Izin Tambang Dicabut : Negara Berpihak Pada Raja Ampat Atau Korporasi ?

waktu baca 11 minutes
Jumat, 13 Jun 2025 18:19 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Pencabutan empat izin tambang nikel di Raja Ampat Geopark oleh pemerintah indonesia tampak sebagai kemenangan bagi pelestarian lingkungan dan masyarakat adat. Namun, keputusan tersebut belum mengenai perusahaan BUMN, PT Gag Nikel. Meskipun perusahaan ini masih beroperasi di luar zona geopark, tetapi pengecualian ini menimbulkan keraguan publik. Apakah negara benar-benar memihak kepada rakyat atau sengaja mengalihkan kuasa demi korporasi negara?

Raja Ampat

Foto udara Kepulauan Raja Ampat, salah satu surga tersembunyi di Indonesia timur yang memiliki kekayaan terumbu karang sehingga menjadi rumah bagi ribuan spesies laut. (Sumber foto: Freepik)

Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau di timur Indonesia tetapi ia adalah lukisan alam yang tak akan pernah habis dipuji. Airnya sebening kristal, gugusan karang yang menyembul bak mahkota dari laut, dan keheningan yang hanya pecah oleh sayap camar atau sirip ikan pari yang menarik. Di sini manusia sesungguhnya hanya tamu yang datang sebentar untuk belajar menghargai, lalu pulang dengan jiwa yang lebih utuh.

Namun, kini ketenangan itu mulai berisik. Di balik keindahan yang selama ini terpampang di brosur wisata dan dokumenter televisi internasional, ternyata ada cerita yang pelan-pelan mulai membusuk didalam tanah. Tambang Nikel! Eksplorasi dan eksploitasi atas nama kemajuan ekonomi mengancam keseimbangan yang selama ini dijaga oleh alam dan masyarakat adat.

Ketika izin tambang mulai dicabut, publik pun sempat bernapas lega, seolah negara akhirnya berpihak pada lingkungan. Tapi harapan itu cepat mengabur ketika satu nama tetap berdiri di antara izin-izin yang tumbang. PT Gag Nikel, perusahaan milik negara yang masih melanjutkan operasinya, meski ancaman ekologis tak pernah mengenal batas administratif.

Sebelum terlalu jauh membericarakan dampaknya, mari kita lihat berapa luas sebenarnya wilayah yang telah dan akan terganggu oleh aktivitas tambang nikel di kawasan yang oleh UNESCO sendiri disebut sebagai “pusat keanekaragaman hayati laut paling penting di dunia”.

1. Luas Wilayah Tambang Yang Mengancam

Pemerintah Indonesia mencatat bahwa total konsesi tambang nikel yang diberikan kepada lima perusahaan di kawasan Raja Ampat mencakup 25.424 hektare atau sekitar 62.800 acre. Luas ini sebanding dengan hampir seluruh wilayah administratif Kota Jakarta yang memiliki luas sekitar 66.233 hektare. Artinya, luasan tambang yang diberikan hampir setara dengan seluruh jantung ibu kota negara dan ini mencerminkan skala ancaman yang sangat besar terhadap ekosistem kepulauan Raja Ampat yang rapuh.

Dari jumlah itu tiga pulau utama yang terdampak langsung adalah Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiganya merupakan bagian dari gugus Kepulauan Raja Ampat yang memiliki nilai ekologis dan geologis yang sangat tinggi. Meski beberapa dari lokasi tambang tidak seluruhnya berada dalam zona UNESCO Global Geopark, tetapi dampak ekologisnya tidak mengenal batas administratif.

Kegiatan tambang di wilayah tersebut telah menyebabkan deforestasi (penggundulan hutan) dalam skala signifikan. Menurut pemantauan citra satelit oleh Auriga Nusantara dan Forest Watch Indonesia sejak tahun 2020 hingga 2024, terjadi kehilangan tutupan hutan primer seluas lebih dari 500 hektare di tiga pulau tersebut. Ini mencakup hutan hujan tropis dataran rendah yang menjadi habitat penting bagi burung cendrawasih, kuskus, dan mamalia endemik lainnya.

Selain deforestasi, sedimentasi menjadi ancaman nyata bagi kehidupan bawah laut Raja Ampat. Tanah yang terganggu akibat pembukaan lahan tambang terbawa air hujan dan mengalir ke laut lalu menghasilkan lumpur yang menutupi terumbu karang. Sedimentasi ini menurunkan kemampuan karang untuk melakukan fotosintesis, merusak proses simbiosis antara karang dan zooxanthellae (alga mikroskopik), serta mempercepat kematian ekosistem karang yang rapuh.

