Ilustrasi: Rekayasa gambar dibuat menggunakan kecerdasan buatan (AI)OPINI | TD — Pelantikan Andra Soni dan Dimyati Natakusumah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten membawa optimisme baru di tengah masyarakat. Visi mereka — “Banten Maju, Adil, Merata, Tidak Korupsi” — menggema sejak masa kampanye, menanamkan harapan akan perubahan nyata. Kini, setelah beberapa waktu berlalu, publik menunggu bukti: sejauh mana janji politik itu benar-benar diwujudkan dalam kebijakan konkret?
Janji politik tidak sekadar retorika. Bagi rakyat, janji yang ditepati menjadi tolok ukur kepercayaan sekaligus kualitas demokrasi. Sebaliknya, janji yang diingkari memperlebar jurang antara pemimpin dan rakyat. Andra–Dimyati menjanjikan banyak hal: pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, seratus ribu lapangan kerja baru, pembangunan infrastruktur merata, birokrasi tanpa korupsi, serta subsidi harga pokok dan kesejahteraan petani. Namun, janji sebesar itu menuntut pembuktian melalui capaian yang terukur, bukan sekadar klaim.
Program pendidikan gratis memang terealisasi. Iuran sekolah dihapus, beasiswa diperluas, dan angka partisipasi pendidikan meningkat. Namun, di balik angka tersebut, masih banyak pekerjaan rumah. Sekolah-sekolah di pedesaan kekurangan fasilitas, tenaga pengajar belum merata, dan kualitas pembelajaran belum meningkat signifikan. Gratis memang penting, tetapi pendidikan yang bermutu jauh lebih utama. Rakyat kini bertanya: apakah pendidikan gratis tanpa kualitas cukup untuk mencetak generasi unggul?
Kesehatan menjadi salah satu janji utama. Program kartu kesehatan daerah berhasil memperluas jangkauan kepesertaan, sehingga hampir seluruh warga terdaftar. Secara administratif, capaian ini patut diapresiasi. Namun, realitas di lapangan berbeda: antrean panjang, obat kerap kosong, dan tenaga medis terbatas. Rakyat memang memiliki kartu, tetapi tidak selalu mendapatkan pelayanan layak. Janji layanan kesehatan universal tampak megah di atas kertas, tapi belum terasa di ruang tunggu puskesmas dan rumah sakit.
Janji menciptakan 100 ribu lapangan kerja dalam lima tahun terdengar meyakinkan. Sayangnya, capaian hingga tahun ketiga baru sekitar 60 ribu pekerjaan, sebagian besar di sektor informal dengan pendapatan rendah dan tanpa perlindungan kerja. Program pemberdayaan UMKM sudah berjalan, tetapi akses masih sulit, terutama bagi pelaku usaha kecil di daerah. Alur birokrasi yang berbelit justru membuat program sulit dirasakan manfaatnya. Akibatnya, janji membuka lapangan kerja berubah menjadi sumber kekecewaan publik.
Sektor infrastruktur menjadi wajah paling terlihat dari pemerintahan Andra–Dimyati. Jalan diperbaiki, jembatan dibangun, dan jaringan internet meluas di wilayah perkotaan. Namun, pemerataan pembangunan belum tercapai. Banyak desa terpencil masih terisolasi dan minim akses transportasi. Pembangunan cenderung terpusat di kawasan perkotaan, meninggalkan daerah pinggiran. Janji “pembangunan merata” masih sebatas slogan yang belum sepenuhnya dirasakan rakyat di pelosok.
Transformasi digital dalam layanan publik menjadi langkah maju. Warga kini dapat mengurus berbagai dokumen secara daring dengan waktu lebih singkat. Namun, peningkatan efisiensi belum diiringi peningkatan integritas. Kasus dugaan korupsi proyek infrastruktur justru menodai upaya menuju pemerintahan bersih. Rakyat tidak hanya menginginkan birokrasi cepat, tetapi juga pemimpin yang berintegritas. Digitalisasi tanpa moralitas hanya akan menghasilkan kecepatan dalam ketidakjujuran.
Program subsidi harga pokok dan dukungan untuk petani menjadi daya tarik kuat saat kampanye. Pada awalnya, kebijakan ini berhasil menstabilkan harga dan menumbuhkan optimisme di kalangan petani. Namun, stabilitas itu tidak bertahan lama. Harga komoditas kembali fluktuatif, tengkulak tetap berperan dominan, dan perlindungan terhadap petani lemah. Kebijakan yang seharusnya strategis justru bersifat reaktif. Janji “petani sejahtera” pun belum menjelma menjadi kenyataan.
Rakyat Banten mampu menilai. Mereka melihat adanya kemajuan nyata seperti sekolah gratis, perbaikan jalan desa, dan layanan digital yang lebih efisien. Namun, mereka juga menyaksikan kekurangan yang belum terselesaikan: mutu pendidikan rendah, pelayanan kesehatan terbatas, pembangunan belum merata, dan integritas birokrasi yang masih rapuh.
Pada awal masa jabatan, Andra–Dimyati menumbuhkan harapan besar bahwa Banten akan berbenah. Kini, mereka dihadapkan pada ujian kepercayaan. Saatnya beralih dari kebijakan populis menuju program berkelanjutan yang menyentuh akar persoalan masyarakat. Pemerintahan yang bersih tidak hanya diukur dari seberapa cepat layanan publik berjalan, tetapi seberapa jujur dan adil pemimpinnya menepati janji.
Janji politik seharusnya tidak berhenti di panggung kampanye. Ia harus hidup dalam keseharian rakyat—dalam sekolah yang bermutu, layanan kesehatan yang manusiawi, pekerjaan yang layak, harga pangan yang stabil, dan birokrasi yang benar-benar bersih. Di situlah ukuran sejati keberhasilan pemimpin: bukan pada seberapa indah mereka berbicara, tetapi pada seberapa nyata mereka menepati kata.
Penulis: Elsa Rahayu Ramadhani
Mahasiswa Semester 1, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik
Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)