Memotret Pola Pengajaran Guru Zaman Dahulu: Inspirasi untuk Guru di Era Digital

waktu baca 4 menit
Senin, 25 Nov 2024 16:18 0 397 Redaksi

OPINI | TD — Pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan penuh kesabaran dalam membina serta membimbing aspek ruhani dan jasmani peserta didik, untuk menciptakan pola pembiasaan yang baik dan berbudi pekerti (berkarakter). Ketika kita menelisik proses pembelajaran di masa lalu, khususnya pada tahun 1970-an, terlihat bahwa fokus utama pendidikan saat itu adalah ilmu pengetahuan. Pola pengajaran yang diterapkan bersifat konvensional dan sederhana, di mana peserta didik menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi.

Pada masa itu, guru tidak dibebani banyak tuntutan dalam pengajaran mereka. Sistem pendidikan yang berlaku adalah teacher-centered, di mana proses pembelajaran lebih berorientasi kepada guru, tanpa tekanan untuk menggunakan teknologi canggih seperti PowerPoint, Canva, atau proyektor. Meskipun tidak ada label profesional atau sertifikasi bagi para guru, niat tulus mereka untuk mendidik memberikan dampak yang signifikan, terlihat dari kedisiplinan dan rasa hormat yang ditunjukkan peserta didik terhadap Bapak dan Ibu guru.

Pengalaman pribadi saya di tahun 1980-an saat mengikuti pembelajaran Pendidikan Agama Islam menggambarkan betapa efektifnya pendekatan yang digunakan oleh guru-guru pada waktu itu. Ketika seorang guru membaca ayat Al-Qur’an, seluruh peserta didik diam dan memperhatikan dengan seksama. Ketika diberi perintah untuk mengulang atau menghafal, mereka dengan cepat memahami dan melaksanakan perintah tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan dan kedisiplinan yang berhasil dibangun oleh para guru dalam proses pembelajaran.

Namun, ada pula pengalaman menarik dalam pelajaran pendidikan olahraga, di mana seorang teman yang tidak fokus dalam praktik senam diberi hukuman untuk berdiri di depan kelas. Hukuman ini bertujuan agar peserta didik lain tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pengalaman ini menjadi kenangan berharga yang penuh makna. Dalam mendisiplinkan peserta didik, guru-guru zaman dahulu sering memberikan hukuman berupa berlari mengelilingi lapangan atau membersihkan kelas. Meskipun terlihat keras, hukuman tersebut sebenarnya bertujuan untuk menanamkan disiplin dan tanggung jawab.

Aktivitas belajar mengajar di SMAN 1 Kota Tangerang. (Foto: Dok. Dr. Zulkifli, MA)

Seiring dengan perkembangan zaman, pandangan terhadap hukuman fisik mulai berubah, dan banyak yang menganggapnya sebagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Meskipun tidak ada teknologi canggih yang digunakan oleh guru-guru zaman dahulu, dedikasi dan semangat mereka dalam mendidik tidak diragukan. Terlepas dari rendahnya gaji, kurangnya tunjangan, dan keterbatasan sarana, mereka tetap melaksanakan tugas dengan sepenuh hati. Saya masih ingat kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang diterapkan, meskipun dalam kondisi sarana dan prasarana yang tidak memadai.

Ketika pulang sekolah, guru dan peserta didik sering berjalan kaki bersama, menempuh jarak yang bisa mencapai sepuluh kilometer atau lebih. Di tengah kesulitan tersebut, banyak guru yang bekerja tambahan sebagai pengajar privat, menjadi guru mengaji, atau bahkan berjualan untuk mendukung perekonomian keluarga. Dalam era digital ini, tuntutan untuk menjadi guru semakin tinggi; mereka tidak hanya dituntut untuk mengajar, tetapi juga untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan perkembangan teknologi.

Dibandingkan dengan masa lalu, tantangan yang dihadapi guru kini jauh lebih kompleks. Namun, substansi dari proses mendidik dan mengajar tetap sama. Oleh karena itu, kita perlu mengambil kebaikan dan pola pembiasaan yang positif dari pengalaman pendidikan di masa lalu untuk diadaptasi oleh guru zaman sekarang. Proses pembelajaran harus dilaksanakan dalam suasana yang sadar, bermakna, dan menyenangkan, sesuai dengan prinsip-prinsip mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning. Ini sejalan dengan penguatan profil pelajar Pancasila yang menjadi inti dari Kurikulum Merdeka (P5).

Dalam dunia pendidikan, ada sebuah adagium yang menyebutkan, “Setiap yang mengajar itu (guru) ada waktunya dalam tugasnya.” Dengan kata lain, setiap zaman pasti memiliki pendidik yang berperan aktif. Seorang guru yang ikhlas harus mampu menjadi teladan, penyemangat, dan motivator bagi peserta didiknya. Selain itu, peran pendidik tidak hanya terbatas di sekolah, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik sejati adalah mereka yang mampu menjadi pelopor kebaikan baik di dalam maupun di luar keluarga.

Dengan demikian, mari kita renungkan dan terapkan pelajaran berharga dari pengajaran guru-guru zaman dahulu, agar dapat memberikan inspirasi bagi generasi pendidik masa kini. Semoga dengan menghayati nilai-nilai tersebut, kita dapat membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan berintegritas.

Penulis: Dr. Zulkifli, MA
Dosen Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Tangerang (*)

LAINNYA