LINGKUNGAN | TD – Isu sawah padi sebagai penghasil emisi metana yang cukup besar dan memperparah pemanasan global tentu menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh negara-negara penghasil padi seperti Indonesia.
Isu negatif yang diunggah pada akun media sosial World Economic Forum tersebut juga menginformasikan bahwa para peneliti dari Singapura yang tergabung dalam Tim Laboratorium Ilmu Hayati Temasek sedang bergerak untuk mengadakan penelitian untuk memberikan solusi.
Lalu, bagaimana dengan kepedulian Pemerintah Indonesia?
Indonesia merupakan negara yang penduduknya sebagian besar mengkonsumsi nasi (beras). Pertanian padi di Indonesia pun cukup banyak dan ada di hampir semua wilayah. Sehingga perhatian terhadap risiko timbulnya emisi metana harus diperhatikan.
Kepedulian departemen pertanian Pemerintah Indonesia pada masalah ini ternyata sudah ada sejak lama. Salah satu buktinya adalah penelitian pada tahun 2015 oleh A Wihardjaka dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian yang diunggah melalui repository.pertanian.go.id.
Dalam publikasi penelitian tersebut dijelaskan bahwa gas metana timbul karena aktivitas bakteri metanogen (penghasil metana) yang tumbuh subur dalam genangan air yang terus menerus.
Perkembangan bakteri tersebut juga didukung oleh suhu air yang cukup tinggi (30-40 derajat Celcius) dan pH netral. Adanya sisa-sisa tanaman yang sedang membusuk, seperti sisa-sisa akar maupun sisa-sisa jerami yang dibenamkan, juga menjadi salah satu sebab metana semakin banyak dihasilkan.
Wihardajaka juga menuliskan bahwa Indonesia telah mempunyai beberapa varietas padi unggul yang dapat menekan besaran metana dari sistem sawah padi. Yakni varietas Way Apoburu, Tukad Balian, IR64, Memberamo, Inpari 1, Cisantana, Dodokan, dan Ciherang. Keunggulan berbagai varietas padi dalam meminimalisir produksi metana ini sudah diumumkan oleh Balitbangtan pada 2011.
Kunci keunggulan varietas padi tersebut berada dalam kemampuannya membentuk keseimbangan termodinamik dengan mengeluarkan O2 di sekitar perakaran tanaman secara terkonsentrasi sehingga dapat memecah CH4 (metana) melalui proses oksidasi.
Dalam penelitian Mudatsir Najamudin yang diunggah kemdikbud.go.id dari Jurnal Agribisnis tahun 2014, juga disebutkan bahwa sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) dapat digunakan untuk mengurangi produksi metana di lahan sawah padi.
Namun, penggunaan sistem TOT mempunyai tantangan tersendiri, karena para petani di Indonesia terbiasa menggunakan sistem Olah Tanah Sempurna (OTS) yang diyakini dapat memberikan ruang optimal untuk pertumbuhan akar.
Penggunaan sistem irigasi berselang atau putus-putus menjadi saran lanjutan bersama penggunaan urea tablet ataupun amonium sulfat.
Selain itu, penggunaan pupuk organik yang benar-benar matang menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Kompos daun maupun kotoran ternak yang belum matang dipastikan memperbesar emisi metana saat pembusukan terus berlangsung.