Deinfluencing: Tren Baru Menentang Konsumerisme di Media Sosial

waktu baca 5 minutes
Senin, 10 Mar 2025 15:39 0 Patricia Pawestri

EKBIS | TD – Pada zaman ini, bisa dikatakan bahwa kehidupan manusia dan dunia digital merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Penggunaan media sosial, misalnya Instagram, TikTok, hingga YouTube, merupakan platform interaksi satu manusia dengan lainnya. Fungsi tersebut sekaligus menempatkan media sosial sebagai arena pemasaran yang masif. Namun, di tengah maraknya mode pemasaran berupa iklan dan promosi produk, juga muncul sebuah fenomena baru yang dikenal sebagai “deinfluencing“.

Tren deinfluencing menjadi sorotan karena ia mengajak kita untuk berpikir ulang tentang kebiasaan konsumerisme yang telah mengakar dalam masyarakat kita. Untuk mengetahui mengenai hal tersebut secara mendalam, mari simak penjelasan mengenai tren deinfluencing berikut ini.

Apa Itu Deinfluencing?

Deinfluencing adalah gerakan yang menyerukan untuk mengurangi, atau bahkan menolak, pembelian barang-barang yang tidak benar-benar dibutuhkan. Berbeda dengan influencer yang biasanya mendorong penontonnya untuk membeli produk tertentu, deinfluencers justru mendorong audiensnya untuk mempertimbangkan kembali keputusan membeli mereka. Ini bukan berarti mereka anti-konsumsi, tetapi lebih kepada pendekatan yang lebih sadar dan berkelanjutan dalam berbelanja.

Fenomena ini mulai muncul sebagai respons terhadap kebangkitan konsumerisme yang berlebihan, di mana banyak orang merasa tertekan untuk selalu membeli barang terbaru demi mengikuti tren. Deinfluencing mengajak kita untuk menyadari bahwa tidak semua produk yang dipromosikan perlu kita miliki. Ini adalah panggilan untuk lebih bijak dalam memilih barang yang kita beli dan menggunakan sumber daya kita dengan lebih bertanggung jawab.

Mengapa Deinfluencing Muncul?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya tren ini. Pertama, meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan dari konsumerisme. Banyak konsumen kini lebih peduli terhadap isu-isu lingkungan dan memahami bahwa setiap pembelian memiliki konsekuensi ekologis. Dengan semakin banyaknya informasi mengenai perubahan iklim dan dampak limbah plastik, banyak orang merasa perlu untuk mengurangi pembelian barang-barang yang tidak perlu.

Kedua, kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk tidak beraksi menuruti arus fear of missing out atau FOMO. Di tengah perbandingan sosial yang terus-menerus, banyak orang merasa tertekan untuk membeli produk-produk tertentu agar tidak ketinggalan. Deinfluencing membantu mengatasi tekanan ini dengan mengingatkan kita bahwa tidak semua tren harus diikuti dan bahwa kita bisa mendapatkan kebahagiaan tanpa harus membeli barang baru.

Ketiga, pengaruh kesehatan mental juga berperan penting. Konsumerisme yang berlebihan seringkali menyebabkan stres dan kecemasan. Dengan mengurangi pembelian dan berfokus pada apa yang benar-benar penting, banyak orang menemukan kebahagiaan yang lebih sederhana dan mendorong kehidupan yang lebih seimbang.

Bagaimana Deinfluencing Bekerja?

Deinfluencing bekerja melalui beberapa cara. Pertama, dengan konten yang dihasilkan oleh para deinfluencers. Mereka biasanya membagikan pengalaman pribadi dan menceritakan bagaimana mereka menghindari pembelian barang-barang yang tidak perlu. Ini bisa berupa video atau unggahan yang menunjukkan produk-produk yang tidak mereka rekomendasikan, disertai alasan yang logis dan personal. Misalnya, mereka mungkin berbicara tentang sebuah produk kecantikan yang hype, tetapi menjelaskan bahwa mereka tidak merasa produk tersebut sebanding dengan harganya.

