IKN dan Ambisi 2045

waktu baca 4 minutes
Rabu, 1 Okt 2025 13:59 0 Nazwa

OPINI | TD — Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan sekadar proyek fisik, melainkan simbol ambisi besar yang sedang digarap Indonesia sejak 2022. Pemerintah menaruh harapan besar pada kota baru di Kalimantan Timur itu—bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai wajah baru bangsa menjelang 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada 2045.

Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: akan jadi apa sebenarnya IKN di masa depan? Apakah ia benar-benar bisa tumbuh sebagai kota bisnis global yang menarik investasi, atau sekadar pusat pemerintahan yang jauh dari denyut ekonomi rakyat?

Kenapa Harus Pindah?

Jakarta memang sudah kewalahan. Dengan penduduk lebih dari 11 juta jiwa, setiap hari kota ini bergulat dengan kemacetan, polusi, banjir, hingga penurunan tanah. Beban itu terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Di sinilah IKN hadir sebagai solusi: memindahkan pusat pemerintahan ke Kalimantan Timur, sementara Jakarta diarahkan fokus menjadi pusat bisnis dan ekonomi. Dalam bayangan pemerintah, IKN bukan hanya kota baru, melainkan simbol pemerataan pembangunan, kota hijau modern, sekaligus etalase Indonesia di mata dunia.

Tapi, bagi penulis, sekadar memindahkan ibu kota belum tentu menjawab masalah bangsa. Pertanyaan besarnya tetap sama: apakah IKN benar-benar akan membawa manfaat nyata bagi rakyat, atau berhenti sebagai simbol baru yang megah?

Antara Ambisi dan Realita

Tantangan terbesar tentu saja pendanaan. Pemerintah menargetkan lebih dari Rp466 triliun, dengan 80 persen diharapkan datang dari investor swasta. Namun, apakah investor akan konsisten menanam modal hingga proyek rampung? Jika tidak, bukankah ujung-ujungnya rakyat yang harus menanggung beban lewat pajak?

Sejarah menunjukkan kita sering melihat proyek besar berakhir dengan biaya membengkak dan janji yang tak ditepati. Maka wajar bila ada keraguan: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari IKN—rakyat kecil, atau segelintir elit dan investor?

Selain itu, jangan sampai IKN hanya menjadi “kota pejabat” yang megah, sementara masyarakat lokal Kalimantan justru tersisih dari tanah mereka sendiri. Pemerintah memang menjanjikan lapangan kerja dan peluang ekonomi yang lebih merata. Tapi janji itu harus benar-benar dibuktikan, bukan sekadar jargon.

Pelajaran dari Negara Lain

Kajian terhadap 30 negara menunjukkan, pemindahan ibu kota bukan pekerjaan singkat. Rata-rata butuh waktu 10 hingga 15 tahun agar sebuah ibu kota baru benar-benar matang. Artinya, target pemerintah untuk merampungkan IKN dalam waktu singkat perlu dilihat lebih realistis.

Risiko terbesarnya adalah lahirnya sebuah kota setengah jadi—dengan gedung-gedung pemerintahan yang sudah berdiri, tetapi tanpa ekosistem kota yang hidup. Padahal, membangun ibu kota bukan sekadar mindahin kantor kementerian. Yang lebih penting adalah menciptakan ekosistem kota baru yang berkelanjutan: transportasi, sekolah, rumah sakit, lapangan kerja, hingga ruang hidup masyarakat yang layak.

Kalau hal-hal mendasar itu belum siap, apa artinya gedung-gedung megah berdiri?

Transparansi yang Diharapkan

Masalah lain adalah keterbukaan. Publik berhak tahu sejauh mana pembangunan berjalan, dari mana dana berasal, dan siapa yang paling diuntungkan. Jika IKN hanya menjadi proyek yang menguntungkan segelintir pihak sementara rakyat banyak menanggung bebannya, maka nilai dari ambisi besar ini akan hilang.

Karena itu, pembangunan IKN sebaiknya jangan dikejar dengan target seremonial. Pemindahan ibu kota adalah proyek jangka panjang, bahkan lintas generasi. Yang dibutuhkan bukan kecepatan, melainkan konsistensi, kesabaran, dan transparansi.

Antara Bangga dan Khawatir

Sebagai mahasiswa, penulis melihat IKN bukan hanya soal memindahkan pusat pemerintahan, melainkan cermin dari ambisi besar bangsa. Kita ingin sejajar dengan negara maju pada 2045, dan mimpi itu patut diapresiasi.

Namun, mimpi sebesar ini tidak bisa dijalankan dengan setengah hati. Tanpa pengelolaan yang serius, transparan, dan berpihak pada rakyat, IKN hanya akan menjadi simbol megah yang kosong makna.

Mimpi memang penting. Tapi mimpi harus diiringi tanggung jawab. IKN bisa menjadi kebanggaan bila mampu menghadirkan pemerataan, membuka lapangan kerja, dan menjawab masalah bangsa. Sebaliknya, ia akan jadi beban sejarah jika hanya berhenti sebagai proyek politik yang diwariskan kepada generasi mendatang.

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita sebagai bangsa: apakah menjadikan IKN sebagai mimpi yang benar-benar terwujud untuk Indonesia Emas 2045, atau membiarkannya menjadi ilusi mahal yang justru menggerus masa depan?

Penulis: Chelsea Sevilla, Mahasiswa Semester I, Mata Kuliah Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA