Oleh: Muamar, SH.,MH
(Pemerhati Hukum Lingkungan, Alumnus Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada)
Hukum bukan hanya berfungsi sebagai penjaga ketertiban, keseimbangan dan keadilan di dalam masyarakat namun lebih dari itu, hukum juga dapat berperan sebagai sarana kemajuan bangsa. Hukum sebagai kaidah dapat berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan untuk mencapai kemajuan bangsa dan negara. Oleh karena itu lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU CK) merupakan suatu ikhtiar untuk mempercepat proses pembangunan melalui pemangkasan perizinan yang tidak ramah terhadap investasi dan menciptakan kepastian hukum di bidang sumber daya alam (pertanahan, kehutanan, lingkungan hidup, mineral dan batubara).
Di bidang regulasi, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang mempunyai begitu banyak peraturan perundang-undangan bersifat sektoral dan kadangkala tumpang tindih antara satu dengan yang lain (hyper regulation). Setiap Kementerian/Lembaga berlomba-lomba untuk memproduksi peraturan perundang-undangan mulai dari undang-undang sampai peraturan Dirjen. Kondisi ini tak ubahnya seperti labirin yang tak berkesudahan.
Sementara di bidang ekonomi, berdasarkan data dari Kemenko Perekenomian pada triwulan 3 tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar -3,49% (yoy), membaik dibanding triwulan 2 tahun 2020. Selain ini Konsumsi pemerintah masih tumbuh 9,76%. Hanya sektor pertanian dan informasi komunikasi yang tumbuh positif. Pandemi covid-19 berdampak terhadap 29,12 juta orang (14,28 persen) penduduk usia kerja. Selain itu, mayoritas masyarakat berpendapatan rendah (<=1,8jt ) mengalami penurunan pendapatan sehingga berpotensi meningkatkan kemiskinan.
Lebih lanjut Indonesia per 1 Juli 2020 naik kelas upper middle income country setelah sejak 1995 berada dalam lower middle income country, di mana Gross National Income (GNI) per capita Indonesia 2019 naik menjadi USS 4.050 dari USS 3.840 di tahun 2018 dan Indonesia menghadapi tantangan Middle Income Trap (MIT), yaitu keadaan ketika perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara high income.
Reformasi Bidang Perizinan
Kondisi eksisting selama ini setiap usaha disyaratkan untuk memiliki izin sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan dan/atau usaha tanpa mempertimbangkan skala usaha maupun kompleksitas kegiatan dan/atau usaha. Hal ini ditambah dengan kondisi setiap Kementeriaan/Lembaga memiliki kebijakan yang tidak seragam dalam mengatur mekanisme perizinan, selain itu norma standar prosedur kriteria tidak standar sehingga menimbulkan perbedaan dalam implementasi dan berakibat pengawasan tidak berjalan optimal di lapangan.
Undang-Undang Cipta Kerja merubah rezim hukum perizinan dari berbasis izin (license based) ke berbasis resiko (risk based) yang dibagi menjadi resiko tinggi (wajib izin), resiko menengah (sertifikat standar), resiko rendah (pendaftaran/Nomor Induk Berusaha). Untuk penetapan tingkat risiko berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya terhadap aspek kesehatan, keselamatan,nlingkungan, dan atau pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
Manfaat dari perizinan usaha berbasis resiko antara lain memastikan setiap kegiatan usaha memiliki izin yang sesuai dengan potensi resiko yang dihasilkan sehingga tidak setiap kegiatan usaha harus berbentuk izin. Hal ini berimplikasi pada kegiatan usaha yang beresiko rendah seperti usaha kecil menengah, mikro tidak wajib izin, cukup mendaftarkan kegiatan usahanya dan mendapatkan nomor induk berusaha.
Pada sisi Pemerintah (Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah) fokus untuk melakukan pengawasan pada kegiatan usaha yang terindikasi memiliki resiko tinggi. Ini berdampak pada efisiensi penggunaan sumber daya manusia untuk melakukan pengawasan.
Lebih lanjut dengan adanya klusterisasi kegiatan usaha berbasis resiko maka Pemerintah didorong untuk memiliki dan memperkuat data kepatuhan dari pelaku usaha kegiatan atas izin yang telah diberikan. (bersambung)
(Red/Rom)