Jalan Lurus Menuju Cinta Suci: Menimbang Pacaran dalam Perspektif Islam

waktu baca 3 minutes
Selasa, 10 Des 2024 22:26 0 Redaksi

OPINI | TD — Dalam era modern yang serba cepat, di mana batasan-batasan sosial terasa semakin kabur, pertanyaan tentang pacaran seringkali muncul dalam konteks agama, khususnya Islam.

Fenomena ini, yang seringkali dimaknai sebagai proses saling mengenal sebelum pernikahan, menimbulkan perdebatan yang kompleks.

Artikel ini akan mengkaji hukum pacaran dalam perspektif Islam, bukan semata-mata sebagai larangan, namun sebagai panduan menuju hubungan yang lebih suci, bermartabat, dan diridhoi Allah SWT.

Banyak yang memandang pacaran sebagai tahapan alami dalam perjalanan menuju pernikahan. Para ahli seperti Guerney dan Arthur (Dacey & Kenney, 1997) mendefinisikannya sebagai interaksi sosial antar dua individu dari jenis kelamin berbeda, di luar ikatan keluarga.

Erickson (dalam Santrock, 2003) bahkan melihatnya sebagai bagian penting dalam perkembangan identitas dan kemampuan membangun keintiman.

DeGenova & Rice (2005) dan Benokraitis (1996) menekankan aspek saling mengenal dan mengeksplorasi kesesuaian sebagai pasangan hidup.

Meskipun pandangan-pandangan ini menawarkan perspektif yang menarik, penting untuk menilainya dengan kacamata nilai-nilai Islam yang lebih luas.

Islam, sebagai agama yang komprehensif, memberikan panduan hidup yang menyeluruh, termasuk dalam ranah hubungan antar jenis kelamin. Agama ini tidak semata-mata melarang pacaran, melainkan melindungi kemurnian dan kesucian hubungan manusia, khususnya sebelum ikatan pernikahan yang sah.

Larangan tersebut didasarkan pada prinsip menjaga diri dari perbuatan zina dan fitnah. Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, “Tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan untuk berduaan, kecuali jika ada muhrim bersamanya, dan seorang wanita tidak boleh bepergian tanpa didampingi muhrim,” menunjukkan betapa pentingnya menjaga diri dari situasi yang berpotensi mengarah pada perbuatan tercela.

Ayat Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 32, “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu benar-benar suatu perbuatan yang sangat keji, dan suatu jalan yang buruk,” lebih lanjut memperkuat larangan ini. Bukan sekadar menghindari zina itu sendiri, namun juga menjauhi segala yang dapat mengarah kepadanya.

Pacaran, dalam praktiknya, seringkali diwarnai dengan sentuhan fisik dan emosional yang dapat memicu godaan dan mengikis kehormatan diri. Keakraban yang berlebihan tanpa ikatan pernikahan yang sah dapat menyebabkan kekecewaan, trauma emosional, dan bahkan kerusakan moral.

Islam menawarkan jalan alternatif yang lebih mulia: ta’aruf, proses saling mengenal melalui keluarga dan kerabat, yang menjaga martabat dan kesucian hubungan. Proses ini memastikan bahwa hubungan didasari atas niat yang baik dan dilandasi oleh nilai-nilai agama yang kokoh.

Penutup

Kesimpulannya, perlu ada pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum pacaran dalam Islam. Bukan sekedar larangan, melainkan sebuah ajakan untuk membangun hubungan yang lebih sehat, terhormat, dan diridhoi Allah SWT.

Menjaga diri dari perbuatan zina dan fitnah bukanlah sekadar tuntutan agama, melainkan perlindungan bagi diri sendiri dan generasi mendatang.

Jalan menuju cinta yang suci dan pernikahan yang sakinah terletak pada komitmen untuk mengikuti panduan agama dan menjaga moralitas yang tinggi.

Mari kita renungkan kembali makna cinta sejati dalam perspektif Islam dan memilih jalan lurus yang membawa keberkahan.

Penulis: Lucky Nurmansyah, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten. (*)

LAINNYA