2. Keanekaragaman Hayati yang Dipertaruhkan

Raja Ampat bukan hanya surga bahari yang menakjubkan di timur Indonesia, tetapi juga jantung dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle), sebuah kawasan ekologis yang menyimpan sebagian besar kehidupan laut global. Sekitar 75% spesies karang dunia atau lebih dari 550 jenis yang hidup dan berkembang di perairannya yang jernih dan terlindungi juga menciptakan fondasi bagi ekosistem yang sangat kompleks dan rapuh.

Di antara terumbu karang ini, lebih dari 1.600 hingga 1.700 spesies ikan karang berenang dalam harmoni. Dan, menjadikan wilayah ini sebagai salah satu pusat biodiversitas laut terkaya di dunia. Selain itu, Raja Ampat juga menjadi habitat penting bagi 47 jenis mamalia laut, termasuk paus, lumba-lumba, dan duyung (dugong). Di udara kawasan ini menaungi 274 spesies burung laut, dan di daratan pantainya penyu-penyu langka contohnya seperti penyu hijau dan penyu belimbing yang bertelur di tempat-tempat yang bahkan nyaris tak tersentuh manusia.

terumbu karang        kura-kura laut

Gambar terumbu karang dan penyu laut yang menjadi kekayaan geopark. (Foto: Freepik, Pixabay @Franziska_Stier)

Keajaiban ekologis ini telah mendapatkan pengakuan internasional. Pada tahun 2023 Raja Ampat resmi ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark, mengukuhkan statusnya sebagai kawasan bernilai geologis dan biologis luar biasa. Status ini tidak hanya melambangkan kekaguman dunia terhadap Raja Ampat tetapi juga menjadi pengingat bahwa wilayah ini membutuhkan perlindungan yang ketat dan berkelanjutan. Namun, seluruh kekayaan tersebut kini berada di ambang krisis.

Masuknya aktivitas tambang baik legal maupun ilegal ini menyebabkan sedimentasi dan deforestasi yang perlahan menghancurkan tempat hidup alami spesies-spesies tersebut. Lumpur tambang yang terbawa arus laut dapat menyelimuti terumbu karang menghalangi cahaya matahari yang esensial dalam proses fotosintesis. Dan, pada akhirnya merusak jaringan kehidupan dari dasar laut hingga ke puncak rantai makanan. Jika tidak dihentikan, kerusakan ini bisa menjadi titik balik dari kehancuran ekosistem laut global dan membuat kita kehilangan bukan hanya lanskap indah tetapi juga masa depan yang seimbang secara ekologis.

3. Pencaburan Izin dan Isu BUMN

Keputusan pemerintah indonesia mencabut izin empat perusahaan tambang swasta di Raja Ampat pada 10 juni 2025 disambut sebagai langkah progresif dalam penyelamatan lingkungan. Namun, di balik kabar gembira tersebut satu perusahaan tambang PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha BUMN Antam tetap saja beroperasi tanpa gangguan. Empat perusahaan yang dicabut izinya adalah PT Nurham, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugrah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa.

Keempatnya dinilai melanggar ketentuan wilayah konservasi dan tidak memenuhi prinsip berkelanjutan. Pemerintah melalui menteri investasi Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pencabutan ini merupakan bagian dari “Evaluasi izin usaha tambang yang tidak produktif dan merusak lingkungan”.

Namun berbeda perlakuan terhadap PT Gag Nikel yang masih diberikan izin untuk melanjutkan aktivitas penambangan dengan alasan  bahwa wilayah operasinya berada di luar zona resmi geopark. Perusahaan ini bahkan disebut-sebut memiliki target produksi hinga jutaan ton nikel per tahunnya. Dan, tetap menjadi bagian dari strategi nasional dalam hilirisasi nikel untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik. Pemerintah memang mengklaim akan melakukan pemantauan ketat terhadap aktivitas BUMN tersebut bahkan melakukan penghentian simbolis sementara waktu.

Tapi sikap ini dinilai ambigu. Di satu sisi, negara menampilkan diri sebagai pelindung lingkungan dengan mencabut izin swasta. Namun, di sisi lain, negara menjadi pemain ekonomi yang aktif dalam industri ekstratif melalui perusahaan milik negara. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, apakah pencabutan izin ini sungguh mencerminkan keberpihakan pada pelestarian ekosistem Raja Ampat? Atau hanya sebuah upaya kosmetik untuk memoles citra, sembari tetap memberi ruang bagi korporasi negara melanjutkan ekspansi?.

