SASTRA | TD – Tan Lioe Ie, penyair asal Bali berdarah Tiong Hoa, mengabadikan tradisi Cina yang telah berusia ribuan tahun bernama Ciam Si ke dalam sekumpulan puisi-puisinya yang berjudul “Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan” yang terbit tahun 2015.
Apa itu Ciam Si
Ciam Si, dalam bahasa Cina, berarti ‘Puisi Petunjuk’. Ciam Si biasanya ada di klenteng-klenteng, tempat ibadah orang beragama Tiong Hoa. Puisi ini tertulis pada kertas-kertas bernomor. Dan nomor tersebut disalin dan digulung untuk dimasukkan ke dalam bilah bambu.
Para pengunjung klenteng yang ingin menggunakan petunjuk ini haruslah berdoa terlebih dahulu. Baru kemudian memilih bilah bambu. Setelah membuka gulungan berisi nomor di dalamnya, pengunjung harus menemukan kertas dengan nomor yang tepat, kemudian membaca prediksi yang tertera di sana dalam bentuk syair atau pantun.
Tradisi Ciam Si berasal dari ajaran Taoisme, dan diyakini berasal dari kitab metode ramalan I Ching. Permintaan untuk mengetahui masa depan melalui Ciam Si biasanya membanjir ketika Imlek (Tahun Baru Cina) dan tanggal lainnya yang disakralkan dalam ajaran tersebut.
Upaya Menjadikan Ciam Si Sebuah ‘Heritage’
Suatu kali, dalam diskusi sastra, seorang penyair asal Bulgaria menyodorkan sekumpulan kartu Tarot Cina kepada Tan. Untuk memahaminya, sebagai referensi, Tan pun mempelajari tentang Tarot Cina dan Tarot Mesir yang berasal dari peradaban kuno.
Ia merasa prihatin. Karena Ciam Si sebagai sistem Tarot Cina, nyaris tidak ada yang berusaha mengabadikannya sebagai kekayaan literasi. Padahal Ciam Si masih digunakan oleh orang-orang Tiong Hoa hingga ke masa dunia modern sekarang ini.
Tan kemudian menerjemahkan syair-syair kuno bernomor tersebut ke dalam bahasa puisi, yang terasa lebih baru dan indah untuk dibaca pada zaman sekarang. Jadilah kumpulan kartu bernomor urut 1 hingga 46 yang kemudian dinamai: “Ciam Si, Puisi-puisi Ramalan”.
Dalam sebuah percakapan telepon dengan penulis pada 8 Agustus 2024, penyair berjulukan ‘Singa dari Bali’ tersebut menjelaskan, ia berusaha dengan ketat untuk menerapkan aturan baris dan kata dari syair-syair Ciam Si kuno.
Keprihatinan seniman Bali pada terpinggirkannya tradisi Ciam Si bagai ‘gayung bersambut’ ketika salah satu mahasiswa Jurusan Sastra Cina Universitas Brawijaya menyampaikan niatnya untuk membuat skripsi dengan kajian terhadap kartu-kartu Ciam Si karya Tan Lioe ie.
Yokkie, panggilan akrab Tan Lioe Ie, pun tambah bersemangat mempelajari lebih jauh mengenai tradisi Ciam Si. Ia kemudian mengunjungi berbagai klenteng di Jawa dan Bali untuk memahami perkembangan Ciam Si.
Sebuah buku yang dijual di klenteng di Gunung Kawi menampilkan Kartu Nomor 1 Ciam Si. Bandingkan dengan foto berikutnya. (Foto: Instagram @pocketantique)
Teks puisi dari Kartu Nomor 1 dan 46 pada “Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan” karya Tan Lioe Ie, terasa lebih estetik untuk pembacaan di masa sekarang. (Foto: screen shoot dari laman langgar.co)
Dalam perjalanan tersebut, Tan Lioe Ie menemukan adanya perbedaan-perbedaan dari berbagai pusat peribadatan kaum Tiong Hoa. Misalnya di pusat peribadatan Gunung Kawi, ‘kuncian’ atau kartu Ciam Si hanya ada 60 buah. Berbeda jauh dari jumlah sebenarnya dalam budaya Cina kuno, yakni 100 kartu.
Sedangkan di tempat lainnya, jumlah rasi bintang yang digunakan dalam meramal Ciam Si mencapai 30 buah. Padahal, dalam budaya Cina kuno hanya berjumlah 27 saja.
Tan mengatakan, Ciam Si merupakan kumpulan puisi yang bersifat multitafsir. Elemen puisi seperti demikian sangat lekat dengan para praktisi Tarot, hipnoterapis, pemangku pendeta di Bali, dan juga para motivator.
Sunlie Thomas Alexander, dalam kritik sastranya atas “Ciam Si: Puisi-puisi Ramalan” di laman langgar.co, mengatakan usaha Tan Lioe Ie menghadirkan kembali Ciam Si ke dalam sastra Indonesia memperjelas bahwa sastra modern Indonesia adalah usaha pencarian ke berbagai wilayah, tak terbatas oleh letak geografis, negara, maupun bahasa apapun dalam upaya-upaya pembacaan ulang dan penyerapan segala bentuk tradisi susastra ke dalam tradisi lokal yang ada pada masa sekarang.
(Patricia)