10 Angkatan Sastrawan dalam Sejarah Sastra Indonesia

waktu baca 5 minutes
Sabtu, 22 Jul 2023 11:21 0 Patricia Pawestri

TANGERANG | TD – Sastra Indonesia telah tumbuh sebelum abad ke-20. Dalam sejarahnya yang panjang dan beragam, sastra Indonesia mulai dikenal sejak masa Pujangga Lama. Karya-karya zaman Pujangga Lama meliputi ragam syair, pantung, gurindam, dan hikayat.

Perkembangan sastra Indonesia selanjutnya diwarnai dengan kelahiran Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, dan Angkatan Pujangga Baru. Selanjutnya penyebutan para sastrawan kemudian dikelompokkan menurut tahun karyanya, yakni Angkatan ’45, Angkatan ’50-an, Angkatan ’66 hingga ’70-an, dan dasawarsa ’80-an. Dilanjutkan menurut tonggak sejarah Indonesia memasuki tahun-tahun setelah kelengseran Orde Baru, yakni Angkatan Reformasi. Dan, terakhir, angkatan milenial.

Berikut ini adalah beberapa karya terkenal yang lahir menurut angkatannya.

1. Angkatan Pujangga Lama

Tokoh pertama yang dikenal pada zaman Angkatan Pujangga Lama adalah Hamzah Fansuri. Beberapa karyanya yaitu Syair Perahu, Syair Burung Unggas, dan Syair Dagang.

Selain Hamzah Fansuri, salah satu tokoh yang terkenal dalam angkatan ini adalah Raja Ali Haji dengan karyanya Gurindam Dua Belas.

2. Angkatan Sastra Melayu Lama

Zaman angkatan ini berumur cukup panjang, yakni 1870 hingga 1942. Karya sastra yang muncul pada masa itu biasanya berbentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat.

Beberapa karya yang terkenal dari angkatan ini antara lain Robinson Crusoe yang merupakan novel terjemahan, novel Nyai Dasima oleh G Francis, Bunga Rampai karya AF van Dewall, dan Hikayat Siti Mariah buah tangan Hadji Moekti. Angkatan ini sebenarnya mencatat lebih dari 3.000 karya sastra.

3. Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pustaka menunjukkan keberadaannya sejak tahun 1920, atau 12 tahun setelah Balai Pustaka didirikan oleh pemerintah Belanda di 15 Agustus 1908.

Saat itu pemerintah kolonal bermaksud memproduksi bahan bacaan untuk anak-anak yang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Disamping itu, dengan membuat penerbitan ini, pemerintah Belanda juga menekan sastra Melayu yang dikonotasikan sebagai bacaan liar dan rendah.

Salah satu penulis yang dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka adalah Abdul Muis yang menulis novel Salah Asuhan (1928).

Selain Salah Asuhan, novel lainnya yang terkenal dari zaman ini adalah Siti Nurbaya. Kedua novel tersebut berisi kritik tajam terhadap budaya konservatif yang kolot dan membelenggu pada masa itu.

4. Angkatan Pujangga Baru

Respon para penulis sastra terhadap adanya angkatan Balai Pustaka melahirkan angkatan baru, yakni Angkatan Pujangga Baru. Karakter dari karya-karya yang timbul dari angkatan ini adalah cerminan intelektualitas dan tumbuhnya rasa nasionalisme yang tumbuh mengiringi zaman perjuangan di Indonesia.

Salah satu karya terkenal dari zaman ini adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Dan bukan kebetulan, STA juga mendirikan majalah bernama Pujangga Baru pada masa itu, sehingga ia disebut sebagai pelopor angkatan ini.

Namun, perlu diperhatikan pada masa Angkatan Pujangga Baru ini terdapat dua kelompok yang mempunyai tujuan berbeda dalam karyanya. Pertama, kelompok seni untuk seni. Dalam kelompok ini, Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah menjadi motor penggerak utama. Kedua, kelompok seni untuk membangun masyarakat. Dalam kelompok kedua ini, terdapat STA, Armijn Pane, dan Rustam Effendi.

5. Angkatan ’45

Jika Angkatan Pujangga Baru diidentikkan dengan karya-karya beraliran romantik dan idealistik, maka Angkatan ’45 lebih terasa realistik. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya Chairil Anwar.

