Redupnya Bahasa Indonesia Baku di Era Bahasa Gaul

waktu baca 4 minutes
Senin, 3 Nov 2025 21:39 0 Nazwa

OPINI | TD — Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, bahasa Indonesia baku perlahan mulai kehilangan pamornya. Dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda, bahasa yang terdengar campur aduk—antara Indonesia, Inggris, dan istilah kekinian—lebih sering digunakan.

Ungkapan seperti “literally capek banget,” “bestie kamu slay,” hingga “vibes-nya beda” kini seolah menjadi bahasa keseharian yang dianggap keren dan relevan dengan zaman.

Fenomena ini menandakan adanya pergeseran cara berkomunikasi. Bahasa gaul dianggap lebih ekspresif, ringan, dan sesuai dengan ritme cepat dunia digital. Namun, di balik sisi modernnya, muncul kekhawatiran: apakah bahasa Indonesia yang baik dan benar masih mendapat tempat di hati masyarakat?

Mengapa Bahasa Gaul Lebih Populer?

Bahasa selalu berkembang, tetapi dalam satu dekade terakhir, perubahan itu terjadi dengan kecepatan luar biasa. Ada beberapa alasan mengapa bahasa gaul lebih populer dibandingkan bahasa baku:

  1. Pengaruh Media Sosial dan Budaya Digital
    Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi ruang utama komunikasi anak muda. Di sana, bahasa yang ringkas dan santai lebih mudah viral dan menarik perhatian dibandingkan kalimat formal.
  2. Identitas dan Keakraban Kelompok
    Bahasa gaul berfungsi sebagai “kode” sosial untuk menunjukkan kedekatan dan kebersamaan. Dengan menggunakan istilah seperti “cuan,” “healing,” atau “gasken,” seseorang bisa merasa menjadi bagian dari komunitas yang sama.
  3. Anggapan Bahasa Baku Terlalu Kaku
    Banyak orang merasa bahwa bahasa baku terdengar terlalu formal, bahkan “kuno.” Dalam percakapan santai, kalimat baku sering dianggap tidak cocok karena kurang luwes atau terlalu serius.
  4. Figur Publik dan Influencer sebagai Panutan Bahasa
    Bahasa para tokoh terkenal—entah artis, influencer, atau kreator konten—cepat ditiru oleh penggemarnya. Sekali viral, istilah baru pun langsung menyebar ke seluruh penjuru internet.

Dampak yang Mulai Terasa

Perubahan bahasa sebenarnya wajar, tapi penggunaan bahasa gaul secara berlebihan dapat membawa sejumlah dampak negatif, terutama pada kemampuan berbahasa formal. Beberapa di antaranya:

  • Melemahnya kemampuan komunikasi formal, baik lisan maupun tulisan.
  • Hilangnya kosakata baku dari kebiasaan berbahasa generasi muda.
  • Menurunnya kebanggaan terhadap bahasa nasional, yang seharusnya menjadi identitas bangsa.

Akibatnya, tidak sedikit siswa atau mahasiswa yang kesulitan menulis surat resmi, karya ilmiah, atau berbicara dalam forum akademik. Bahasa baku yang dulu menjadi dasar pendidikan kini sering terasa asing, bahkan di lingkungan yang seharusnya menjaganya.

Bahasa Baku dan Bahasa Gaul: Dua Dunia yang Bisa Berdampingan

Sebenarnya, bahasa gaul tidak harus dianggap musuh bahasa baku. Bahasa adalah cermin budaya, dan bahasa gaul mencerminkan kreativitas serta semangat muda yang dinamis. Yang perlu dipahami adalah fungsi dan konteks penggunaannya.

Bahasa gaul cocok untuk komunikasi santai, konten hiburan, atau interaksi personal di media sosial. Sebaliknya, bahasa Indonesia baku tetap penting dalam konteks resmi, pendidikan, media massa, dan administrasi.

Keseimbangan inilah yang perlu dijaga agar generasi muda tetap bisa tampil modern tanpa kehilangan akar kebahasaan.

Upaya Menjaga Bahasa Indonesia Baku

Menjaga keberlangsungan bahasa baku tidak harus dilakukan dengan cara kaku. Ada banyak langkah sederhana namun efektif, antara lain:

  • Membaca dan menulis dengan bahasa baku.
    Membiasakan diri membaca berita, artikel, atau buku berbahasa Indonesia yang baik akan memperkaya kosakata dan meningkatkan kemampuan menulis.
  • Menggunakan bahasa baku di konteks formal.
    Saat membuat email, laporan, atau postingan profesional di media sosial, biasakan menggunakan bahasa Indonesia yang benar.
  • Menghargai dan mempopulerkan bahasa sendiri.
    Mulailah dari hal kecil: menggunakan kata baku di caption, kampanye literasi bahasa, atau sekadar memperbaiki kesalahan ejaan di percakapan sehari-hari.
  • Pendidikan Bahasa yang Kontekstual.
    Sekolah dan lembaga pendidikan bisa mengajarkan bahasa baku dengan cara yang lebih relevan—tidak sekadar teori, tetapi juga praktik yang dekat dengan kehidupan digital siswa.

Modern Tanpa Melupakan Jati Diri

Bahasa adalah identitas bangsa. Di tengah derasnya arus globalisasi dan tren digital, bahasa Indonesia baku tetap perlu dijaga agar tidak tenggelam di antara istilah asing dan bahasa gaul yang silih berganti.

Generasi muda bisa tetap update dan ekspresif tanpa meninggalkan bahasa nasionalnya. Modern bukan berarti meninggalkan akar budaya, tetapi mampu beradaptasi sambil menjaga jati diri.

Karena di setiap kata yang kita pilih, tersimpan nilai dan identitas bangsa.
Jadi, mari tetap bangga berbahasa Indonesia—baik dalam gaya gaul maupun dalam tutur yang baku.

Penulis: Desti Amelia
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

LAINNYA