Judi Online dan Krisis Nilai: Bukti Rapuhnya Moralitas Milenial dan Gen Z

waktu baca 10 minutes
Senin, 1 Des 2025 17:12 0 Nazwa

OPINI | TD — Judi online telah berkembang menjadi salah satu masalah sosial terbesar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama di era percepatan teknologi digital. Data menunjukkan bahwa nilai transaksi judi online pada kuartal pertama 2025 mencapai hampir Rp48 triliun (Katadata, 2025), dengan proyeksi tahunan yang dapat menembus Rp1.200 triliun (Kompas, 2025). Pada periode yang sama, sekitar 3,1 juta orang tercatat sebagai pemain aktif (Bisnis Finansial, 2025), dan 71% di antaranya berasal dari kelompok berpenghasilan rendah (Kontan, 2025).

Kondisi ini mengungkap ironi sosial: mereka yang berada dalam tekanan ekonomi justru menjadi target paling mudah dari praktik spekulatif berbasis digital. Lebih mengkhawatirkan lagi, kelompok usia muda atau Gen Z, khususnya 10–20 tahun, menunjukkan tingkat paparan yang semakin tinggi. Hal ini memperlihatkan bagaimana generasi yang masih berada dalam fase pembentukan nilai moral sudah terlibat dalam aktivitas berisiko tinggi ini.

Dalam ruang digital, situasinya semakin parah. Lebih dari 3,1 juta konten judi online ditemukan tersebar hanya dalam beberapa bulan, menandakan betapa masifnya promosi, normalisasi, dan penetrasi industri judi dalam kehidupan digital generasi milenial dan Gen Z (Kontan, 2025). Konten-konten tersebut tidak jarang dikemas dengan bahasa persuasif, janji keuntungan cepat, serta citra gaya hidup glamor yang secara sengaja ditujukan untuk memikat perhatian anak muda.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa judi online bukan hanya persoalan kriminalitas digital, tetapi merupakan gejala utama rapuhnya moralitas generasi digital. Fenomena ini tidak sekadar menggambarkan meningkatnya perilaku menyimpang, tetapi sekaligus menyingkap melemahnya nilai-nilai dasar seperti pengendalian diri, etika kerja, tanggung jawab, serta kemampuan membedakan risiko jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha menelaah mengapa judi online menjamur di kalangan generasi muda dan bagaimana fenomena ini menggambarkan krisis nilai yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia.

Analisis Masalah

Akar Penyebab dari Sudut Pandang Moral dan Etika

1. Melemahnya kontrol moral pribadi di era serba digital
Salah satu akar utama meningkatnya praktik judi online adalah menurunnya kontrol moral diri. Milenial dan Gen Z tumbuh dalam budaya yang mengutamakan kecepatan, kemudahan, dan hasil instan. Dalam lingkungan seperti ini, nilai-nilai etika klasik seperti kesabaran, kerja keras, dan ketekunan sering kali dipandang tidak relevan. Judi online menawarkan jalan pintas: dengan satu kali klik, seseorang memiliki peluang memperoleh uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Godaan finansial instan melemahkan kemampuan generasi muda untuk mempertahankan prinsip moral, terutama ketika mereka menghadapi tekanan ekonomi dan sosial.

2. Normalisasi perilaku amoral di dunia digital
Media sosial memperburuk keadaan. Fenomena flexing, gaya hidup konsumtif, dan konten yang memamerkan kekayaan instan menciptakan persepsi bahwa kekayaan adalah ukuran utama kesuksesan, bukan integritas moral atau pencapaian nyata. Ketika influencer yang dianggap kredibel secara sengaja maupun tidak menampilkan iklan permainan daring, generasi muda semakin terdorong menganggap judi online sebagai aktivitas biasa, bukan praktik ilegal atau amoral. Terjadi apa yang disebut sebagai moral desensitization, yaitu menurunnya sensitivitas terhadap perilaku buruk karena sering terpapar.

