OPINI | TD – Ramadhan tahun 1446 H kali ini hadir di tengah masyarakat Muslim Indonesia, bersamaan dengan maraknya berita mengenai korupsi. Korupsi yang oleh sebagian masyarakat di dunia maya disebut sebagai “Liga Korupsi Indonesia”, di mana peringkat pertama kini ditempati oleh catatan kasus korupsi dengan nilai terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Apalagi kalau bukan kasus korupsi Pertamina!
Kasus korupsi Pertamina yang ramai dibincangkan saat ini ternyata berhasil dibongkar oleh Kejaksaan Agung, bukan KPK. Korupsi yang ditaksir oleh beberapa media merugikan negara senilai hampir 1000 triliun rupiah sepanjang 2018-2023. Taksiran angka kerugian tersebut tentu saja mencengangkan bagi masyarakat Indonesia. Angka yang fantastis ini bahkan ditulis oleh beberapa di antara mereka dengan bilangan 1 kuadriliun.
Jika kita menilik ke belakang, terbongkarnya berbagai kasus korupsi dengan taksiran kerugian negara di angka triliun bukanlah hal baru di Indonesia. Dimulai dengan terkuaknya kasus korupsi PT. Timah (300 triliun), korupsi BLBI (138 triliun), korupsi Duta Palma (78 triliun), dan lain sebagainya, sebagaimana dirangking dalam klasemen “Liga Korupsi Indonesia”. Seolah tidak mengambil pelajaran dari berbagai kasus yang pernah terjadi sebelumnya, beragam kasus korupsi dengan nilai besar ini terus berulang.
Terus berulangnya beraneka ragam kasus korupsi yang belakangan terungkap menimbulkan tanda tanya besar. Tanda tanya ini menunjukkan betapa pemerintah Indonesia belum begitu serius dalam memberantas korupsi. Bahkan, sebagaimana video yang dirilis oleh Dr. Hasto Kristiyanto dan ditayangkan oleh berbagai akun YouTube, dikatakan bahwa pemberantasan koruptor secara serius dilemahkan secara sistematis melalui revisi UU KPK.
Jika masyarakat Indonesia memvalidasi informasi tersebut di tataran faktual, maka dinamika kasus korupsi yang terus terjadi melibatkan para penyelenggara negara di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa jadi ada benarnya. Meskipun masih ada yang berpendapat bahwa mereka yang sudah terbukti korupsi dan diadili hanyalah segelintir oknum pejabat, secara nyata hukuman bagi para pelaku korupsi pun belum memberikan efek jera. Bahkan, di masa menjalani hukuman, ada saja dari mereka yang memperoleh pengurangan masa kurungan dengan berbagai alasan.
Oleh karena itu, tidaklah heran jika seolah Indonesia kini tidak lagi berdaya untuk membabat bahaya laten korupsi yang semakin massif terjadi. Korupsi yang dilakukan oleh para koruptor di berbagai lembaga dan kementerian bagaikan api yang disiram bensin, semakin menyala. Di saat bersamaan, fenomena ini oleh para mahasiswa di berbagai daerah dipandang sebagai alamat menuju masa “Indonesia Gelap”.
“Indonesia Gelap” dapat berarti kehilangan cahaya harapan menuju perbaikan di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini, berbagai jebakan serta labirin kepentingan, baik pribadi maupun golongan, rawan menjangkiti. Bukan hanya menjangkiti para penyelenggara negara, tetapi juga para mitra kerjanya. Mitra kerja yang seharusnya secara produktif dan progresif menyokong program-program pembangunan bangsa, tetapi yang terjadi malah cenderung bermental parasit.
Tidak sedikit dari mereka yang memiliki mental tersebut didapati bermufakat jahat dalam kongsi untuk korupsi. Baik mereka yang diklasifikasi sebagai pemilik modal usaha, maupun para pemilik pengaruh politik di masyarakat, atau bahkan siapa saja yang ternyata bermental komprador. Semuanya terbukti hanya mencari keuntungan bagi diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.
Oleh karena itu, dalam kesempatan yang baik di bulan Ramadhan yang penuh ampunan ini, baik pemerintah maupun masyarakat hendaknya mulai berniat berbenah diri. Berniat mencegah segala hal yang memungkinkan terjadinya perilaku koruptif. Dimulai dari diri sendiri, dari sekarang, dan dari berbagai hal yang tampaknya sepele untuk dilakukan tanpa terlintas niat atau tindakan koruptif sekecil apapun.
Korupsi yang dilakukan oleh masyarakat umum maupun aparat pemerintah harus digaungkan sebagai bentuk kejahatan luar biasa, berapapun nilainya. Para da’i dan mubaligh pada bulan Ramadhan ini mesti turut andil menggemakannya di surau-surau, di masjid-masjid, dan di mana saja untuk menyampaikan secara vokal untaian firman Tuhan. Firman yang termaktub dalam kitab suci bahwa mengambil sesuatu yang bukan haknya adalah perbuatan yang mengakibatkan dosa bagi pelakunya.
Di sisi lain, korupsi juga perlu dimaknai bukan hanya sebagai dosa bagi pelakunya, tetapi juga sebagai ancaman terjadinya bencana bagi lingkungan di sekitarnya. Bencana yang bukan hanya berbentuk materiil, tetapi juga moril. Banjir, longsor, dan sejenisnya kerap dianggap merugikan secara materi bagi para penyintasnya. Demikian pula jeratan pinjol, bullying, prostitusi online, love scamming, flexing, oplosan, serta segala bentuk kerugian moril lainnya yang bisa jadi disebabkan oleh berbagai perilaku hilirisasi korupsi di negeri ini.
Kalaupun kita masih harus belajar bagaimana memberantas korupsi dari negara-negara lain, tentu saja tidak mengapa. Mengingat perilaku koruptif juga bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara lain. Namun, beberapa negara tersebut secara tegas memvonis para pelaku korupsi dengan hukuman seberat-beratnya. Bukan hanya dengan kurungan di dalam penjara, tetapi juga dengan hukuman mati, sehingga menimbulkan efek jera dan mencegah terulangnya kasus serupa di kemudian hari.
Negara-negara yang diketahui tegas dalam menghukum para pelaku korupsi antara lain adalah China, Korea Utara, Iran, dan Vietnam. China, misalnya, menghukum mati siapa saja yang terbukti korupsi. Tidak heran jika kemajuan dalam pembangunan bangsa dan negara mereka kini semakin diakui dunia. Begitu pula Korea Utara, di mana siapa saja yang korup niscaya akan dihabisi oleh presidennya. Pemimpin Korea Utara saat ini dijuluki sebagai “tangan besi”. Negara Iran dan Vietnam pun tidak ketinggalan dalam menghukum keras para pejabat yang terbukti mencuri uang rakyat. Para maling sering kali dihukum gantung di tengah keramaian masyarakat sebagai efek jera.
Dari apa yang disampaikan di atas, besar harapan pemimpin Indonesia kini juga bernyali dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Di bulan suci Ramadhan 1446 H ini, tepat kiranya kita bersama kembali bermuhasabah demi kebaikan bangsa dan negara Indonesia ke depannya. Jangan ada lagi toleransi, apalagi remisi bagi para maling yang telah berniat dan berminat jahat merampok uang rakyat negeri ini. Mengambil sesuatu yang bukan haknya sudah tentu dihukumi dosa oleh syariat agama, apalagi sampai merugikan banyak manusia. Semoga tidak lagi ada bencana yang terjadi disebabkan perilaku korupsi yang semakin merajalela di negeri ini. Amin!
Penulis: Muhammad Kamaluddin, Pegiat Literasi NUN. (*)