah dipercaya jika dikemas dengan nuansa agama.

Minimnya verifikasi dalil (cek sanad, validitas hadis) di kalangan awam membuat misinformasi tumbuh subur. Selain itu, serangan siber terhadap juru bicara moderat (seperti perundungan digital, doxing) dapat mengintimidasi dan membungkam penyebaran pesan damai.

Lalu, bagaimana solusinya? Edukasi dan literasi digital keagamaan adalah kunci. Umat perlu dibekali keterampilan untuk memverifikasi sumber ajaran (cek sanad hadis, konteks ayat), mengevaluasi kredibilitas ustaz online, dan mengenali ciri-ciri konten radikal.

Program edukasi melalui workshop, kurikulum formal, hingga kampanye publik harus digencarkan oleh ormas, kampus, dan pemerintah untuk membangun sikap kritis dalam mengonsumsi konten religi.

Kaum moderat perlu lebih proaktif dan kreatif di ruang digital. Da’i dan akademisi Muslim harus memanfaatkan berbagai platform (YouTube, podcast, TikTok) dengan strategi konten yang relevan bagi anak muda. Narasi Islam wasathiyah dapat dikemas melalui storytelling, seni, atau humor yang menarik tanpa mengurangi esensi.

Upaya kolektif ini sejalan dengan ajakan agar masyarakat dan ormas menyebarkan pesan rahmatan lil alamin di dunia maya guna membendung pengaruh radikalisme. Diperlukan sinergi multi pihak untuk menjaga moderasi beragama di era digital, melibatkan pemerintah, ormas, komunitas, dan platform teknologi.

Misalnya, BNPT dapat menggandeng kaum muda melalui program Duta Damai Dunia Maya untuk memproduksi konten kontra-radikalisme. Pemerintah juga perlu mengadakan pelatihan bagi aparatur humas lintas lembaga untuk menyebarkan narasi moderat. Kerja sama dengan perusahaan media sosial dalam moderasi konten (filter otomatis, fact-checking) juga perlu ditingkatkan. Sinergi ini akan memenuhi lini masa dengan konten positif dan menekan penyebaran ide ekstrem.

Rekomendasi Strategis

Ormas keagamaan harus meningkatkan kehadirannya di ranah digital dengan menyebarkan konten Islam wasathiyah secara massif. Diperlukan pembentukan tim media sosial profesional yang memahami algoritma platform, sehingga pesan moderat dapat menjangkau audiens yang lebih luas.

Pelatihan bagi da’i muda dalam pembuatan konten kreatif (desain grafis dakwah, editing video) juga penting agar dakwah digital lebih menarik. Selain itu, ormas harus aktif berkoordinasi dengan pemerintah dan platform media sosial (Facebook, YouTube) untuk memoderasi konten, seperti melaporkan akun penyebar hoaks dan mendorong penghapusan konten berbahaya.

Akademisi dan institusi pendidikan juga perlu melakukan riset mendalam terkait pengaruh media digital terhadap pemahaman keagamaan, sehingga dapat dirumuskan pendekatan efektif untuk menghadapi radikalisme online. Perguruan tinggi bisa memasukkan materi literasi digital religius dalam kurikulum studi Islam maupun umum, serta membekali mahasiswa dengan kemampuan navigasi informasi agama di internet.

Akademisi juga perlu menjalin kemitraan dengan ormas dan pemerintah dalam membuat counter narrative, seperti menyusun modul dakwah wasathiyah berbasis riset atau membangun pusat informasi digital (website) yang berisi klarifikasi isu-isu keagamaan terkini. Dengan demikian, komunitas akademik dapat berkontribusi sebagai think-tank dan pengawas konten, serta memastikan ruang siber tidak dikuasai oleh narasi ekstrem.

Ormas dan kalangan akademik perlu berkolaborasi erat. Misalnya, mengadakan forum diskusi rutin tentang tren konten Islam di media sosial dan berbagi temuan penelitian dengan praktisi dakwah digital. Keduanya dapat mendorong pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung penyebaran Islam moderat, seperti kampanye nasional kontra hoaks atau regulasi transparansi algoritma.

Pendekatan penta-helix (pemerintah, ormas, akademisi, industri, dan komunitas) sangat dianjurkan untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan edukatif bagi umat.

Penutup: Mengukuhkan Peran Islam Wasathiyah

Digitalisasi konten keislaman ibarat pisau bermata dua. Tantangan berupa maraknya ekstrimisme dan disinformasi harus dijawab dengan memperkuat penyebaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Islam wasathiyah yang ramah dan inklusif perlu terus dikampanyekan di platform digital.

Pemahaman Islam wasathiyah yang berkelindan dengan nilai kebangsaan dan demokrasi telah terbukti menjadi penopang persatuan Indonesia. Di tengah masyarakat yang majemuk, wasathiyah Islam berperan sebagai perekat sosial yang menjunjung toleransi dan keberagaman.

Upaya menanamkan nilai-nilai Pancasila, demokrasi, dan HAM seiring dengan ajaran Islam wasathiyah akan menciptakan kehidupan harmonis dalam kemajemukan. Kolaborasi antara ormas, akademisi, pemerintah, dan generasi muda dalam menjaga ruang siber dari ideologi menyimpang harus terus diperkuat.

Dengan visi bersama, konten keislaman digital dapat dijadikan sarana dakwah yang mencerahkan, menebarkan kedamaian, serta memperkokoh tatanan sosial yang inklusif di Indonesia. Islam wasathiyah yang diwariskan oleh ulama terdahulu hendaknya menjadi arus utama, sehingga Indonesia tetap teguh sebagai bangsa yang religius sekaligus pluralis.

Penulis: Masduki Baidlowi, Ketua MUI Pusat Bidang Informasi dan Komunikasi. Materi ini disajikan dalam acara Pelatihan Standarisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman MUI pada 16 Juni di Kantor BRIN Jakarta. (*)

LAINNYA