3. Ketidakmampuan membedakan etika digital dan realitas moral
Generasi saat ini sangat akrab dengan teknologi, tetapi tidak semuanya memiliki literasi digital yang etis. Mereka mampu mengoperasikan aplikasi, tetapi kesulitan memahami konsekuensi moral dari tindakan digitalnya. Judi online, misalnya, dianggap sebagai permainan biasa karena terjadi di layar ponsel, bukan di kasino fisik. Mereka gagal menyadari bahwa dampak moral, hukum, dan sosialnya sama beratnya. Dalam konteks ini, ruang digital menjadi “zona abu-abu” tempat norma moral kabur dan tidak lagi dianggap mengikat.

4. Tekanan sosial-ekonomi yang membuat nilai moral rentan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dan keterbatasan peluang kerja membuat sebagian generasi muda mencari penghasilan alternatif yang dianggap cepat dan mudah. Ketika kebutuhan tidak terpenuhi, nilai moral sering kali dikorbankan. Bagi sebagian anak muda, judi online bukan lagi sekadar hiburan, melainkan “solusi” keputusan, meskipun berisiko sangat tinggi. Tekanan ini menjadikan moralitas rentan terhadap godaan jalan pintas.

5. Lemahnya internalisasi nilai Pancasila dalam pendidikan dan keluarga
Pendidikan Pancasila di sekolah sering kali disampaikan secara normatif dan berbasis hafalan, bukan sebagai prinsip moral yang hidup. Di rumah, sebagian keluarga tidak lagi menjadi ruang efektif untuk menanamkan nilai moral karena banyak orang tua sibuk bekerja atau tidak memahami tantangan moral digital. Akibatnya, Pancasila tidak hadir sebagai panduan nyata dalam mengambil keputusan etis. Generasi muda akhirnya lebih dipengaruhi oleh algoritma media sosial dibandingkan nilai-nilai Pancasila.

Identifikasi Nilai Pancasila yang Paling Dilanggar dan Kaitannya

Fenomena judi online ini melanggar beberapa sila sekaligus, namun ada tiga sila yang paling menonjol pelanggarannya:

1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan, termasuk integritas moral, pengendalian diri, serta menjauhi tindakan yang merusak diri sendiri maupun orang lain. Judi, hampir dalam semua agama, dianggap sebagai tindakan yang mengundang kerusakan moral seperti menumbuhkan sifat tamak, malas, dan lupa terhadap nilai keberkahan dari hasil kerja keras. Ketika generasi muda tenggelam dalam judi online, mereka sedang mengabaikan prinsip moralitas spiritual yang menjadi inti sila pertama.

2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Judi online bukanlah tindakan yang hanya berdampak pada pelaku; ia menciptakan rangkaian kerentanan sosial. Banyak kasus kriminal, pencurian, kekerasan rumah tangga, hingga bunuh diri terkait judi online. Hal ini menunjukkan hilangnya rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap martabat diri maupun orang lain. Tindakan yang merugikan keluarga, pasangan, dan masyarakat jelas bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Judi online memperparah ketimpangan sosial. Para bandar dan operator mengeruk keuntungan besar, sementara masyarakat kelas bawah yang menjadi target utama justru terjerumus ke dalam jeratan utang, pinjaman ilegal, dan kehilangan kestabilan ekonomi. Fenomena ini mencederai prinsip pemerataan dan keadilan sosial. Sila kelima mengajarkan keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan, sementara judi online justru menyuburkan ketidakadilan dan eksploitasi.

Urgensi Mempelajari Pancasila

Mengapa Pendekatan Hukum atau Teknis Saja Tidak Cukup?

