Puisi : 1
Sepenggal Sunyi di Kota yang Teranjur Tua — Puisi Celcius Jouska
Aku berdiri sepanjang senja, kala itu
di halaman rumah
di wajah kota yang semakin tua
membaca gumpalan gemulai awan
yang mengirimkan tarian
dan wewangian asmaralaya
pada sunyi seseorang.
Mungkin saja tak pernah lagi kusaksikan
embus manja angin petang
yang lembut menyenggamai daun-daun Akasia.
Dan tak akan kudengar pula
cicit Camar laut di ranting Bakau
yang khusyuk’ menatapi gelombang menjemput pasang
mengisyarat pisah bagi matahari sulaiman.
Di sini, di kota yang terus tua ini,
aku terus menunggu
panorama senja yang kembali membawa jejakmu
dari sebuah peta di masa lalu
yang teramat jauh
melewati laut demi laut, melintasi gurun demi gurun
bahkan melampaui masa demi masa
yang tak pernah tertuntaskan
hanya sekeping cerita pada perjalanan
tentang betapa takjubnya rindu dan penantian.
Aku semakin khidmat berdiri sepanjang senja, kali ini
di halaman rumah
di kota yang teranjur menikmati tua
membaca gumpalan gemulai awan
yang mengirimkan tarian
dan wewangian asmaralaya
pada keabadian sunyi seseorang.
Bahkan mataku pun mulai samar-samar
menyaksikan setumpuk padat awan kelabu
yang menjelma jadi jingga kehitaman.
Tak ada gerak manja daun-daun Akasia
tak ada pula cicit Camar laut.
Hanya petang, berteman gelombang pasang
dan sunyi menjelma sederetan puisi
yang kerap dibaca berulang, diilhami
kala matahari sulaiman terbenam.
Semarang, Desember 2020
____
Puisi 2 :
Di Dalam Puisi ini Ada Senja, dan Cerita Lautan
Di dalam puisi ini,
ada senja berlumuran jingga awan-awan
di atas selembar peta yang dilukis Sang
dan tepian pantai menghitung detak jam pasir
meratapi sebuah kepulangan
suri bagi matahari sulaiman
dan cerita-cerita kenangan
yang mengapung di lautan nun
perlahan tenggelam, direngkuh kegelapan.
Di dalam puisi ini,
seorang lelaki sajak memandang maghrib cakrawala
nyalang, memeluk bayang perempuannya
yang tak lagi berpijak
hanya menapaki sisa-sisa jejak
dan sekumpulan burung Nazar terbang
menjemput petang
mengisyarat kepada serumpun Bakau, juga Ganggang
agar lekas bernyanyi sepi
sebab debur ombak mulai pasang.
Di dalam puisi ini,
senja seumpama ucap selamat tinggal
bagi murung wajah lelaki sajak
teruntuk pisah seorang perempuan
yang pernah ia singgahi rahim ingatannya.
Sementara asin laut tak lelah bercerita
kepada tepian pantai, detak jam pasir,
dan beberapa burung Nazar,
juga keheningan Bakau, Ganggang,
kepada jingga awan-awan,
hingga matahari sulaiman terbenam.
SMG, Desember 2020
____
Puisi 3 :
Bingkai Kepulangan
Ketika kepalamu tertidur
langit pucat
mendung bersepakat
mengumpulkan garis-garis hujan
dan sebuah pelukan hilang
di pesisir utara.
Ketika matamu tertidur
kota pun samar
waktu mengendap sunyi
sebelum senja pecah
kau tetap malas untuk bangun
dan wajah kekasih semakin lelap di matamu.
Ketika seutuhmu tertidur
burung-burung Nazar bersorak riuh
merayakan kepulangan
membunuh kemarau
seperti ingatan.
Dan sungguh, lekaslah angin berkesiur
dingin membawa kabut dalam tasnya
langit kian pekat pucat
mendung bersepakat
menderaslah hujan.
Ketika kau sudah lelah tertidur
kau bergegas terbangun
dan menangis sendirian.
Semarang, 2020