Dinasti Politik di Negeri Gajah Putih

waktu baca 5 menit
Senin, 25 Nov 2024 20:43 0 135 Redaksi

OPINI | TD — Paetongtarn Shinawatra telah resmi dilantik sebagai Perdana Menteri Thailand pada 18 Agustus 2024 setelah mendapatkan persetujuan dari kerajaan. Di usia 37 tahun, Paetongtarn menjadi perdana menteri termuda dalam sejarah Thailand dan merupakan anggota ketiga dari keluarga Shinawatra yang menjabat sebagai perdana menteri. Keluarga ini telah lama memegang pengaruh besar dalam politik dan ekonomi Thailand, dengan Thaksin Shinawatra dan keluarganya mendominasi pemilihan umum selama dua dekade terakhir. Namun, kelompok royalis yang terdiri dari jenderal militer, hakim, dan pejabat pemerintah pendukung militer melihat klan Shinawatra sebagai ancaman terhadap status quo.

Akibatnya, dinasti Shinawatra telah digulingkan dua kali melalui kudeta militer, pertama Thaksin dan kemudian adik perempuannya, Yingluck Shinawatra. Persaingan politik kembali meningkat setelah partai-partai oposisi, termasuk yang terkait dengan Thaksin, memenangkan pemilu pada bulan Mei lalu. Saat berbagai faksi di Thailand berusaha membentuk pemerintahan baru, Thaksin bersiap untuk kembali ke Thailand setelah 15 tahun dalam pengasingan. Langkah ini diperkirakan akan menambah ketidakstabilan politik dan mengurangi kepercayaan investor terhadap Thailand, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara.

Dinasti Shinawatra adalah salah satu dinasti politik paling berpengaruh di Thailand, dengan dua anggotanya memegang posisi politik tertinggi secara bergantian dalam 22 tahun terakhir. Thaksin Shinawatra resmi menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand pada tahun 2001. Namun, pemerintahannya digulingkan oleh kudeta militer pada 2006 yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Thailand, Sonthi Boonyaratkalin. Kudeta ini dipicu oleh tuduhan korupsi dan ketidakloyalan Thaksin terhadap kerajaan.

Thaksin memulai karir politiknya pada tahun 1998 dengan mendirikan Partai Thai Rak Thai dan berhadapan dengan tuduhan korupsi politikus lainnya. Ia terpilih sebagai anggota parlemen tahun tersebut. Partai yang dipimpinnya memenangkan pemilu pada 6 Januari 2001, pemilu pertama di bawah konstitusi reformis 1997, dan Thaksin dilantik sebagai perdana menteri pada 9 Februari 2001. Ia kembali menang dalam pemilu pada 6 Februari 2005, dengan partainya meraih 364 dari 500 kursi di parlemen. Namun, popularitasnya yang tinggi menarik kritik tajam dari media, yang memicu ketegangan yang mengharuskan perintah Raja Bhumibol Adulyadej untuk meredakan konflik.

Pada 2011, Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, memenangkan pemilu tetapi kepemimpinannya juga digulingkan oleh kudeta tahun 2014 yang dipimpin oleh Prayuth Chan-ocha. Yingluck menjadi perdana menteri perempuan pertama Thailand dan salah satu yang termuda dalam enam dekade terakhir. Lahir di Chiang Mai dari keluarga Tionghoa kaya, Yingluck menyelesaikan gelar sarjana di Universitas Chiang Mai dan gelar master dalam administrasi publik di Universitas Kentucky. Setelah lulus, ia bekerja di perusahaan milik kakaknya, Thaksin, dan kemudian menjabat sebagai presiden Shin Corporation serta direktur di Advanced Info Service.

Kampanye Pheu Thai pada pemilu 2011 mengusung slogan “Thaksin Berpikir, Pheu Thai Melakukannya”, dengan Yingluck berkomitmen pada rekonsiliasi nasional, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan pajak perusahaan. Meskipun mendapatkan kritik dari Partai Demokrat, Pheu Thai memenangkan pemilihan dengan 47% suara dan memperoleh 265 dari 500 kursi di Parlemen Thailand. Namun, pada Mei 2014, di tengah krisis politik, Mahkamah Konstitusi Thailand mencopot Yingluck dari jabatannya atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan.