Masalah judi online tidak dapat sepenuhnya diselesaikan hanya dengan pendekatan hukum, teknologi, atau tindakan represif seperti pemblokiran situs dan penangkapan pelaku. Ada beberapa alasan fundamental mengapa pendekatan tersebut tidak memadai dan hanya bersifat jangka pendek:

a) Judi online adalah masalah moral, bukan sekadar pelanggaran hukum
Judi online berakar pada dorongan psikologis dan moral seperti keinginan instan, sifat tamak, ketidakmampuan mengendalikan diri, dan penurunan kepekaan etis. Hukum dapat menekan perilaku, tetapi tidak mampu memulihkan nilai moral seseorang. Tanpa transformasi nilai, orang yang berhenti karena takut sanksi akan kembali melakukannya ketika kesempatan lain muncul.

b) Teknologi selalu lebih cepat daripada regulasi
Pemerintah memblokir ribuan situs, namun operator judi online selalu membuat domain baru. Selama orientasi moral masyarakat tidak berubah, tindakan teknis seperti pemblokiran hanya “mengejar bayangan”. Perubahan moral jauh lebih penting daripada hanya memperkuat filter digital.

c) Hukum tidak mengubah paradigma hidup
Penegakan hukum dapat menghentikan tindakan, tetapi tidak dapat mengubah pola pikir seperti: Mengapa mereka ingin kaya cepat? Mengapa integritas tidak lagi diprioritaskan? Mengapa mereka menganggap judi online sebagai hal yang wajar? Yang bisa mengubah paradigma adalah pendidikan nilai, bukan sekadar sanksi.

d) Masalah ini berkelindan dengan budaya dan gaya hidup digital
Krisis moral yang muncul dari judi online dipengaruhi oleh budaya flexing, tekanan sosial, dan mentalitas hasil instan. Ini adalah masalah kultur, bukan hanya kriminalitas. Karena itu, solusi harus menyentuh sisi moral, sosial, dan budaya, bukan sekadar ranah hukum.

e) Penegakan hukum baru efektif jika masyarakat memiliki kesadaran moral
Tanpa kesadaran moral, hukum dipandang sebagai penghalang, bukan pedoman hidup. Pemblokiran situs akan dicari celahnya, dan hukuman akan diakali. Ketika nilai Pancasila hidup dalam diri warga, hukum menjadi bagian dari kesadaran etis, bukan sekadar ancaman.

Bagaimana Pemahaman Mendalam Pancasila Menjadi Solusi Jangka Panjang?

Pancasila bukan hanya dasar negara; ia adalah kerangka moral, etika sosial, dan cara hidup. Ketika dipahami secara mendalam, bukan hanya dihafal, Pancasila mampu memberikan solusi jangka panjang terhadap masalah judi online dan degradasi moral generasi muda.

a) Sila Pertama: Membentuk kesadaran spiritual yang menolak jalan pintas merusak diri
Jika pemahaman ketuhanan tidak berhenti pada ritual atau hafalan, generasi muda akan memiliki kesadaran batin bahwa hidup harus dijalani dengan kejujuran, rezeki yang diperoleh adalah hasil dari kerja keras, dan tindakan yang merusak diri adalah bentuk pengkhianatan pada nilai spiritual. Kesadaran ini menumbuhkan pengendalian diri sebagai modal moral terbesar untuk menolak godaan judi online.

b) Sila Kedua: Menumbuhkan empati dan rasa tanggung jawab sosial
Pemahaman mendalam terhadap sila kedua membuat seseorang sadar bahwa judi tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga merugikan keluarga, pasangan, dan masyarakat. Empati dan keadaban mencegah seseorang melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Tanpa empati, hukum tidak akan berarti.

c) Sila Ketiga: Membentuk solidaritas yang mencegah budaya individualistik
Generasi digital semakin individualistis dan mudah terisolasi. Pemahaman sila ketiga menumbuhkan kesadaran bahwa kehidupan sosial membutuhkan solidaritas, keterlibatan, dan dukungan. Dengan kesadaran ini, generasi muda tidak akan mudah terperangkap dalam aktivitas yang merusak diri dan lingkungannya.

d) Sila Keempat: Membentuk cara berpikir rasional dan deliberatif
Judi online adalah tindakan impulsif. Sila keempat mengajarkan proses berpikir yang demokratis, rasional, dan mempertimbangkan akibat jangka panjang. Ketika seseorang terbiasa mengambil keputusan dengan cara bermusyawarah, baik secara internal maupun dalam komunitas, serta berdasarkan pertimbangan moral, keputusan impulsif seperti berjudi menjadi lebih mudah ditolak.