Para penulis yang lahir dari angkatan ini mempunyai konsep sendiri, yakni bahwa apa yang mereka utarakan dalam karyanya akan selalu beriring dengan semangat kemerdekaan dan suara nurani.

Dari zaman ini, Deru Campur Debu yang ditulis pada tahun 1949 oleh Chairil Anwar adalah salah satu karya yang monumental dan paling diingat.

6. Angkatan ’50-an

Batu tonggak dari zaman Angkatan ’50-an adalah lahirnya majalah sastra milik HB Jassin. Karya-karya angkatan ini sebagian besar merupakan cerita pendek dan kumpulan puisi.

Pada zaman angkatan ini pula, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mulai menunjukkan geliatnya. Lembaga yang identik dengan kerja gerakan komunis ini mempunyai aliran yang kental, yakni realisme sosialis.

Keberadaan Lekra dalam kalangan para sastrawan di Indonesia menimbulkan polemik berkepanjangan. Perselisihan-perselisihan kerap terjadi, terutama dengan para sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan.

Pada tahun 1965, perkembangan sastra kemudian terhenti dengan terjadinya tragedi G30S. Perkembangan tersebut terhenti karena sastra telah memasuki area sensitif dalam politik praktis, terutama yang dilakukan oleh PKI.

Beberapa karya yang terkenal lahir dari Angkatan ’50-an adalah Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer pada 1951), Balada Orang-orang Tercinta (WS Rendra pada 1957), dan Hujan Kepagian (Nugroho Notosusanto pada 1958).ifes

Teristimewa, Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu sastrawan Lekra yang mengalami tekanan pada saat akhir dari zaman angkatan ini. Pembuangannya ke Pulau Buru kemudian selama 14 tahun justru melahirkan novel-novel, di antaranya Bumi Manusia,  yang membuatnya menjadi nominator Nobel Sastra berkali-kali.

7. Angkatan ’66 hingga ’70-an

Beberapa tokoh yang dikenal lahir dalam angkatan ini adalah Mochtar Lubis, Motinggo Busye, dan Purnawan Tjondronegoro.

Majalah sastra legendaris Horison lahir pada zaman angkatan ini dibidani oleh Mochtar Lubis. Pada masa itu, Pustaka Jaya menjadi satu penerbit utama yang membantu lahirnya karya-karya dari para sastrawan.

Kekhasan yang dibawa oleh karya-karya sastra pada angkatan ini adalah isu-isu politik dan kesadaran nurani.

8. Masa 80-an

Lepas dari hiruk pikuk sastra yang kemudian mengalami banyak pembredelan, para penulis pada masa dasawarsa tahun 1980-an lebih banyak menulis roman percintaan.

Beberapa nama yang terkenal pada masa ini adalah Marga T dan Hilman Hariwijaya, Titi Said, La Rose, Diah Hadaning dan Oka Rusmini.

9. Angkatan Reformasi

Lengsernya Orde Baru pada 1998 membawa permulaan baru bagi dunia sastra di Indonesia. Kebebasan berbicara menjadi hal utama yang dapat dicecap pada zaman ini.

Sastrawan yang lahir dalam Angkatan Reformasi mencerminkan keadaan sosial pada saat itu dalam banyak karya sastra mereka yang berbentuk puisi, cerita pendek, dan novel bertema sosial politik.

10. Angkatan Milenial

Sebenarnya tidak ada nama khusus untuk menyebut sastrawan yang terkenal pada masa ini, yakni setelah tahun 2000-an. Namun, kekhasan dari sastrawan yang tumbuh dan terkenal pada masa milenial dapat ditengarai dari tema yang bervariasi, gaya bahasa yang bebas, media publikas yang beragam, interaksi yang intensif antara penulis dengan pembaca, dan pengaruh budaya yang populer.

Beberapa karya yang terkenal pada angkatan tak bernama ini misalnya Aroma Karsa karya Dewi Lestari, Hafalan Shalat Delisa karya Tere Liye, novel O karya Eka Kurniawan, dan Kambing Jantan karya Raditya Dika.

LAINNYA