Kedua, deinfluencing seringkali terintegrasi dengan konsep minimalisme. Banyak deinfluencers yang mengajak audiensnya untuk menerapkan gaya hidup minimalis, di mana mereka hanya memiliki barang-barang yang benar-benar dibutuhkan dan berarti bagi mereka. Hal ini membantu orang untuk lebih fokus pada kualitas daripada kuantitas, serta mengurangi rasa sesak yang sering muncul akibat memiliki terlalu banyak barang.

Ketiga, kampanye deinfluencing juga seringkali melibatkan penggunaan hashtag tertentu di media sosial. Contohnya, hashtag seperti #Deinfluencing, #LessIsMore, atau #MindfulConsumption membantu mengumpulkan konten terkait dan membuat pesan ini lebih mudah diakses oleh orang-orang yang mencari alternatif dari gaya hidup konsumeris.

Dampak Positif dari Deinfluencing

Ternyata, dampak positif dari deinfluencing sangatlah banyak. Salah satunya adalah peningkatan kesadaran konsumen. Dengan semakin banyak orang yang teredukasi tentang pentingnya berbelanja secara bijak, kita bisa melihat perubahan perilaku yang signifikan dalam cara orang berbelanja. Hal ini dapat mengurangi permintaan akan produk-produk yang berpotensi merusak lingkungan.

Dampak lainnya adalah peningkatan kepuasan hidup. Dengan memilih untuk tidak memburu barang-barang yang sebenarnya tidak perlu, banyak orang merasa lebih puas dengan apa yang mereka miliki. Mereka mulai menghargai pengalaman dan hubungan yang ada di sekitar mereka, alih-alih berfokus pada pencarian kepuasan melalui barang-barang fisik.

Selain itu, deinfluencing juga mendorong inovasi dalam industri. Perusahaan mulai menyadari bahwa konsumen kini lebih peduli dengan kualitas daripada kuantitas. Hal ini dapat memicu perusahaan untuk menghasilkan produk yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta memperhatikan etika produksi.

Tantangan yang Dihadapi

Meskipun deinfluencing memiliki banyak manfaat, ia juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah resistensi dari industri yang telah lama terbiasa dengan model bisnis berbasis konsumerisme. Banyak perusahaan yang mungkin merasa terancam oleh gerakan ini dan mencoba untuk meredam atau membalikkan tren tersebut dengan iklan yang lebih agresif.

Selain itu, tidak semua orang siap untuk mengadopsi gaya hidup ini. Perubahan perilaku yang signifikan memerlukan waktu dan usaha. Banyak orang mungkin merasa sulit untuk melepaskan kebiasaan belanja mereka, terutama jika mereka telah terbiasa mendapatkan kepuasan dari barang-barang baru.

Tantangan lainnya adalah kesalahpahaman mengenai deinfluencing itu sendiri. Beberapa orang mungkin menganggap bahwa deinfluencing adalah anti-konsumsi, padahal sebenarnya ini adalah tentang konsumsi yang lebih berkesadaran dan bertanggung jawab.

Sebagai kesimpulan, deinfluencing adalah sebuah gerakan yang penting untuk memahami kembali hubungan kita dengan barang-barang yang kita miliki dan konsumsi. Dalam dunia yang menyatu dengan media sosial dan tekanan untuk selalu mengikuti tren, deinfluencing menawarkan jalan bagi kita untuk mengambil langkah mundur dan mengedepankan prinsip keberlanjutan serta kesadaran. Dan dengan mempromosikan pemikiran kritis tentang konsumerisme tersebut, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang lebih baik. Tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang.

Dengan demikian, mari mulai menerapkan prinsip deinfluencing dalam kehidupan sehari-hari! Ini bukan hanya tentang menghindari pembelian yang tidak perlu, tetapi juga tentang menciptakan gaya hidup yang lebih bermakna dan berkelanjutan. (Nazwa/Pat)

LAINNYA