SOSOK | TD – Nama pena Multatuli, yang merupakan identitas dari Eduard Douwes Dekker (1820-1887), senantiasa terukir dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1838 sebagai pegawai pemerintah kolonial, Dekker mengemban tugas yang membuatnya berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor lain. Namun, perjalanan hidupnya yang penuh liku-liku ini membawanya menuju sebuah keputusan berani pada tahun 1856, ketika ia menjabat sebagai Asisten Residen di Lebak, Banten. Dalam posisi ini, ia menyaksikan langsung penderitaan rakyat bumiputera akibat penindasan dan eksploitasi oleh penguasa lokal dan pemerintah kolonial Belanda.
Dekker, yang terjebak dalam dilema moral, tidak sanggup menutup mata terhadap kezaliman yang terjadi di hadapannya. Rasa sakit dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat bumiputera membuatnya merasa bahwa ia tidak bisa lagi berpartisipasi dalam sistem yang korup tersebut. Dengan hati yang gundah dan pikiran yang gelisah, ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Keputusan ini bukan hanya sekadar langkah mundur dari karirnya sebagai pegawai negeri, tetapi juga merupakan langkah maju dalam perjuangan kemanusiaan yang lebih besar.
Dengan semangat membara untuk mengubah keadaan, ia menghunus pena dan mengalirkan kata-kata yang penuh kekuatan dan kepedihan. Karya monumental yang dihasilkan, roman berjudul Max Havelaar, pertama kali diterbitkan pada tahun 1860. Karya ini tidak hanya mencerminkan pengalaman pribadinya sebagai pegawai pemerintah kolonial, tetapi juga berfungsi sebagai kritik tajam terhadap praktik eksploitasi yang dilakukan oleh penguasa kolonial terhadap rakyat lokal. Melalui karakter Max Havelaar, ia menyoroti ketidakadilan sistem kolonial yang mengakibatkan penderitaan rakyat.
Max Havelaar dibangun dengan struktur narasi yang unik. Novel ini tidak hanya menceritakan kisah Max Havelaar, tetapi juga menggabungkan sudut pandang tokoh lain, termasuk Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi di Belanda. Droogstoppel, yang terlibat dalam perdagangan kopi, menjadi simbol kebodohan dan ketidakpedulian kaum kolonial terhadap penderitaan rakyat jajahan. Dengan cara yang cerdas, Multatuli menunjukkan bagaimana keuntungan yang dihasilkan di Eropa diperoleh dengan mengorbankan kehidupan masyarakat di Hindia.
Melalui karakter Max Havelaar, Multatuli menggambarkan seorang pegawai pemerintah yang idealis, berusaha melawan sistem yang korup dan berupaya memberikan keadilan kepada rakyat. Max Havelaar, yang berperan sebagai Asisten Residen, berupaya merombak praktik koloni yang menindas. Dalam menjalankan tugasnya, ia berjuang untuk membantu penduduk pribumi, meskipun ia berada dalam posisi yang sulit dan dihadapkan pada banyak rintangan.
Dalam konteks novel ini, Multatuli juga mengkritik mentalitas kelas menengah Belanda yang puas diri dan acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain. Ia mengecam sikap pasif pemerintah kolonial yang mendiamkan kezaliman. Dengan gaya penulisan yang tajam dan penuh ironi, ia berhasil menyampaikan pesan sosial yang mendalam dan menggugah kesadaran pembaca.
Karya ini juga mengandung banyak elemen autobiografis. Pengalaman pribadi Multatuli sebagai pegawai pemerintah kolonial memberikan kedalaman pada karakter dan cerita yang ia sajikan. Melalui kisahnya, ia tidak hanya bercerita tentang pengalaman pribadinya, tetapi juga mengekspresikan rasa kemanusiaan yang mendalam dan kepeduliannya terhadap nasib masyarakat yang tertindas.
Sejak diterbitkannya Max Havelaar, banyak masyarakat yang semakin terbuka pikirannya. Mereka lebih berani untuk menentang kebijakan kolonial yang merugikan rakyat. Karya ini menjadi tonggak penting dalam sejarah sastra yang mempengaruhi pemimpin-pemimpin Indonesia pada masanya. Buku ini menginspirasi banyak gerakan sosial dan politik yang menuntut perubahan terhadap sistem kolonial yang tidak adil.