e) Sila Kelima: Menyadarkan bahwa keadilan sosial tidak bisa dicapai melalui praktik destruktif
Pemahaman mendalam terhadap sila kelima membuat generasi muda sadar bahwa keadilan sosial hadir melalui usaha, kolaborasi, etika ekonomi, dan distribusi keuntungan yang manusiawi. Judi online bertentangan dengan prinsip ini karena berbasis eksploitasi dan ketidakadilan. Kesadaran ini mendorong generasi muda untuk memilih cara memperoleh rezeki yang adil dan bermartabat.

Jadi, kesimpulan urgensi ini adalah: Pancasila bukan hanya dokumen normatif, melainkan sistem nilai yang membentuk karakter bangsa. Pendekatan hukum dapat menghukum pelaku, namun hanya nilai yang dapat membuat seseorang tidak ingin melakukan hal buruk. Judi online dan krisis moral generasi muda hanya dapat diatasi melalui pembentukan karakter, pendidikan nilai, internalisasi Pancasila dalam kehidupan digital, dan kesadaran moral yang hidup. Dengan pemahaman yang mendalam, Pancasila menjadi fondasi etis yang membuat generasi muda kebal terhadap godaan perilaku destruktif, bukan karena takut dihukum, tetapi karena sadar apa yang benar.

Solusi

Upaya mengatasi maraknya judi online di kalangan Gen Z memerlukan internalisasi nilai Pancasila melalui pendekatan yang relevan dengan budaya digital mereka. Nilai etika tidak cukup diajarkan secara teoritis, melainkan perlu dihadirkan dalam bentuk konten kreatif seperti video pendek, ilustrasi, atau komik digital yang menampilkan konsekuensi sosial dan ekonomi dari judi online. Pendekatan visual semacam ini lebih efektif untuk menanamkan nilai kemanusiaan, pengendalian diri, dan keadilan sosial.

Di lingkungan pendidikan, penggunaan simulasi dilema etika digital dapat melatih siswa membuat keputusan moral berdasarkan Pancasila sehingga nilai tidak hanya dipahami, tetapi juga dipraktikkan.

Selain itu, pembentukan komunitas positif berbasis minat seperti seni digital, e-sport beretika, atau olahraga dapat menjadi alternatif sehat bagi Gen Z yang rentan terhadap tekanan sosial dan hiburan instan. Komunitas semacam ini membantu menanamkan nilai gotong royong dan tanggung jawab secara alami.

Literasi finansial yang dihubungkan dengan etika publik juga diperlukan agar Gen Z memahami bahwa judi online tidak hanya berisiko secara ekonomi, tetapi juga bertentangan dengan prinsip moral Pancasila. Upaya ini dapat diperkuat melalui proyek aplikatif seperti pembuatan kampanye anti-judi atau analisis etika penggunaan teknologi. Ditambah dengan kehadiran role model muda yang relevan serta penyajian data kerugian judi online dalam bentuk visual interaktif, Gen Z dapat mengembangkan kesadaran kritis dan moral yang konsisten dengan nilai Pancasila.

Kesimpulan

Fenomena judi online menunjukkan bahwa generasi muda tengah menghadapi krisis nilai yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui pendekatan hukum atau teknis. Dalam konteks ini, Pancasila kembali menegaskan relevansinya sebagai benteng moral bangsa. Nilai-nilainya menyediakan kerangka etis yang komprehensif untuk menilai, memahami, dan merespons tantangan moral era digital.

Ketika Pancasila tidak hanya dihafal, tetapi benar-benar diinternalisasi dalam cara berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan, generasi muda memiliki landasan yang kokoh untuk menolak praktik-praktik destruktif seperti judi online. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar warisan ideologis, tetapi fondasi moral yang harus terus dihidupkan agar masyarakat Indonesia mampu menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan integritas, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosialnya.

Penulis: Putri Aulia Zahra
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA