OPINI | TD – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang tengah dibahas pemerintah dan DPR menuai kontroversi dari berbagai pihak. Beberapa pasal dalam revisi ini dianggap berpotensi mengubah struktur dan peran TNI dalam kehidupan bernegara, yang dikhawatirkan dapat mengancam demokrasi. Jika RUU TNI ini disahkan, berbagai dampak bisa terjadi, baik dari sisi politik, hukum, maupun sosial.
Salah satu isu utama dalam revisi UU TNI adalah kemungkinan kembalinya konsep dwifungsi ABRI, di mana militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan negara tetapi juga terlibat dalam pemerintahan sipil. Dalam RUU ini, prajurit aktif TNI dapat menduduki posisi sipil di 16 kementerian atau lembaga negara tanpa perlu pensiun dini.
Jika ketentuan ini disahkan, peran militer dalam pemerintahan bisa meningkat, yang berisiko melemahkan supremasi sipil dalam demokrasi. Sejarah menunjukkan bahwa peran ganda militer dalam pemerintahan bisa menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi menekan kebebasan sipil.
Reformasi TNI yang telah berjalan sejak 1998 bertujuan membatasi keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan. Dengan pengesahan RUU ini, langkah reformasi tersebut bisa mengalami kemunduran. Militer yang seharusnya netral dalam politik justru bisa memiliki pengaruh lebih besar dalam pemerintahan, yang dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem demokrasi.
RUU TNI juga memberikan ruang lebih besar bagi TNI untuk terlibat dalam berbagai urusan sipil, termasuk keamanan dalam negeri. Padahal, dalam sistem demokrasi, tugas menjaga keamanan dalam negeri seharusnya berada di bawah kepolisian, bukan militer. Jika TNI diberikan kewenangan lebih luas dalam urusan sipil, ada risiko penyalahgunaan kewenangan, terutama dalam penanganan unjuk rasa, konflik sosial, dan kebijakan publik lainnya.
Keterlibatan prajurit aktif TNI dalam jabatan sipil bisa menyebabkan ketimpangan dalam birokrasi pemerintahan. Pegawai negeri sipil (PNS) yang telah menjalani pendidikan dan jenjang karier dalam birokrasi bisa merasa dirugikan dengan adanya prajurit aktif yang langsung menduduki posisi penting tanpa melalui prosedur yang sama.
Jika RUU ini disahkan, ada kemungkinan besar munculnya ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga demokrasi. Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis telah menyuarakan penolakan terhadap RUU ini, yang dianggap berisiko melemahkan prinsip demokrasi. Jika aspirasi publik tidak didengar, maka gelombang protes bisa terjadi, dan kepercayaan terhadap pemerintah bisa menurun.
Berbagai kelompok masyarakat, organisasi hak asasi manusia, dan pakar hukum menolak revisi RUU TNI dengan beberapa alasan utama:
Banyak pihak menilai bahwa pasal-pasal dalam RUU TNI berpotensi melemahkan sistem demokrasi Indonesia. Dengan keterlibatan lebih besar militer dalam urusan sipil, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan berekspresi dan supremasi hukum bisa tergerus.
RUU ini bertolak belakang dengan agenda reformasi militer pasca-Orde Baru yang menekankan profesionalisme TNI dan pemisahan tugas antara militer dan pemerintahan sipil. Dengan memberikan kembali ruang bagi TNI dalam jabatan sipil, reformasi yang telah berlangsung lebih dari dua dekade bisa mengalami kemunduran.
Beberapa pasal dalam RUU TNI mengizinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara. Hal ini berpotensi mengarah pada militerisasi pemerintahan, di mana keputusan-keputusan strategis bisa lebih banyak dipengaruhi oleh unsur militer daripada pejabat sipil yang seharusnya memiliki wewenang dalam kebijakan publik.
Proses pembahasan RUU TNI dinilai kurang transparan dan minim partisipasi publik. Banyak kelompok masyarakat merasa bahwa revisi ini dilakukan secara terburu-buru tanpa konsultasi yang cukup dengan berbagai pihak yang terdampak. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa RUU ini lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada kepentingan nasional secara luas.
Jika prajurit aktif TNI mulai memasuki jabatan sipil dalam jumlah besar, bisa terjadi gesekan dengan aparatur sipil negara (ASN) yang selama ini menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Pegawai sipil yang telah berkarier lama dalam birokrasi mungkin merasa terpinggirkan oleh keberadaan prajurit aktif yang masuk ke jabatan strategis tanpa melalui proses yang sama.
Pengesahan RUU TNI berpotensi menimbulkan berbagai dampak yang dapat mengubah dinamika politik dan pemerintahan di Indonesia. Dari potensi kembalinya dwifungsi militer hingga meningkatnya militerisasi dalam pemerintahan, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa revisi ini dapat mengancam reformasi yang telah diperjuangkan sejak era Reformasi 1998.
Penolakan terhadap RUU ini bukan tanpa alasan. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis menekankan pentingnya menjaga demokrasi dengan memastikan bahwa peran TNI tetap profesional dan tidak masuk ke dalam ranah politik serta pemerintahan sipil.
Untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas, sebaiknya pemerintah dan DPR mempertimbangkan kembali revisi UU TNI dengan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Reformasi militer yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade harus tetap dijaga agar Indonesia tetap menjadi negara demokrasi yang berlandaskan supremasi sipil.
Penulis: Muhamad Hijar Ardiansah (Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon). (*)