Bagi masyarakat adat dan pemerhati lingkungan, kehadiran PT Gag Nikel ini bukan hanya simbol kuasa ekonomi. Tetapi juga pengingat bahwa konflik kepentingan negara sebagai pengatur sekaligus pelaku usaha belum terselesaikan. Mereka menuntut keadilan yang tidak hanya diberlakukan bagi swasta saja. Tetapi juga terhadap BUMN yang seharusnya menjadi contoh dalam penerapan praktik berkelanjutan.

4. Konflik Kuasa dan Teori Politik

Raja Ampat bukan hanya sedang menghadapi eksploitasi lingkungan. Tetapi juga sedang menjadi arena benturan kekuasaan antara negara, korporasi, dan masyarakat adat. Situasi ini bisa dijelaskan melalui pendekatan teori ekonomi politik, terutama teori Neo-Marxisme dan gagasan hegemoni Gramscian.

Apa yang terjadi?

Negara secara formal memang mencabut empat izin perusahaan tambang swasta. Namun, anak perusahaan BUMN PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi dengan alasan “berada di luar zona geopark”. Di sinilah konflik kuasa bermula.

Teori Gramsci: Hegemoni Negara

Antonio Gramsci menjelaskan bahwa negara menjalankan kekuasaan bukan hanya lewat kekuatan militer dan hukum (coercion), tapi juga lewat pengaruh ideologis (hegemoni). Dalam konteks Raja Ampat, narasi pembangunan nasional, ketahanan energi, dan hilirisasi nikel dijadikan justifikasi moral untuk mengeksploitasi alam. Padahal, yang dikorbankan adalah hak hidup masyarakat lokal dan ekosistem yang tak tergantikan.

Kapitalisme Negara dan State-Corporate Nexus

Dalam teori State-Corporate Nexus, negara dan korporasi (dalam hal ini BUMN) tidak berdiri terpisah, tapi saling menopang. Negara bertindak sebagai aktor ganda: regulator (yang memberi atau mencabut izin) dan sekaligus pelaku (lewat BUMN). Maka tak heran jika PT Gag Nikel tetap dilindungi. Ini adalah bentuk nyata dari kapitalisme negara yang di mana instrumen ekonomi dijalankan oleh negara untuk meraup laba, meski berisiko mencederai demokrasi lingkungan.

 Tabel Relasi Kuasa

Elemen Aktor dan Peran
NegaraRegulator kebijakan sekaligus pelaku ekonomi melalaui kepemilikan BUMN.
PT Gag NikelAnak usaha BUMN Antam yang tetap beroperasi di wilayah ekologis sensitif meskipun tambang lain dicabut.
Masyarakat adatPemilik tanah ulayat yang terdampak namun tidak terlibat secara bermakna tanpa (FPIC).
NGO/ lembaga sipilAktor pengawas independen yang mendesak transparansi, moratorium dan perlindungan berita.
Konstitusi & MKDasar hukum putusan MK 3/2024 dan UU Lingkungan Hidup belum sepenuhnya ditegakan.

 

5. Suara Rakyat Simbol Resistensi

Di tengah kebisingan narasi pembangunan nasional dan investasi sumber daya, suara masyarakat lokal dan aktivis lingkungan menjelma menjadi penanda penting dari resistensi akar rumput. Mereka bukan sekadar aktor pinggiran, melainkan penjaga moral, penjaga ekosistem, dan saksi hidup dari perubahan ruang yang tak adil. Kutipan-kutipan yang mereka lontarkan bukan hanya ekspresi kemarahan, tetapi refleksi dari krisis demokrasi ekologis. Yaitu ketika ruang hidup ditentukan tanpa partisipasi yang adil.

Ronal Mambrasar (Pemuda Adat Raja Ampat) mengatakan:

Penambangan nikel mengancam hidup kami… menghancurkan harmoni yang telah diwariskan leluhur.”

Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan kehilangan secara fisik, tapi juga spiritual. Bagi masyarakat adat, tanah dan laut bukan sekadar sumber daya, melainkan warisan kultural yang membentuk identitas dan keberlangsungan hidup. Penambangan berarti tidak hanya degradasi lingkungan, tetapi juga pemutusan hubungan antara manusia dan alam yang telah dibina secara turun-temurun.

Timer Manurung (Direktur Eksekutif Auriga Nusantara) memberikan pendapat:

Selama tambang masih berjalan, sedimentasi akan terus mengubur terumbu karang yang menjadi fondasi ekosistem laut.”