Dalam konteks sejarah, Max Havelaar tidak hanya menjadi kritik terhadap sistem kolonial Belanda, tetapi juga mendorong lahirnya gerakan fair trade dan kesadaran akan hak-hak asasi manusia. Karya ini membangkitkan kesadaran global tentang kondisi kehidupan di koloni dan memicu perubahan dalam kebijakan kolonial. Sebagai contoh, tulisan ini memengaruhi pemikiran banyak tokoh, termasuk aktivis nasionalis di Indonesia dan para pemikir sosial di Eropa.
Buku ini juga mengantarkan lahirnya konsep Politik Etis, yang menekankan pentingnya pendidikan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Melalui karya ini, Dekker mampu membuka mata banyak orang tentang pentingnya memperhatikan nasib rakyat yang selama ini terpinggirkan. Hal ini menjadi bagian dari warisan yang ditinggalkan oleh Multatuli, sebuah pengingat bahwa perubahan sosial tidak dapat terjadi tanpa adanya kesadaran dan keberanian untuk berbicara.
Sejenak Mengenal Museum Multatuli di Rangkasbitung
Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten, adalah tempat yang sarat pengetahuan tentang Max Havelaar dan gerakan antikolonialisme. Terletak di kawasan yang rindang dan nyaman, museum ini merupakan pilihan ideal untuk tujuan tamasya jauh dari keriuhan dan kemacetan Jabodetabek. Bangunan museum ini merupakan bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak yang dibangun pada tahun 1920-an.
Walaupun disebut Museum Multatuli, museum ini dirancang sebagai museum yang lebih luas mengenai gerakan antikolonialisme, yang mencakup perjalanan sejarah sejak persinggungan awal berbagai wilayah di Nusantara dengan penjajahan Belanda, Portugis, dan Spanyol, hingga berdirinya Republik Indonesia.
Salah satu konseptor museum, Bonnie Triyana, menjelaskan bahwa museum ini akan menyajikan bagaimana penjajahan memasuki Nusantara, bagaimana terjadi, dan bagaimana penjajahan berkontribusi pada pembentukan negara bangsa Indonesia. Karya Multatuli, yang merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker, memang sangat identik dengan Kabupaten Lebak, terutama Rangkasbitung.
Selama menjabat sebagai Asisten Wedana Lebak, Multatuli menyaksikan praktik pemerasan yang dilakukan oleh bupati setempat terhadap rakyat Lebak. Pengalaman pahit ini menjadi inspirasi bagi novel Max Havelaar yang diterbitkan pada tahun 1860. Karya ini tidak hanya menginspirasi tokoh-tokoh Indonesia seperti Sukarno dan R.A. Kartini, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi tokoh nasional Filipina, Jose Rizal.
Sebelum buku ini beredar, banyak orang di Hindia Belanda yang belum menyadari bahwa mereka sedang dijajah. “Multatuli sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa bukunya akan menginspirasi gerakan melawan kolonialisme. Dia hanya mencita-citakan sistem kolonial yang lebih adil,” ungkap Bonnie. Namun, efek dari novel ini melampaui harapan tersebut. Novel ini menjadi simbol bagi perjuangan melawan kolonialisme dan mendorong lahirnya gerakan balas budi dari pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat jajahan, di mana sebagian rakyat diberikan kesempatan untuk bersekolah.
Bonnie mengibaratkan novel Max Havelaar sebagai bola salju kecil yang bergulir dan semakin besar. “Walaupun tidak secara langsung mengubah sejarah, tapi Max Havelaar telah menjadi simbol inspirasi gerakan pembebasan di negeri terjajah.”
Walaupun bangunan museum sudah rampung dibangun oleh pemerintah Kabupaten Lebak dan Provinsi Banten pada November 2016 lalu, Bonnie mengakui bahwa museum ini tidak memiliki artefak yang terkait langsung dengan sosok Multatuli. “Kita harus akui tidak punya artefak yang berkaitan langsung dengan Multatuli,” akunya.
Karena itulah, pemerintah Kabupaten Lebak menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Multatuli (Multatuli Genootschap) di Belanda untuk menduplikasi sejumlah dokumen terkait Eduard Douwes Dekker. Di antara dokumen tersebut adalah surat-menyurat Multatuli dengan pejabat Hindia Belanda tentang kondisi masyarakat Lebak, foto-foto, serta novel Max Havelaar terbitan pertama.
