Pajak di Era Kemenkeu Baru

waktu baca 4 minutes
Jumat, 26 Sep 2025 12:16 0 Nazwa

OPINI | TD — Isu mengenai APBN 2026 menjadi salah satu topik politik paling hangat dalam beberapa bulan terakhir. Setelah sekian lama dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati, kini tampuk kepemimpinan di Kementerian Keuangan beralih kepada Purbaya Yudhi Sadewa — sosok dengan pendekatan dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Pergantian ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan momentum penting yang akan menentukan arah baru pengelolaan fiskal Indonesia, khususnya di bidang perpajakan.

Sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak memiliki arti yang jauh melampaui fungsi ekonominya. Ia lahir dari interaksi kompleks antara kebutuhan masyarakat, kepentingan politik, dan strategi bisnis. Dalam kepemimpinan baru ini, pajak diharapkan menjadi fondasi utama bagi APBN 2026 yang dikenal ambisius. Namun, target penerimaan yang tinggi di tengah kondisi masyarakat yang baru pulih dari tekanan ekonomi menimbulkan pertanyaan mendasar:
Apakah kebijakan pajak kali ini akan menghadirkan keadilan fiskal, atau justru menambah beban bagi masyarakat berpenghasilan rendah?

Kepentingan Politik di Balik Kebijakan Fiskal

Dari perspektif politik, kebijakan fiskal tidak pernah lepas dari kepentingan kekuasaan. Pemerintah tentu ingin menjaga stabilitas anggaran demi kelangsungan pembangunan. Namun, dalam praktiknya, kelompok elit politik dan pelaku usaha besar kerap memperoleh perlakuan istimewa melalui insentif atau potongan pajak. Akibatnya, pajak sering dianggap sebagai beban yang lebih berat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, sementara kelompok tertentu justru diuntungkan.

Maka, masa kepemimpinan baru di Kementerian Keuangan menjadi ujian penting: apakah prinsip keadilan fiskal benar-benar dapat ditegakkan demi kepentingan rakyat, bukan segelintir pihak berpengaruh?

Implikasi Ekonomi: Antara Pendapatan dan Kesejahteraan

Dalam konteks ekonomi, pajak merupakan tulang punggung APBN. Namun strategi yang ditempuh pemerintah terkadang justru menekan daya hidup masyarakat. Perluasan basis pajak, penerapan pajak digital, dan penyesuaian tarif memang sah secara hukum, tetapi bila dilakukan tanpa mempertimbangkan realitas sosial, dampaknya bisa kontraproduktif.

Sektor UMKM, misalnya, yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi nasional, bisa terdampak negatif apabila kebijakan pajak diterapkan tanpa kebijakan pendukung yang memadai. Dalam situasi ini, pemerintah dituntut untuk menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal dan keberlanjutan ekonomi rakyat.

Aspek Sosial: Pajak dan Rasa Keadilan Publik

Dari sisi sosial, kebijakan pajak sangat erat kaitannya dengan rasa keadilan di masyarakat. Ketika masyarakat tidak melihat hasil nyata dari pajak yang mereka bayarkan — seperti pemerataan infrastruktur, layanan publik yang layak, atau subsidi yang tepat sasaran — maka tingkat kepercayaan terhadap pemerintah akan menurun.

Di era media sosial, kekecewaan publik bisa menyebar cepat dan memicu krisis legitimasi politik. Karena itu, pengelolaan pajak tidak cukup hanya dengan kebijakan yang “benar” secara administratif, melainkan juga harus komunikatif, transparan, dan partisipatif.

Komunikasi Politik dan Transparansi Fiskal

Tantangan lain yang dihadapi pemerintah adalah bagaimana mengelola narasi pajak secara efektif. Selama ini, pajak sering dipromosikan dengan slogan “demi pembangunan” atau “untuk kemandirian bangsa”. Namun narasi semacam ini sering kali tidak sejalan dengan pengalaman masyarakat sehari-hari.

Kurangnya transparansi dan berbagai kasus penyalahgunaan pajak memperlebar jarak kepercayaan publik. Di era kepemimpinan baru ini, pemerintah perlu menghadirkan transparansi nyata: laporan keuangan yang mudah diakses, keterlibatan publik dalam pengawasan, dan komunikasi yang jujur mengenai alokasi pajak.

Dimensi Hukum: Kepastian dan Konsistensi Regulasi

Dari sisi hukum, sistem perpajakan Indonesia diatur oleh sejumlah regulasi, mulai dari UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) hingga aturan turunan mengenai PPN, PPh, dan pajak daerah. Namun, perubahan aturan yang terlalu sering menciptakan ketidakpastian, baik bagi pelaku usaha maupun masyarakat umum.

Konsistensi hukum dan kepastian regulasi menjadi syarat mutlak agar kebijakan pajak berfungsi sebagai instrumen pembangunan, bukan sekadar alat administratif untuk menutup defisit anggaran.

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara menunjukkan bahwa sistem perpajakan yang adil dapat berjalan berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi. Jepang, misalnya, memberikan pengurangan pajak konsumsi dan subsidi langsung bagi keluarga pasca-krisis. Jerman menerapkan pajak digital disertai insentif bagi UMKM, agar beban tidak sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat kecil.

Kedua contoh ini menunjukkan bahwa keadilan fiskal dapat dicapai jika pemerintah menempatkan kepentingan masyarakat sebagai pusat kebijakan, bukan semata-mata mengejar angka penerimaan.

Rekomendasi dan Refleksi Akhir

Untuk memastikan kebijakan perpajakan era baru tidak menjadi bumerang, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan:

  1. Transparansi total. Pemerintah harus membuka informasi alokasi pajak dengan format yang sederhana dan mudah dipahami publik.
  2. Perlindungan UMKM dan sektor informal. Kebijakan pajak seharusnya juga mencerminkan komitmen negara untuk mendorong ekonomi rakyat kecil.
  3. Perbaikan komunikasi publik. Narasi pajak harus disertai bukti nyata dan partisipasi masyarakat, bukan sekadar jargon pembangunan.

Penutup

Pengelolaan pajak di bawah kepemimpinan baru merupakan ujian besar bagi arah fiskal Indonesia. Target ambisius APBN 2026 bisa menjadi peluang sekaligus risiko. Jika kebijakan pajak lebih membebani masyarakat kecil sementara kelompok berpengaruh tetap mendapat insentif, maka APBN akan kehilangan maknanya sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pajak seharusnya bukan sekadar alat untuk menutup defisit, melainkan instrumen keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Jika pemerintah gagal menjaga keseimbangan itu, maka sejarah bisa mencatat APBN 2026 bukan sebagai tonggak kemajuan, melainkan sebagai beban yang menekan rakyat.

Penulis: Aura Cantika Britania, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (*)

LAINNYA