KOTA TANGERANG | TD — Kesulitan ekonomi membuat Reza (26) memilih mengais rejeki dengan mengecat tubuhnya menjadi manusia silver. Dampak buruk bagi kesehatan tubuhnya tidak dipedulikan.
Reza bukan tidak mengetahui dampak jangka panjang pemakaian cat yang mengandung bahan kimia itu pada tubuhnya. Ia telah mengetahui dari mereka yang telah melakoni profesi tersebut bertahun-tahun. Namun tuntutan dapur harus tetap ngebul, pria yang sebelumnya sebagai sopir angkutan kota (angkot) itu, memilih setiap hari mengais rejeki dengan menjadi manusia silver.
Fenomena manusia silver merebak di Kota Tangerang sejak terjadi pandemi covid-19. Desakan kebutuhan ekonomi membuat mereka mengabaikan dampak penggunaan cat yang mengandung bahan kimia bagi kesehatan tubuh. (Foto: Eko Setiawan/TangerangDaily)
“Ini pakai cat bubuk sablon, membersihkannya pakai sabun pencuci piring, kalau pakai air saja tidak bisa. Kadang suka gatal-gatal, panas, kulit kering seperti terbakar. Sebenarnya ada risiko, bahkan ada yang kanker kulit, bentol-bentol juga. Mungkin karena saya masih muda, jadi belum terasa akibatnya,” ujarnya kepada TangerangDaily, awal pekan ini.
Reza mengaku mendapatkan penghasilan lebih besar dengan menjadi manusia silver daripada menjadi sopir angkot di tengah pandemi covid-19 ini. Setiap hari, ia bisa mengantongi rupiah Rp200 ribu.
Hasil mengais rejeki di jalanan dari pagi hingga sore hari itu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia tengah menantikan kelahiran buah hatinya yang telah berusia delapan bulan di kandungan istrinya.
Namun ia juga mengakui mulai lelah mencari nafkah dengan menjadi manusia silver. Setiap hari, ia kerap diburu petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena kehadiran mereka dinilai mengganggu kenyamanan pengguna jalan raya.
Fenomena manusia silver merebak di Kota Tangerang sejak terjadi pandemi covid-19. Desakan kebutuhan ekonomi membuat mereka mengabaikan dampak penggunaan cat yang mengandung bahan kimia bagi kesehatan tubuh. (Foto: Eko Setiawan/TangerangDaily)
“Setiap hari kucing-kucingan dengan Satpol PP. Kemarin saya sempat ditangkap, hanya didata dan diberi peringatan, setelah itu keluar ditebus dengan KTP dan Kartu Keluarga,” ungkapnya.
“Saya juga enggak mau terus begini, capek dikejar petugas melulu, belum lagi risiko pakai cat. Saya enggak mau lama-lama jadi manusia silver, hanya menabung untuk biaya lahiran istri, setelah itu mau cari kerjaan lain,” sambungnya.
Kisah serupa dituturkan juga Putra (12), anak yang juga melakoni menjadi manusia silver. Putra telah putus sekolah sejak duduk di kelas 2 SD karena orang tuanya tidak mampu memenuhi kebutuhan sekolahnya.
“Mau gimana lagi, orang tua saya sudah enggak ada. Sekarang tinggal sama orang tua angkat, tapi tidak bisa biayai sekolah saya. Sudah takdirnya begini,” katanya.
Fenomena manusia silver merebak di Kota Tangerang, terlebih sejak terjadi pandemi covid-19. Desakan kebutuhan ekonomi menjadi sebagian besar alasan mereka mengecat tubuhnya dengan warna silver, lalu mengais rejeki di jalanan. (Eko Setiawan/Rom)