TANGERANG | TD – Di antara begitu banyak sastrawan yang mendapat tempat di hati para pembacanya, ada satu yang mempunyai fan base cukup banyak. Dia adalah Emily Dickinson (1830-1886), penyair asal Massachuset, Amerika Serikat yang sempat menjadi kontroversi karena gaya penulisannya yang tidak mengikuti tata bahasa yang dikenal secara umum.
Emily Dickinson diketahui menuliskan lebih dari 1700 puisi dalam 40 fasikula, yang baru ditemukan setelah ia meninggal dunia. Selain itu, ada beberapa puisinya yang telah diterbitkan saat ia hidup.
Kehidupan Emily Dickinson, seperti tercermin di dalam puisi-puisinya, sebagian besar diwarnai oleh kesedihan karena kehilangan banyak sahabatnya dalam usia muda. Memang, sejarah mencatat pada zaman itu banyak penyakit yang belum menemukan obatnya. Di antaranya, penyakit TBC yang banyak merenggut nyawa kaum muda.
Kehilangan demi kehilangan membentuk pribadi Dickinson yang terluka karena maut. Duka itu bertambah ketika dirinya pun tidak lepas dari cengkeraman beberapa penyakit parah. Dickinson menjadi semakin menarik diri, selalu menutup pintu kamar, dan jarang tampil.
Kesedihan dalam puisi Emily Dickinson, yang kemudian seringkali menciptakan ruang besar dan munculnya bayangan ganda dirinya, tercermin dalam sebuah penggalan puisi berikut:
“
I hide myself within
my flower,
That wearing on your
breast,
You, unsuspecting, wear me
too,
And angels know the rest.
I hide myself within my
flower,
That, fading from your vase,
You, unsuspecting, feel for
me
Almost a loneliness.”
Ia hanya menyapa orang-orang di sekitarnya dengan surat. Kadang, ia menuliskan puisi pada secarik kertas dan menyertakan rangkaian bunga untuk sahabatnya.
Bunga-bunga juga mewarnai sebagian besar karya Dickinson, seperti taman Homestead yang ia rawat sejak berumur 9 tahun. Bahkan, Emily Dickinson membuat ratusan herbarium dari bunga-bunga yang ada di taman tersebut lengkap dengan morfologi dan nama latin masing-masing bunga.
Puisi pertama Dickinson, “Magnum bonum harem scarem”, yang menyiratkan minatnya secara khusus pada kematian dan kehidupan setelah kematian, diterbitkan oleh Amherst College Indicator sebagai surat valentine.
Namun, selain warna duka, puisi Dickinson juga kerap memberikan nada aneh dan lucu. Misalnya pada surat valentine “Magnum bonum, harem scarem”, terdapat ungkapan yang menyarankan orang untuk ‘berkokok’:
“Tetapi dunia sedang terlelap dalam ketidaktahuan dan kekeliruan, Tuan, dan kita harus berkokok ayam, dan bernyanyi burung, dan menerbitkan mentari untuk membangunkannya;…”
Pengaruh karya-karya Dickinson menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, karyanya yang sering muncul dalam ingatan beberapa penulis ketika bersentuhan dengan momen kematian adalah “Because I could not stop for Death”.
Berikut adalah penggalan puisi tersebut dan terjemahan atasnya yang dilansir TangerangDaily dari salah satu sumber.
“We paused before a House that seemed; A Swelling of the Ground –
(Kami berhenti di depan rumah yang tampak bagai terbenam -)
The Roof was scarcely visible –
(Atapnya hampir tak nyata -)
The Cornice – in the Ground –”
(langit-langitnya di tanah -).
(*)