TANGERANG | TD – Ananta Wahana, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), mengadakan Sosialisasi 4 Pilar MPR RI dengan cara yang unik, yaitu melalui pentas wayang kulit. Acara ini berlangsung di Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Sabtu, 31 Agustus 2024.
Ananta menjelaskan bahwa pelaksanaan sosialisasi seperti ini merupakan inovasi baru dalam menyampaikan nilai-nilai kebangsaan kepada masyarakat secara lebih luas melalui seni dan budaya. “Kegiatan ini bukan sekadar hiburan, namun juga berfungsi sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang penting bagi masyarakat,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa wayang kulit memiliki sejarah yang kaya sebagai sarana penyampaikan informasi dan pendidikan, sehingga dapat dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. “Wayang kulit tidak hanya dimaknai sebagai hiburan. Ini adalah medium yang efektif untuk menyebarkan nilai-nilai luhur seperti cinta tanah air, integritas, dan tanggung jawab sosial,” tambah Ananta, yang merupakan anggota partai PDI Perjuangan.
Peran Yayasan Padepokan Kebangsaan
Abraham Garuda Laksono, Ketua Yayasan Padepokan Kebangsaan Karang Tumaritis, menyatakan bahwa selain mensosialisasikan 4 Pilar MPR RI, acara ini juga bertujuan untuk memperkenalkan kembali kesenian wayang kulit kepada masyarakat. “Sangat penting untuk mengingatkan masyarakat akan budaya kita yang mulai terlupakan,” katanya.
Lakon ‘Anggayuh Pakarti Luhur’
Pertunjukan wayang kulit dalam sosialisasi ini menampilkan Dalang Ki Doto Prabowo dengan lakon berjudul ‘Anggayuh Pakarti Luhur’, yang disambut dengan antusias oleh masyarakat sekitar. Dalam cerita tersebut, terdapat seorang sesepuh bernama Kyai Wahana Mulya yang tinggal di padepokan kecil bernama Karsa Binangun.
Dalam dialognya bersama kedua anaknya, Bambang Garuda Sakti dan Sekar Kinasih, Kyai Wahana Mulya bertanya tentang motivasi mereka untuk menjadi pemimpin. Mereka berdua menjawab bahwa mereka bertekad untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan, meskipun mereka berasal dari kalangan biasa.
Perjalanan mereka tidaklah mudah, banyak tantangan dan penolakan yang harus dihadapi. Namun, berkat keuletan dan kemampuan Bambang Garuda Sakti dan Sekar Kinasih, mereka mampu mengatasi setiap rintangan yang ada.
Kakak beradik ini terus berusaha untuk belajar dan menjalani kehidupan dengan kesederhanaan demi mencapai impian mereka. Akhirnya, mereka tiba di Karang Tumaritis dan bertemu dengan Ki Lurah Semar Badranaya, yang menjadi pembimbing mereka dalam pencarian ilmu.
Meskipun banyak godaan dan rintangan dalam proses belajar, Kyai Wahana Mulya tetap yakin bahwa anak-anaknya akan tumbuh menjadi pribadi yang baik di bawah bimbingan Ki Semar Badranaya.
Di bagian berikutnya, Bambang Garuda Sakti dan Sekar Kinasih dihadapkan pada Prabu Kresna sebelum memasuki wilayah Ngamarta. Prabu Kresna menguji mereka tentang pemahaman terhadap negara, termasuk pertanyaan mengenai bentuk negara Nusantara, dasar negara, serta tanggung jawab sebagai prajurit.
Keduanya berhasil menjawab semua pertanyaan dengan baik, dan Prabu Kresna kemudian memberikan tugas untuk mengusir penjajah yang hendak merusak negara.
Pertarungan pun terjadi, di mana Bambang Garuda Sakti berhasil mengalahkan prajurit-prajurit Sebrang yang mencoba menyusup ke Pandawa. Atas keberhasilan tersebut, Prabu Kresna memberikan penghargaan berupa gelar Penewu kepada Bambang Garuda Sakti di hadapan Prabu Puntadewa (Raja Amarta), sementara Sekar Kinasih diangkat sebagai pejabat di Kapanewon.
Lakon ini menggambarkan perjuangan yang tidak sia-sia demi pengabdian kepada negara sebagai langkah awal untuk meraih posisi yang lebih tinggi di masa depan.
Kegembiraan pun menyelimuti Kyai Wahana Mulya dan seluruh cantrik di Karsa Binangun melihat pencapaian yang diraih oleh Bambang Garuda Sakti dan Sekar Kinasih. (BD)