OPINI | TD — Demokrasi di Indonesia kembali diuji dengan menguatnya fenomena politik dinasti, khususnya melalui peran keluarga Presiden Joko Widodo dalam panggung kekuasaan. Fenomena ini memicu perdebatan tajam: apakah keterlibatan keluarga presiden mencerminkan hak politik yang sah, atau justru bentuk nepotisme yang mengancam meritokrasi?
Politik dinasti merujuk pada praktik ketika kekuasaan diwariskan atau dikuasai anggota keluarga, bukan melalui kompetisi yang adil dan berbasis prestasi. Dalam teori demokrasi, setiap warga negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam politik.
Namun, seperti yang dipaparkan oleh Winters (2011), dinasti politik kerap mengurangi kualitas kompetisi dan menciptakan ketimpangan. Dal Bó, Dal Bó, dan Snyder (2009) bahkan menegaskan bahwa politik dinasti melemahkan akuntabilitas, sementara Choi (2018) menyebutnya sebagai ancaman terhadap meritokrasi.
Pasca-Reformasi, fenomena ini justru semakin subur di berbagai daerah. Kini, di era Jokowi, politik dinasti kembali menjadi sorotan nasional.
Keterlibatan keluarga Jokowi tidak lagi sebatas wacana, tetapi sudah nyata dan terukur.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam politik Indonesia, garis keturunan dan relasi personal masih memainkan peran besar, melampaui kapasitas individual semata.
Dalam konteks ini, demokrasi bisa terjebak pada prosedur formal belaka, sementara substansi keadilan dan kesetaraan justru hilang.
Politik dinasti di era Jokowi menghadirkan sejumlah konsekuensi serius:
Jika dibiarkan, kondisi ini bisa menurunkan kualitas demokrasi dan menjebaknya pada bentuk prosedural yang miskin substansi.
Isu politik dinasti menimbulkan keresahan publik. Data survei memperlihatkan tren penolakan:
Selain survei, aksi nyata juga muncul. Kelompok seperti Nurani ’98 melaporkan dugaan KKN ke KPK. Koalisi masyarakat sipil meluncurkan petisi menolak politik dinasti, sementara diskusi publik di ruang digital semakin marak.
Meski Presiden Jokowi menyerahkan penilaian kepada masyarakat, data menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar polemik sesaat, melainkan kegelisahan serius rakyat terhadap arah demokrasi.
Agar demokrasi tidak terjebak pada formalitas pemilu belaka, sejumlah langkah penting perlu diambil:
Fenomena dinasti politik di era Jokowi memperlihatkan paradoks demokrasi Indonesia: hak politik tetap dijamin, tetapi meritokrasi terancam. Jika dibiarkan, demokrasi bisa kehilangan esensinya dan berubah menjadi sistem yang dikendalikan oleh nama keluarga.
Namun, dengan regulasi yang tegas, partai politik yang sehat, dan keterlibatan aktif masyarakat sipil, arah demokrasi Indonesia masih bisa dijaga. Tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan kesetaraan kesempatan, meritokrasi, dan keadilan tetap menjadi fondasi utama politik Indonesia.
Penulis: Achmad Fatir Hasanudin, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)