Yingluck menghadapi tuduhan serius terkait kebijakan subsidi beras yang kontroversial dan pemindahan pejabat tinggi keamanan nasional secara tidak sah. Skema subsidi beras bertujuan untuk mendukung petani dengan membeli hasil panen mereka di atas harga pasar, namun menyebabkan kerugian keuangan yang besar bagi negara karena kesulitan menjual kembali beras tersebut. Tuduhan penyalahgunaan kekuasaan ini berujung pada penggulingannya, yang memicu ketegangan antara pendukung Shinawatra dan kelompok royalis konservatif.

Keluarga Shinawatra telah menjadi tokoh sentral dalam politik Thailand selama lebih dari dua dekade, namun dominasi mereka selalu menghadapi perlawanan dari kelompok militer dan elit. Krisis politik setelah penggulingan Yingluck mencerminkan ketegangan mendalam yang ada di masyarakat Thailand. Pendukung Yingluck dan Partai Pheu Thai merasa bahwa pemerintahannya mewakili kepentingan mereka, sedangkan kelompok militer dan elit perkotaan menuduh keluarga Shinawatra melakukan manipulasi politik dan korupsi.

Kudeta yang terjadi pada 2014 melanjutkan sejarah ketidakstabilan politik di Thailand, di mana intervensi militer menjadi bagian dari dinamika politik. Jenderal Prayuth Chan-o-cha, yang memimpin kudeta tersebut, kemudian mengendalikan pemerintahan melalui Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO). Meskipun mengadakan pemilu pertama setelah kudeta pada tahun 2019, proses pemilu ini dianggap tidak bebas dan adil, dengan Prayuth terpilih kembali sebagai perdana menteri melalui dukungan militer.

Pemerintahan Prayuth menghadapi protes pro-demokrasi yang luas pada 2020 dan 2021, dengan tuntutan untuk pengunduran dirinya, perubahan konstitusi, dan reformasi monarki. Namun, reaksinya terhadap protes tersebut sangat keras, mengakibatkan penangkapan banyak aktivis. Ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan ekonomi dan pandemi COVID-19 semakin memperburuk situasi.

Pada 11 Juli 2023, Prayuth mengundurkan diri setelah sembilan tahun berkuasa. Pemilu yang berlangsung pada 14 Mei 2023 menandai langkah baru dalam politik Thailand, dengan Move Forward Party (MFP) meraih 152 kursi, menjadikannya pemenang terbesar. Namun, mereka masih harus menghadapi tantangan besar di Senat, yang didominasi oleh pro-militer. MFP kemudian berupaya membentuk koalisi dengan Pheu Thai untuk membentuk pemerintahan, tetapi kesulitan muncul karena perbedaan agenda politik.

Pada 13 Juli 2023, Pita Limjaroenrat, pemimpin MFP, gagal mendapatkan dukungan cukup dari Senat untuk menjadi perdana menteri. Sebagai gantinya, Pheu Thai berhasil membentuk koalisi baru dan mencalonkan Srettha Thavisin sebagai perdana menteri. Srettha terpilih pada 22 Agustus 2023, tetapi harus menghadapi tantangan besar dalam memperbaiki situasi politik yang kacau.

Namun, pada Agustus 2024, Srettha diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand karena melanggar standar etika dalam pemilihan anggota kabinetnya. Pengangkatan Pichit Chuenban, seorang pengacara dengan riwayat hukum yang bermasalah, menjadi fokus kritik. Pemecatan Srettha menambah daftar panjang pemimpin Thailand yang diberhentikan oleh pengadilan, menunjukkan pola yang sering terjadi dalam politik Thailand.

Setelah pemecatan Srettha, Wakil Perdana Menteri Phumtham Wechayachai ditunjuk sebagai penjabat perdana menteri. Ketidakstabilan politik kembali melanda Thailand, dengan spekulasi mengenai masa depan politik keluarga Shinawatra. Paetongtarn Shinawatra, putri Thaksin, disebut sebagai calon pengganti Srettha, tetapi tantangan sejarah penggulingan tetap membayangi jalan keluarnya.

Secara keseluruhan, situasi politik di Thailand pasca-pemecatan Srettha menunjukkan tantangan yang kompleks, di mana peran lembaga yudisial dan militer terus memengaruhi proses demokrasi dan pergantian kekuasaan. Ketidakstabilan politik yang berkepanjangan ini mencerminkan konflik antara keinginan rakyat untuk demokrasi yang lebih terbuka dan upaya elit untuk mempertahankan status quo.

Penulis: Kartika Amelia, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi,FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA