Idulfitri dalam Jebakan Gaya Hidup Kapitalisme

waktu baca 3 menit
Minggu, 16 Mei 2021 10:18 0 90 Redaksi TD

Jelang Idulfitri, pasar dan pusat perbelanjaan disesaki ribuan manusia, demikian pun saat dan setelahnya, tempat-tempat wisata dijejali pengunjung meski di tengah pandemi covid-19. Inikah wajah sesungguhnya cara merayakan Idulfitri?

Sejak kapitalisme berjaya, ruang hidup kita dijejali berbagai tawaran kenikmatan duniawi, dari mulai produk konsumsi, kendaraan, hingga pakaian yang fungsi awalnya hanya untuk menutupi aurat. Namun karena kepiawaian kapitalisme, produk-produk tersebut kemudian berubah nilai menjadi perlambang tingkat kemampuan ekonomi seseorang.

Jantung kapitalisme tak lain adalah konsumsi. Produk massal yang dihasilkan harus terserap oleh pasar. Maka, setiap orang dibidik sebagai konsumen, tak mengenal tingkat kemampuan ekonomi, juga agama.

Iklan menjadi corong kapitalisme menggoda targetnya, terlebih di era media sosial saat ini, di mana hanya berbekal ponsel pintar dan paket data internet, beragam produk mudah ditemukan dan menggoda keteguhan kita untuk mempertahankan uang hasil membanting tulang.

Iklanlah kemudian yang melahirkan cara pandang seseorang memaknai sebuah produk. Barang-barang hasil produksi tak lagi dinilai berdasarkan kegunaannya semata, namun lebih pada prestise yang menjadi salah satu wujud kebudayaan kontemporer saat ini, yaitu gaya hidup.

Tak peduli konsumen tersebut beragama apa, namun selama gaya hidupnya bisa diraksuki kapitalisme, maka tak ada kesulitan bagi kapitalisme untuk menggeser nilai-nilai sesuai dengan nilai-nilai kapitalisme.

Demikian pun yang terjadi pada Idulfitri yang kini tampak menjadi perlombaan memamerkan beragam busana baru, produk kuliner tertentu, hingga berbagai aksi berbagi barang-barang konsumtif yang dibungkus motif kesalehan sosial. Sehingga, meski kita telah ditempa selama bulan Ramadan untuk dapat mengendalikan diri dari godaan hawa nafsu, namun dipenghujung Ramadan, hasil berpuasa itu tidak tampak ketika menyaksikan pasar dan pusat-pusat perbelanjaan disesaki orang-orang yang telah dikuasai nafsu konsumtif. Lalu kita bertanya, inikah yang dimaksud kemenangan setelah berpuasa?

Esensi berpuasa adalah latihan membentuk kepribadian yang taat kepada perintah Allah Swt dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang-Nya, yaitu orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al Baqarah: 183). Untuk mencapai level takwa tersebut, setiap hamba harus terus berupaya meningkatkan ketaatan dengan melatih diri meningkatkan kualitas ibadah sesuai dengan syariat, kemudian berusaha memahami dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, ritual ibadah tersebut tidak hanya sekedar berwujud formalitas semata, namun benar-benar membumi dalam sifat, kepribadian dan tingkah laku seseorang.

Puasa yang memiliki makna dasar adalah menahan dan mengendalikan diri dari setiap godaan hawa nafsu kehilangan esensinya ketika kita tidak mampu merubah gaya hidup konsumtif. Maka, saat menjelang Idulfitri, ketika pasar dan pusat perbelanjaan dijejali pengunjung, lalu siapa yang sebenarnya memperoleh kemenangan? Tentunya kapitalisme.

Tidak ada larangan untuk menggunakan pakaian baru saat Idulfitri. Bahkan sah-sah saja untuk mengenakan yang terbaik dari pakaian yang dimiliki. Namun ketika hasrat membeli pakaian baru terlebih dengan harga mahal, kemudian mengabaikan kebutuhan pokok lainnya, lalu siapa yang akan menanggung kesulitan usai berlebaran? Karena tak sedikit mereka yang hidupnya pas-pasan, namun memaksakan diri menghambur-hamburkan uang demi merayakan Idulfitri, justru harus berhutang usai berlebaran.

Inilah potret kehidupan akibat jebakan gaya hidup kapitalisme. Idulfitri yang semestinya menjadi ruang untuk lahirnya pribadi baru, yaitu orang-orang yang bertakwa, justru telah bergeser maknanya menjadi parade pameran foto dengan busana baru di media sosial. Kemudian disusul foto-foto liburan di tempat wisata.

Mungkin kita membutuhkan kerja keras dan upaya tidak ringan untuk bisa melepaskan diri dari jebakan kapitalisme, karena kita terlanjur menjadi bangsa yang menjadi target empuk pasar barang-barang hasil produksi kapitalisme. Upaya tersebut salah satunya dengan meneladani gaya hidup Rasulullah Nabi Muhammad SAW, serta para ulama yang zuhud.

Tanpa ikhtiar tersebut, dan mengembalikan esensi puasa, maka kemenangan yang kita rayakan saat Idulfitri, mungkin hanya kemenangan semu, karena pemenang sesungguhnya adalah kapitalisme.

Penulis: Wahyu Nur Rahman (Seorang penikmat buku, tinggal di Tangerang)

""
""
""
LAINNYA