Politik Maskulinitas dalam Pilkada Banten di Era Post-Truth

waktu baca 3 minutes
Jumat, 18 Okt 2024 21:54 0 Redaksi

OPINI | TD — Secara umum, banyak pihak sepakat mengenai definisi politik identitas dan maknanya. Politik identitas dapat dipahami sebagai proses politik yang menjadikan kelompok, etnis, atau agama sebagai komoditas untuk mencapai kepentingan politik. Dalam setiap momentum besar di dunia politik, baik nasional maupun daerah, politik identitas sering kali terlihat seperti gula yang menghiasi proses demokrasi dan melibatkan rakyat. Terlebih, mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya di daerah, cenderung terpancing atau tergerak ketika ada sosok atau kelompok yang memainkan politik identitas.

Dalam konteks politik nasional saat ini, Provinsi Banten muncul sebagai mikrokosmos yang menarik, mencerminkan kompleksitas dan kontradiksi dalam demokrasi Indonesia. Sebagai provinsi yang relatif muda, dibentuk pada tahun 2000 dari pemekaran Jawa Barat, Banten telah menjadi panggung bagi persaingan politik yang intens dan seringkali kontroversial. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang telah dilaksanakan beberapa kali sejak otonomi daerah diperkenalkan menawarkan perspektif unik untuk mengamati interaksi antara tradisi, modernitas, dan dinamika kekuasaan kontemporer yang cenderung konservatif.

Sejarah Banten yang kaya, dengan warisan kesultanan yang kuat dan tradisi jawara yang mendalam, memberikan latar belakang yang kompleks bagi sistem politiknya. Jawara, yang dikenal secara tradisional sebagai sosok dengan kombinasi kekuatan fisik, keterampilan bela diri, dan kadang-kadang kekuatan spiritual, telah lama berperan penting dalam struktur sosial dan politik Banten. Dalam transisi menuju era demokrasi modern, pengaruh jawara tidak serta-merta hilang. Sebaliknya, banyak yang berhasil beradaptasi menjadi aktor politik formal, membawa jaringan dan basis kekuasaan tradisional mereka ke dalam arena politik dan menanamkan politik identitas maskulin.

Walaupun Banten pernah dipimpin oleh sosok perempuan, Ratu Atut Chosiyah, politik identitas maskulin masih kentara dengan pengaruh kuat dari pihak keluarga, terutama ayahnya. Akibatnya, politik identitas maskulin menjadi elemen dominan dalam lanskap politik Banten. Maskulinitas, sebagai konstruksi sosial terkait peran dan ekspektasi gender laki-laki, tidak hanya mempengaruhi perilaku individu tetapi juga struktur institusi dan dinamika kekuasaan. Di Banten, manifestasi politik maskulinitas terlihat dalam penekanan pada kekuatan fisik, keberanian, dan kemampuan untuk memobilisasi massa, atribut yang secara historis terkait dengan jawara dan pemimpin tradisional.

Banten dikenal dengan perbedaannya, yang menjadikannya menarik. Sementara beberapa aktor politik besar mengaitkan politik identitas dengan politisasi agama, Banten menunjukkan bahwa gender juga dapat dipolitisasi, seringkali dengan cara yang negatif dan merendahkan. Hal ini terlihat dalam pernyataan salah satu calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, yang menyatakan bahwa “Wanita itu jangan dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur itu berat. Maka laki-laki harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.” Pernyataan ini memicu reaksi negatif dari masyarakat, dengan banyak yang menilai bahwa Dimyati merendahkan perempuan dan pernyataannya termasuk dalam kategori Gender Based Violence (GBV). Kontroversi ini mencerminkan dinamika politik dalam Pilkada Banten 2024, menunjukkan bahwa gender dapat dijadikan sasaran dalam politik identitas.

Tindakan dan ucapan yang merendahkan perempuan sering dinormalisasi oleh banyak orang, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Banyak contoh yang menunjukkan internalisasi rasisme dan tindakan merendahkan fisik di antara perempuan. Di era saat ini, politik identitas sangat mudah dimainkan, terutama yang terkait dengan agama, ras, etnis, dan ide-ide yang menyatakan bahwa kemampuan kepemimpinan hanya dimiliki oleh laki-laki. Ini menjelaskan mengapa ungkapan-ungkapan yang merendahkan perempuan dapat dinormalisasi, terutama oleh laki-laki yang terikat pada konstruksi maskulinitas yang telah ada sejak lama.

Saat ini, masyarakat dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal yang menggugah emosi, dibandingkan dengan esensi yang sebenarnya dari pernyataan seseorang. Inilah yang disebut sebagai masyarakat pascakebenaran, di mana mereka lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat hiburan atau bersifat pribadi. Oleh karena itu, ketika ada calon pejabat publik yang merendahkan kemampuan perempuan, hal tersebut sering kali tidak mendapatkan perhatian serius dari publik.

Penulis:  Djilzaran Nurul Suhada, Pengajar Sosiologi STISIP Trimasda Cilegon. (*)

LAINNYA