OPINI | TD — Demokrasi, dalam esensinya, adalah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pusat kekuasaan. Ia tumbuh subur di tanah yang menjunjung kebebasan berpendapat, keadilan hukum, dan partisipasi publik tanpa rasa takut. Namun, di Indonesia, idealisme itu tampak semakin jauh dari kenyataan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan meningkatnya tekanan terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat adat yang sekadar menjalankan hak konstitusionalnya untuk bersuara. Mereka tidak hanya dikriminalisasi, tapi juga diintimidasi dan diteror — seolah kritik adalah dosa, dan keberanian menjadi ancaman bagi kekuasaan.
Fenomena ini bukan insiden acak, melainkan gejala struktural yang menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia sedang terserang dari dalam. Sistem yang seharusnya melindungi warga negara kini justru sering menjadi alat untuk membungkam mereka.
Serangan terhadap aktivis dan pembela HAM di Indonesia berkembang dalam bentuk yang semakin canggih. Tidak lagi sekadar kekerasan fisik, tapi juga melalui kriminalisasi hukum dan serangan digital. Pasal-pasal karet dalam UU ITE, tuduhan penyebaran hoaks, hingga peretasan akun media sosial menjadi senjata ampuh untuk menekan suara-suara kritis.
Lebih ironis lagi, sebagian besar serangan tersebut diduga melibatkan aparat negara atau pihak yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi. Aktivis yang menolak proyek tambang atau memperjuangkan hak masyarakat adat sering dilabeli sebagai pengganggu pembangunan. Padahal, mereka hanyalah warga negara yang menuntut tanggung jawab sosial dan ekologis dari negara.
Data Amnesty International dan KontraS memperkuat kekhawatiran ini. Hanya dalam paruh pertama tahun 2025, tercatat 104 korban dalam 54 kasus serangan terhadap pembela HAM. Dari jumlah itu, aparat kepolisian menjadi pelaku terbanyak. Ini bukan sekadar angka, melainkan cermin dari lemahnya komitmen negara terhadap prinsip rule of law dan perlindungan hak asasi.
Realitas di lapangan menegaskan bahwa kebebasan sipil di Indonesia masih rapuh.
Di Halmahera Timur, sebelas warga masyarakat adat Maba Sangaji dijerat hukum karena menolak aktivitas tambang di tanah leluhur mereka. Di Jakarta, lembaga HAM KontraS dan redaksi Tempo diteror dengan paket berisi bangkai hewan. Di Semarang, beberapa jurnalis mengalami kekerasan fisik ketika meliput aksi publik. Bahkan di Sumatera Barat, tragedi meninggalnya Afif Maulana — bocah 13 tahun yang diduga dianiaya aparat — menjadi simbol buramnya akuntabilitas hukum di negeri ini.
Setiap peristiwa itu menunjukkan satu hal: ketika kekuasaan merasa terganggu, hukum seringkali tunduk pada kepentingan, bukan pada keadilan.
Serangan terhadap aktivis bukan hanya persoalan pelanggaran hak individu. Ia merupakan ancaman langsung terhadap fondasi demokrasi itu sendiri.
Dalam konteks ini, demokrasi Indonesia memang masih hidup secara prosedural — pemilu tetap digelar, lembaga negara tetap berfungsi. Namun secara substantif, ia sedang sekarat. Demokrasi tanpa kebebasan berpendapat hanyalah topeng bagi kekuasaan yang anti kritik.
Krisis demokrasi yang kita hadapi saat ini seharusnya menjadi alarm moral bagi negara. Pemerintah tidak bisa terus bersembunyi di balik jargon “stabilitas nasional” sementara warganya diintimidasi karena bicara benar. Perlindungan terhadap aktivis, jurnalis, dan pembela HAM bukanlah hadiah, tetapi kewajiban konstitusional.
Negara harus memperkuat mekanisme penegakan hukum yang independen, menegur keras aparat yang menyalahgunakan wewenang, serta memastikan kebebasan sipil tidak dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek. Di sisi lain, masyarakat sipil, media, dan generasi muda harus tetap menjadi benteng terakhir demokrasi — dengan terus mengawasi, menulis, dan bersuara.
Demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan; ia adalah napas kebebasan yang hanya hidup bila rakyatnya berani berbicara. Ketika para aktivis dibungkam, jurnalis diteror, dan masyarakat takut bersuara, maka negara sedang kehilangan jiwanya sendiri.
Kini, pertanyaan yang perlu kita renungkan bukan lagi apakah demokrasi Indonesia masih ada, melainkan apakah kita masih berani menjaganya.
Penulis: Muhammad Agni
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA). (*)