OPINI | TD — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengimplementasikan kebijakan pembekuan sementara rekening dormant sejak Mei 2025 dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Rekening dormant didefinisikan sebagai akun tanpa transaksi selama 3 sampai 12 bulan, tergantung kebijakan bank. Tujuannya, menurut PPATK adalah melindungi kepentingan nasabah dan mencegah penyalahgunaan untuk maksud kejahatan seperti judionline. Kini, lebih dari 28 juta rekening dilaporkan dibuka kembali setelah verifikasi.
Namun, pendekatan massal ini memicu kritik karena dianggap kurang selektif dan memunculkan spekulasi bahwa PPATK mungkin melampaui mandat awalnya untuk hanya mengawasi transaksi mencurigakan.
Pemblokiran massal ini berdampak signifikan pada sisi ekonomi, dengan potensi erosi kepercayaan terhadap perbankan nasional, terutama bagi nasabah rentan seperti lansia dan penerima bantuan sosial.
Proses reaktivasi yang memakan waktu hingga 20 hari kerja menambah beban administratif dan finansial, sementara secara sosial, kebijakan ini menimbulkan keresahan publik dan memicu adanya tuduhan “sabotase” terhadap sistem keuangan.
Data menunjukkan penurunan 70 persen deposit judionline pasca-pemblokiran, tetapi manfaat ini dipertanyakan jika kerugian nasabah sah lebih besar dibandingkan keberhasilan penegakan hukum
Eksaminasi dari Sisi Hukum dan Logika Ekonomi
Dari sisi hukum, PPATK mungkin melanggar batasan wewenangnya. UU No. 8 Tahun 2010 Pasal 27 memberi PPATK otoritas meminta penghentian transaksi jika ada indikasi tindak pidana.
Batasannya adalah 30 hari dan adanya pelaporan ke penyidik, sementara Pasal 71 mensyaratkan pemblokiran atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk harta tersangka/terdakwa.
Pemblokiran massal rekening dormant, tanpa proses pengadilan atau status tersangka, memunculkan dugaan pelanggaran. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), kemungkinan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen, mensyaratkan pemberitahuan dan verifikasi sebelum tindakan tegas yang tampaknya tidak konsisten diterapkan.
Dalam diskusi MetroTV pada 5 Agustus 2025, narasumber mengindikasikan dua pelanggaran utama: Pertama, definisi dormant yang tidak sesuai POJK karena batas inaktivitas 3 bulan dianggap terlalu singkat dibandingkan standar 6-12 bulan dengan pemberitahuan.
Kedua, PPATK melanggar wewenang karena pemblokiran seharusnya memerlukan perintah pengadilan atau status penyidikan/tersangka.
Sementara itu dari logika ekonomi, pemblokiran massal mengurangi likuiditas dan menghambat perputaran uang, meskipun PPATK berargumen langkah itu efektif melawan kejahatan. Namun, tanpa bukti spesifik per rekening, langkah ini tampak berlebihan.
Selain itu, seorang pengguna menyuarakan ketidaksetujuan terhadap klaim PPATK bahwa tujuannya melindungi masyarakat, dengan argumen bahwa pemblokiran tanpa perintah pengadilan atau dugaan pidana individu adalah pelanggaran hukum dan norma.
Pandangan ini memperkuat kritik bahwa PPATK mungkin overreach (berlebihan), mengingat UU TPPU tidak memberikan mandat pemblokiran massal preventif tanpa dasar hukum yang jelas per kasus.
Dapatkah PPATK Dituntut?
Jika terbukti PPATK melampaui wewenang atau melanggar prosedur, seperti yang disoroti dalam diskusi TV dan kritik publik, lembaga ini dapat diminta pertanggungjawaban.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan gugatan class action melalui Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan kebijakan.
Bukti pelanggaran, seperti kurangnya pemberitahuan sesuai POJK atau pemblokiran tanpa dugaan pidana, bisa menjadi dasar hukum.
Kritik bahwa PPATK melanggar wewenang memperkuat argumen ini, meskipun lembaga itu dapat membela diri dengan mandat anti-pencucian uang. Keberhasilan tergantung pada koordinasi nasabah terdampak dan bukti kerugian konkret.
Kebijakan PPATK mencerminkan niat melawan kejahatan finansial, tetapi pendekatan massal, pelanggaran potensial terhadap definisi dormant menurut POJK, dan dugaan overreach wewenang menunjukkan perlunya evaluasi independen.
Tanpa transparansi data tentang rekening bermasalah versus yang sah, kebijakan ini berisiko dianggap sebagai pelanggaran hukum dan norma, bukan perlindungan publik.
Diskusi TV dan pandangan kritis publik menggarisbawahi kebutuhan akuntabilitas, dengan class action sebagai opsi untuk mengoreksi kebijakan yang keliru jika bukti mendukung pelanggaran.
Penulis: Oleh Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Program Studi (Prodi) Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi. (*)