“Yang menarik, kami mendapatkan tegel rumah Multatuli di Lebak,” ungkap Bonnie. Tegel yang berasal dari rumah Multatuli di Lebak tersebut ‘diselamatkan’ oleh seorang turis Belanda pada 1980-an sebelum bangunannya dibongkar. Tegel ini kemudian disumbangkan kepada Perhimpunan Multatuli di Belanda. “Ada dua pasang tegel. Kami menerima sumbangan tegel putih, sementara yang hitam tetap disimpan oleh Perhimpunan Multatuli di Belanda,” paparnya.
Terlibat sejak awal sebagai salah satu konseptor, Bonnie mengatakan bahwa selain memotret perjalanan gerakan antikolonialisme, museum juga akan menghubungkan sejarah yang terjadi di Lebak dengan sejarah Nusantara dan dunia. “Kami ingin mengangkat posisi daerah kecil ini dalam sejarah Indonesia dan dunia,” katanya. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menampilkan orang-orang yang lahir dan pernah tinggal di Rangkasbitung, seperti Agus Salim dan Tan Malaka, serta tokoh-tokoh yang terinspirasi oleh Multatuli seperti WS Rendra.
Di halaman museum, pihak pengelola menempatkan patung Multatuli dan patung Saijah dan Adinda—dua tokoh dalam novel Max Havelaar—karya pematung Dolorosa Sinaga. Pendirian museum ini diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat, tidak hanya untuk menghormati Multatuli, tetapi juga untuk menggali lebih dalam lagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan.
Namun, Bonnie menegaskan bahwa pendirian Museum Multatuli dan perpustakaan ini tidak bertujuan untuk mengkultuskan sosok Multatuli. “Ini sama sekali bukan untuk mengkultuskan Multatuli. Kita menggunakan nama ini karena sudah dikenal di dunia, sehingga diharapkan orang-orang mau mengunjungi Rangkasbitung,” tandasnya.
Kekaguman masyarakat Indonesia terhadap Multatuli tidak pernah pudar. Banyak penulis, aktivis, dan pemikir yang menjadikan Multatuli sebagai teladan dalam memperjuangkan keadilan. Karya Max Havelaar bukan hanya sekadar karya sastra, tetapi juga menjadi simbol perjuangan untuk hak asasi manusia dan keadilan sosial. Dalam konteks ini, Multatuli tidak hanya diingat sebagai seorang penulis, tetapi juga sebagai seorang pahlawan yang berjuang untuk suara mereka yang tertindas.
Buku Max Havelaar terus dibaca dan dipelajari, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Terjemahan dan adaptasi karya ini membuktikan bahwa pesan Multatuli universal dan dapat diterima oleh berbagai kalangan. Hal ini menunjukkan bahwa isu-isu yang diangkat oleh Multatuli dalam karyanya masih relevan, dan bahwa perjuangan untuk keadilan sosial dan hak asasi manusia adalah tugas yang tidak mengenal batas waktu.
Jejak sejarah yang ditinggalkan oleh Multatuli dan Max Havelaar tidak hanya menjadi bagian dari sejarah sastra, tetapi juga bagian dari perjuangan panjang untuk keadilan dan kemanusiaan. Karya ini telah menginspirasi banyak orang untuk berjuang agar suara mereka didengar dan hak-hak mereka ditegakkan. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi ketidakadilan, Max Havelaar menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya memperjuangkan keadilan dan tidak membiarkan penderitaan orang lain terabaikan.
Dengan terus mengingat dan merayakan karya dan perjuangan Multatuli, kita tidak hanya menghormati sejarah, tetapi juga menyiapkan jalan bagi generasi mendatang untuk meneruskan perjuangan demi keadilan dan kemanusiaan. Dalam menghadapi tantangan-tantangan baru di zaman kontemporer, sudah saatnya kita meneruskan warisan Multatuli dengan semangat yang sama: keberanian untuk berbicara, komitmen untuk keadilan, dan harapan akan masa depan yang lebih cerah bagi semua. Seperti kutipan Pramoedya Ananta Toer yang menggugah: “Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli tidak akan mengenal humanisme, dan berpotensi menjadi kejam.” Melalui pemahaman ini, kita diharapkan akan lebih menghargai kekuatan tulisan dan suara dalam membangun dunia yang lebih baik. (Red)