OPINI | TD — Pasca Pemilu 2024, peta politik Indonesia kembali diwarnai dinamika pembentukan koalisi partai-partai besar. Koalisi bukan sekadar instrumen kerja sama politik; ia juga menjadi faktor penting dalam menjaga stabilitas pemerintahan dan efektivitas kebijakan publik. Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, koalisi diperlukan untuk memperkuat dukungan parlemen terhadap kebijakan eksekutif.
Namun, persoalan muncul ketika koalisi lebih berorientasi pada transaksi politik dan pembagian kekuasaan ketimbang kepentingan rakyat. Koalisi besar yang terbentuk pasca Pemilu 2024 menunjukkan kecenderungan pragmatisme kekuasaan. Miriam Budiardjo (2008) menekankan pentingnya partai sebagai saluran aspirasi rakyat. Jika partai lebih sibuk dengan negosiasi kursi dan posisi strategis, fungsi representasi publik pun terancam terabaikan.
Proses pembentukan koalisi pascapemilu sering kali diwarnai tarik-menarik kepentingan antarpartai. Isu yang paling menonjol adalah pembagian kursi strategis di kabinet dan parlemen. Perebutan posisi ini kerap menimbulkan kesan bahwa orientasi politik lebih condong pada pembagian kekuasaan daripada pengabdian terhadap rakyat.
Selain itu, melemahnya peran oposisi menjadi persoalan tersendiri. Ketika hampir semua partai bergabung dalam koalisi pemerintah, mekanisme check and balance berpotensi tidak berjalan efektif. Kualitas demokrasi pun terancam, karena kritik terhadap kebijakan publik menjadi minim, dan keputusan cenderung disepakati tanpa kajian mendalam.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berpotensi kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, melainkan lebih mengakomodasi kepentingan elit politik. Pola tarik-menarik ini menunjukkan bahwa proses pembentukan pemerintahan sering kali lebih mencerminkan kalkulasi kekuasaan dibanding aspirasi publik.
Dalam kajian ilmu politik, teori koalisi (coalition theory) menjelaskan bahwa kerja sama antarpartai dibangun untuk memaksimalkan kekuasaan dan mengamankan posisi politik. William Riker (1962) dalam teori minimal winning coalition menekankan bahwa partai akan berkoalisi sejauh koalisi tersebut cukup untuk menang, tanpa harus membagi kekuasaan terlalu luas.
Dalam konteks Indonesia, teori ini tampak relevan. Survei LSI dan Indikator Politik Indonesia menunjukkan publik mulai menyadari adanya koalisi gemuk yang tidak selalu mencerminkan kepentingan rakyat, melainkan upaya untuk memastikan stabilitas pemerintahan melalui kompromi politik. Koalisi besar kerap membuat pengambilan keputusan di kabinet lebih lambat karena harus menampung banyak kepentingan partai.
Sementara itu, teori demokrasi konsolidasi (Larry Diamond, 1999) menyatakan bahwa demokrasi akan stabil jika lembaga-lembaga politik bekerja secara akuntabel dan masyarakat memiliki kepercayaan terhadap proses politik. Ketika koalisi didominasi kepentingan elit dan tidak transparan, kepercayaan publik menurun, dan proses konsolidasi demokrasi bisa terganggu.
Kondisi ini terlihat dalam penentuan komposisi kabinet pasca-Pemilu 2024, di mana negosiasi politik antarpartai berperan besar dalam penempatan posisi strategis di kementerian dan lembaga negara.
Dinamika koalisi semacam ini memiliki implikasi luas bagi tata kelola pemerintahan dan kualitas demokrasi di Indonesia. Dalam jangka pendek, koalisi besar memang berpotensi menciptakan stabilitas, karena meminimalkan konflik di parlemen. Presiden dapat menjalankan program kerja tanpa hambatan berarti dari oposisi.
Namun, dalam jangka panjang, kondisi ini bisa melemahkan demokrasi substantif. Kebijakan publik berisiko kehilangan daya kritis dan menjadi produk kompromi politik antarpartai. Misalnya, arah kebijakan ekonomi atau hukum dapat lebih dipengaruhi negosiasi politik daripada kajian berbasis kebutuhan masyarakat.
Jika masyarakat melihat politik sebagai arena transaksi kekuasaan semata, kepercayaan terhadap lembaga politik menurun. Apatisme politik pun berpotensi meningkat, baik dalam bentuk rendahnya partisipasi pemilih maupun ketidakpercayaan terhadap institusi demokrasi.
Dinamika koalisi pascapemilu mencerminkan kompleksitas demokrasi Indonesia yang masih terus berproses. Koalisi diperlukan untuk menjaga stabilitas pemerintahan, namun harus dibarengi komitmen etis dan transparansi politik.
Partai-partai perlu menegakkan prinsip akuntabilitas, integritas, dan kepentingan publik agar koalisi tidak sekadar arena pembagian kekuasaan. Pemerintah juga harus memastikan ruang oposisi yang sehat sebagai bagian dari mekanisme pengawasan demokratis.
Jika keseimbangan antara stabilitas politik dan kepentingan publik terjaga, koalisi akan menjadi fondasi pemerintahan yang kuat sekaligus demokratis. Masa depan koalisi politik Indonesia seharusnya diarahkan pada kemitraan berbasis visi kebangsaan, bukan sekadar transaksi kekuasaan. Dengan begitu, demokrasi Indonesia bisa tumbuh sebagai sistem yang stabil, substantif, dan berpihak pada rakyat.
Penulis: Assyifa Serliana Zein
Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)