Ilustrasi (Foto: Ist)OPINI | TD — Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua kembali menarik perhatian publik nasional. Bukan hanya karena dinamika politik yang panas, tetapi juga karena Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil awal pemilihan dan memerintahkan pemungutan suara ulang di sejumlah wilayah. Putusan ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah langkah MK memperkuat kepercayaan publik Papua terhadap demokrasi, atau justru memperdalam keraguan?
Papua memiliki konteks sosial-politik yang kompleks. Sejarah marginalisasi, dinamika budaya yang unik, serta lemahnya kehadiran negara di berbagai wilayah membuat proses demokrasi di sana tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Maka, setiap keputusan hukum dan politik, termasuk dari MK, seharusnya memperhatikan secara cermat sensitivitas lokal dan rasa keadilan masyarakat.
Secara hukum, MK memiliki kewenangan mutlak untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Namun dalam konteks Papua, kewenangan tersebut diuji bukan hanya pada aspek legalitas, tetapi juga legitimasi sosial. Apakah keputusan yang diambil oleh MK benar-benar dipahami, diterima, dan dianggap adil oleh masyarakat?
Sebagian warga melihat putusan MK sebagai bentuk perlindungan terhadap suara rakyat. Mereka menilai MK menjalankan fungsinya secara tepat dengan mencegah hasil Pilkada yang tidak sah. Dari sisi ini, MK diposisikan sebagai lembaga yang menjaga marwah demokrasi.
Namun, suara berbeda juga muncul dari sebagian masyarakat Papua. Ada keraguan bahwa keputusan MK mungkin dipengaruhi oleh kepentingan politik pusat. Kurangnya transparansi, minimnya komunikasi, dan pengalaman-pengalaman masa lalu yang sarat kecurangan membuat masyarakat cenderung skeptis. Legitimasi hukum tidak otomatis diterima sebagai legitimasi sosial.
Ini adalah catatan penting. Bahwa keadilan dalam sistem demokrasi tidak cukup hanya hadir dalam bentuk putusan hukum, tetapi juga harus terasa, dapat dijelaskan, dan diterima oleh masyarakat sebagai proses yang jujur dan berpihak pada kebenaran.
Keputusan MK, terutama dalam kasus-kasus Pilkada Papua, membawa dampak jangka panjang yang signifikan.
Pertama, dari sisi legitimasi demokrasi. Jika masyarakat percaya bahwa MK adil dan independen, maka kepercayaan terhadap proses politik akan meningkat. Partisipasi pemilih pun cenderung menguat. Namun bila masyarakat merasa suara mereka tidak dihargai atau proses hukum hanya formalitas, maka potensi apatisme politik akan muncul. Ini berbahaya bagi masa depan demokrasi lokal.
Kedua, hubungan Papua dan pemerintah pusat juga sangat dipengaruhi oleh persepsi terhadap keadilan dalam Pilkada. Bila MK dinilai tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat Papua, maka jarak emosional dan politis antara masyarakat dan negara bisa semakin membesar. Namun sebaliknya, bila MK hadir sebagai lembaga yang benar-benar memperjuangkan keadilan substantif, maka kepercayaan bisa tumbuh kembali dan menjadi jembatan untuk memperkuat integrasi nasional.
Ketiga, arah politik Papua ke depan juga ditentukan oleh bagaimana proses Pilkada — termasuk penyelesaian sengketanya — dikelola. Bila kepercayaan dapat diperbaiki, akan terbuka ruang bagi demokrasi lokal yang sehat. Sebaliknya, bila ketidakpuasan meluas, maka instabilitas, protes sosial, hingga ancaman disintegrasi bisa menjadi konsekuensi serius.
Dalam konteks Papua, keputusan hukum harus dibarengi dengan komunikasi publik yang kuat. Mahkamah Konstitusi sebaiknya tidak hanya mengumumkan putusan melalui dokumen resmi, tetapi juga menjelaskan dasar keputusan secara terbuka dan mudah dipahami oleh masyarakat. Transparansi bukan hanya soal prosedur, tetapi menyangkut kepercayaan publik.
Saya juga mengusulkan agar MK, KPU, Bawaslu, dan pemerintah pusat membangun mekanisme khusus untuk Papua, seperti:
Hal ini penting karena masalah legitimasi Pilkada di Papua tidak bisa hanya diselesaikan melalui jalur hukum, melainkan juga melalui pendekatan sosial-politik yang empatik dan partisipatif.
Ke depan, Mahkamah Konstitusi perlu mengambil peran lebih aktif dalam membangun citra sebagai penjaga demokrasi yang dekat dengan rakyat, bukan sekadar lembaga yudisial di pusat kekuasaan. Sosialisasi, kehadiran langsung di daerah rawan konflik, serta kemauan mendengar aspirasi lokal akan sangat menentukan keberhasilan lembaga ini dalam memulihkan kepercayaan.
Putusan MK seharusnya tidak hanya dilihat sebagai alat menyelesaikan sengketa politik, tetapi juga sebagai simbol komitmen negara untuk melindungi suara rakyat — termasuk yang paling terpencil, seperti di Papua.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pilkada Papua memperlihatkan bahwa demokrasi bukan hanya soal mekanisme, tetapi juga tentang rasa keadilan dan kepercayaan. Ketika sebagian masyarakat merasa dilindungi oleh keputusan hukum, dan sebagian lain merasa dikhianati, itu pertanda ada pekerjaan rumah besar dalam komunikasi politik kita.
Tugas MK dan seluruh penyelenggara pemilu adalah memastikan bahwa proses demokrasi tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara sosial. Dengan demikian, Papua tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi subjek aktif dalam demokrasi Indonesia yang inklusif dan bermartabat.
Penulis: Maylin Musarah Kehi
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA. (*)