Sepenggal Sunyi di Kota yang Teranjur Tua — Puisi Celcius Jouska

waktu baca 3 menit
Sabtu, 30 Jan 2021 16:41 0 96 Redaksi TD

Puisi : 1

Sepenggal Sunyi di Kota yang Teranjur Tua — Puisi Celcius Jouska

Aku berdiri sepanjang senja, kala itu

di halaman rumah

di wajah kota yang semakin tua

membaca gumpalan gemulai awan

yang mengirimkan tarian

dan wewangian asmaralaya

pada sunyi seseorang.

Mungkin saja tak pernah lagi kusaksikan

embus manja angin petang

yang lembut menyenggamai daun-daun Akasia.

Dan tak akan kudengar pula

cicit Camar laut di ranting Bakau

yang khusyuk’ menatapi gelombang menjemput pasang

mengisyarat pisah bagi matahari sulaiman.

Di sini, di kota yang terus tua ini,

aku terus menunggu

panorama senja yang kembali membawa jejakmu

dari sebuah peta di masa lalu

yang teramat jauh

melewati laut demi laut, melintasi gurun demi gurun

bahkan melampaui masa demi masa

yang tak pernah tertuntaskan

hanya sekeping cerita pada perjalanan

tentang betapa takjubnya rindu dan penantian.

Aku semakin khidmat berdiri sepanjang senja, kali ini

di halaman rumah

di kota yang teranjur menikmati tua

membaca gumpalan gemulai awan

yang mengirimkan tarian

dan wewangian asmaralaya

pada keabadian sunyi seseorang.

Bahkan mataku pun mulai samar-samar

menyaksikan setumpuk padat awan kelabu

yang menjelma jadi jingga kehitaman.

Tak ada gerak manja daun-daun Akasia

tak ada pula cicit Camar laut.

Hanya petang, berteman gelombang pasang

dan sunyi menjelma sederetan puisi

yang kerap dibaca berulang, diilhami

kala matahari sulaiman terbenam.

Semarang, Desember 2020

____
Puisi 2 :

Di Dalam Puisi ini Ada Senja, dan Cerita Lautan

Di dalam puisi ini,

ada senja berlumuran jingga awan-awan

di atas selembar peta yang dilukis Sang

dan tepian pantai menghitung detak jam pasir

meratapi sebuah kepulangan

suri bagi matahari sulaiman

dan cerita-cerita kenangan

yang mengapung di lautan nun

perlahan tenggelam, direngkuh kegelapan.

Di dalam puisi ini,

seorang lelaki sajak memandang maghrib cakrawala

nyalang, memeluk bayang perempuannya

yang tak lagi berpijak

hanya menapaki sisa-sisa jejak

dan sekumpulan burung Nazar terbang

menjemput petang

mengisyarat kepada serumpun Bakau, juga Ganggang

agar lekas bernyanyi sepi

sebab debur ombak mulai pasang.

Di dalam puisi ini,

senja seumpama ucap selamat tinggal

bagi murung wajah lelaki sajak

teruntuk pisah seorang perempuan

yang pernah ia singgahi rahim ingatannya.

Sementara asin laut tak lelah bercerita

kepada tepian pantai, detak jam pasir,

dan beberapa burung Nazar,

juga keheningan Bakau, Ganggang,

kepada jingga awan-awan,

hingga matahari sulaiman terbenam.

SMG, Desember 2020

____

Puisi 3 :

Bingkai Kepulangan

Ketika kepalamu tertidur

langit pucat

mendung bersepakat

mengumpulkan garis-garis hujan

dan sebuah pelukan hilang

di pesisir utara.

Ketika matamu tertidur

kota pun samar

waktu mengendap sunyi

sebelum senja pecah

kau tetap malas untuk bangun

dan wajah kekasih semakin lelap di matamu.

Ketika seutuhmu tertidur

burung-burung Nazar bersorak riuh

merayakan kepulangan

membunuh kemarau

seperti ingatan.

Dan sungguh, lekaslah angin berkesiur

dingin membawa kabut dalam tasnya

langit kian pekat pucat

mendung bersepakat

menderaslah hujan.

Ketika kau sudah lelah tertidur

kau bergegas terbangun

dan menangis sendirian.

Semarang, 2020

LAINNYA