Timer menyoroti dimensi ekologis yang lebih luas: bagaimana aktivitas industri berdampak langsung pada stabilitas sistem kehidupan laut. Terumbu karang bukan hanya pemandangan indah, tetapi merupakan pusat produktivitas biologis. Jika ia rusak, mata rantai kehidupan dari ikan hingga nelayan akan ikut hancur.

Greenpeace Indonesia:

Kerusakan ekosistem bukan cuma soal lingkungan. Ia adalah soal keadilan—siapa yang dilindungi, dan siapa yang dikorbankan.”

Pernyataan Greenpeace memperluas makna isu ini sebagai konflik keadilan struktural. Ketika negara melindungi korporasi dan mengabaikan hak masyarakat lokal, yang terjadi bukan hanya perusakan lingkungan, tetapi pelanggaran hak asasi manusia. Alam menjadi objek eksploitasi, masyarakat adat menjadi korban, dan hukum sering kali hanya tajam ke bawah.

Konflik tambang nikel di Raja Ampat memperlihatkan pertarungan antara kepentingan negara yang dikendalikan oleh logika kapitalisme sumber daya, dan hak masyarakat adat atas ruang hidup serta ekosistem yang mereka warisi secara turun-temurun. Pencabutan empat izin tambang swasta tampak sebagai langkah maju namun kelonggaran yang diberikan kepada PT Gag Nikel, anak usaha BUMN, menunjukkan adanya standar ganda dalam regulasi lingkungan.

Secara teoritik, situasi ini menggambarkan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni kekuasaan, di mana negara menciptakan narasi “pembangunan nasional” untuk menutupi ketimpangan kekuasaan dan eksklusi sosial yang dialami masyarakat lokal. Negara bukan lagi sekadar wasit yang netral, melainkan aktor aktif dalam perebutan dan eksploitasi sumber daya.

Dampak ekologis seperti sedimentasi, deforestasi, dan rusaknya terumbu karang tidak bisa dipandang sebagai kerusakan teknis semata. Ia adalah cermin dari ketimpangan struktural ketika keputusan politik tidak memberi tempat pada suara masyarakat, apalagi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).

Oleh karena itu, konflik ini bukan hanya soal lingkungan atau ekonomi. Tetapi soal keadilan. Tentang siapa yang mengambil keputusan? Siapa yang untung? Dan siapa yang menanggung kerugian?

Namun, selama BUMN terus diistimewakan dan masyarakat adat dipinggirkan, maka keadilan ekologis belum ditegakkan. Suara rakyat, dalam bentuk penolakan dan perlawanan, bukanlah hambatan pembangunan, tetapi pengingat keras bahwa pembangunan sejati tidak boleh mengorbankan yang lemah demi yang kuat.

Penulis : Sri Suciati,
Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Editor: Patricia

Referensi:

UNESCO Global Geopark. (2023). Raja Ampat Biosphere Reserve and Global Geopark. https://www.unesco.org

Kementerian Investasi/BKPM Republik Indonesia. (2025, 10 Juni). Konferensi Pers: Pencabutan Empat Izin Tambang di Raja Ampat.

Auriga Nusantara. (2024). Laporan Kondisi Ekosistem Laut Raja Ampat: Ancaman Tambang dan Dampak Lingkungan.

Greenpeace Indonesia. (2024). Sedimentasi Tambang dan Krisis Terumbu Karang di Raja Ampat.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-2024. Tentang Perlindungan Pulau-Pulau Kecil dari Aktivitas Ekstraktif.

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). (2021). Status Keanekaragaman Hayati Laut Indonesia: Studi Raja Ampat. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi.

BPS Papua Barat Daya. (2023). Statistik Daerah Kabupaten Raja Ampat. https://papuabarat.bps.go.id

Walhi Papua. (2023). Kronologi Perjuangan Masyarakat Adat Raja Ampat dalam Menolak Tambang.

The Conversation Indonesia. (2024). Tambang Nikel dan Masa Depan Raja Ampat: Antara Pembangunan dan Ekologi.

WWF Coral Triangle Initiative. (2022). Coral Triangle Factsheet: Raja Ampat’s Global Significance. https://wwf.panda.org

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). (2024). Tambang di Tanah Adat: Pelanggaran Hak dan Krisis Ekologi.

Kompas.com. (2025). Bahlil: Empat Izin Tambang Dicabut di Raja Ampat, Tapi BUMN Masih Aman. Diakses 10 Juni 2025.

Reuters. (2023). Nickel Mining and Environmental Impact in Papua: Global Race for EV Materials.

 

LAINNYA