OPINI | TD – Beberapa waktu lalu, saya membuka WhatsApp dan secara tidak sengaja melihat story dari seorang guru yang sangat saya hormati, Pak Nurohmat. Biasanya, saya tidak terlalu memperhatikan story WhatsApp satu per satu, tapi kali ini ada sesuatu yang membuat saya berhenti dan membaca lebih dalam. Ada dua unggahan yang beliau bagikan, dan keduanya membuat saya merenung cukup lama. Berikut isi story tersebut:
Story pertama:
Islamic Knowledge: Religious Knowledge & Scientific Knowledge. The Scientific Knowledge is called “Wisdom (Hikmah)”. ~ Hussein Hilmi Isik ~
Story kedua:
Konon manusia itu ada 3 kategori berdasarkan kapasitas ilmu & standar etisnya.
1.Manusia Beradab: Maju dalam ilmu pengetahuan & memiliki standar etis yang tinggi dalam harta, tahta, dan wanita/pria.
2.Manusia Bandit: Maju dalam ilmu pengetahuan tetapi nir-etik & amoral.
3.Manusia Bar-bar: Nir-ilmu & nir-etik. (Huseyn Hilmi Isik, Ulama Turkiye)
Membaca story itu, saya merasa seperti sedang diajak berdialog secara tak langsung. Bukan hanya tentang ilmu, tapi juga tentang siapa kita sebagai manusia dan bagaimana kita menggunakan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata. Maka dari itu, saya terdorong untuk menuliskan refleksi ini, semoga bisa menjadi renungan bagi kita bersama.
Ilmu dan Hikmah: Dua Pilar Pengetahuan dalam Islam
Dalam unggahan pertama, Pak Nurohmat mengutip Huseyn Hilmi Isik, seorang ulama asal Turki, yang menyampaikan bahwa dalam Islam terdapat dua jenis pengetahuan: Religious Knowledge dan Scientific Knowledge. Yang menarik, pengetahuan ilmiah disebut sebagai Wisdom, yang dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai “Hikmah”.
Di sini, kita bisa melihat bahwa dalam perspektif Islam, ilmu pengetahuan tidak hanya sekadar akumulasi data atau teori-teori teknis. Ilmu harus mengarah pada hikmah, yaitu pemahaman mendalam yang membuahkan kebijaksanaan dalam bertindak. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa diterapkan dengan penuh kesadaran moral, bukan sekadar pengetahuan kosong yang hanya berhenti di otak.
Dalam konteks ini, ilmuwan sejati bukanlah mereka yang sekadar menguasai teori, tetapi mereka yang juga memahami dampak sosial, etis, bahkan spiritual dari ilmunya. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan nilai-nilai moral dan keagamaan.
Tiga Jenis Manusia: Cermin Bagi Diri Kita
Story kedua Pak Nurohmat menjelaskan konsep yang sangat dalam namun disampaikan dengan cara yang sederhana. Masih dari Huseyn Hilmi Isik, manusia dibagi menjadi tiga kategori:
Refleksi dari pembagian ini membuat saya bertanya pada diri sendiri: Saya termasuk yang mana?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, karena kadang kita merasa sudah tahu banyak hal, tetapi dalam praktiknya, kita masih sering menomorduakan etika. Atau sebaliknya, kita merasa sudah bermoral, tetapi belum cukup mencari ilmu untuk berkembang.
Tantangan Zaman Sekarang
Di era digital ini, akses terhadap ilmu sangat terbuka lebar. Kita bisa belajar apa saja hanya dengan koneksi internet. Namun, tantangannya justru semakin besar: bagaimana kita memastikan bahwa ilmu yang kita pelajari benar-benar bermanfaat dan tidak menjerumuskan?
Banyak orang cerdas yang justru terjebak dalam sikap arogan karena merasa dirinya lebih tahu. Banyak pula yang memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan hoaks atau memperkaya diri sendiri. Ini adalah contoh nyata dari tipe “manusia bandit” yang disebutkan dalam story tadi.
Sementara itu, sebagian masyarakat masih belum menyadari pentingnya belajar dan memperbaiki diri. Mereka terjebak dalam rutinitas dan kadang lebih percaya pada informasi sesat dibanding pengetahuan yang benar. Ini menunjukkan bahwa masih banyak yang masuk kategori “manusia bar-bar”.
Menuju Manusia Beradab
Tujuan hidup kita semestinya adalah menjadi “manusia beradab”, yaitu manusia yang tidak hanya pintar, tapi juga bijak dan beretika. Menjadi beradab berarti tidak hanya fokus pada pencapaian duniawi, tetapi juga peduli pada bagaimana cara kita mencapainya.
Untuk bisa seperti itu, kita harus terus belajar—tidak hanya ilmu dunia, tapi juga ilmu agama. Kita harus rajin membaca, berdiskusi, mengamati, dan yang paling penting: merenung. Apa yang kita pelajari hari ini? Apakah itu membawa kita lebih dekat kepada kebaikan? Apakah itu membuat kita lebih peduli kepada sesama?
Penutup
Story WhatsApp Pak Nurohmat memang singkat, tapi maknanya sangat dalam. Kadang hal-hal yang terlihat sepele justru bisa membuka pintu kesadaran. Dari dua kutipan itu, saya belajar bahwa ilmu bukanlah tujuan akhir, melainkan jalan menuju hikmah. Dan hidup bukan sekadar tentang menjadi pintar, tapi tentang menjadi manusia yang beradab.
Semoga kita semua bisa belajar menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga matang secara spiritual dan moral. Karena seperti kata pepatah, “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa cahaya.”
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon. (*)