Titik Didih Reformasi: Membaca RUU TNI 2024 dari Kacamata 17+8 Tuntutan Rakyat 2025

waktu baca 5 minutes
Minggu, 12 Okt 2025 17:03 0 Nazwa

OPINI | TD — Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI 2024 hadir di tengah dinamika politik Indonesia yang tengah mencari keseimbangan antara kebutuhan modernisasi pertahanan dan komitmen terhadap prinsip-prinsip reformasi. Namun, alih-alih memperkuat profesionalisme militer dan mempertegas akuntabilitas institusi pertahanan, beberapa ketentuan dalam RUU ini justru menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya bayang-bayang dwifungsi militer yang telah lama dihapus.

Dalam konteks tersebut, membaca RUU TNI 2024 melalui kacamata 17+8 Tuntutan Rakyat—manifestasi aspirasi publik pasca-1998—menjadi langkah penting. Tuntutan-tuntutan itu, seperti penghapusan dwifungsi ABRI dan penegakan supremasi sipil, merupakan tonggak sejarah yang menandai tekad bangsa untuk menjadikan TNI sebagai institusi profesional, netral, dan tunduk pada pemerintahan sipil yang demokratis. Dua puluh lima tahun setelah Reformasi, prinsip-prinsip ini kembali diuji melalui RUU TNI 2024—sebuah ujian apakah Indonesia akan tetap teguh pada semangat reformasi, atau justru mengalami kemunduran institusional.

RUU TNI 2024 dan Jalur Belakang Kembalinya Dwifungsi

Titik panas utama dari RUU TNI 2024 terletak pada perluasan nomenklatur penempatan prajurit aktif di berbagai kementerian dan lembaga sipil. Jika pada era awal Reformasi kebijakan dwifungsi dihapus untuk menegakkan batas tegas antara militer dan sipil, maka pasal-pasal dalam RUU ini tampak membuka kembali “jalur belakang” bagi keterlibatan militer dalam urusan non-pertahanan.

Langkah ini secara prinsip bertentangan dengan semangat TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menegaskan bahwa peran TNI dibatasi pada fungsi pertahanan negara. Ketentuan yang membuka peluang penempatan perwira aktif di puluhan lembaga sipil tanpa batasan yang jelas berpotensi menurunkan profesionalisme militer. Prajurit yang seharusnya fokus pada latihan, pendidikan, dan strategi pertahanan justru akan terdorong ke ranah birokrasi sipil yang memerlukan kompetensi berbeda.

Implikasinya tidak hanya pada efektivitas pertahanan, tetapi juga pada sistem birokrasi itu sendiri. Ketika jabatan strategis diisi oleh perwira aktif, peluang bagi aparatur sipil negara (ASN) berprestasi menjadi tertutup, melanggar prinsip merit system dan keadilan dalam birokrasi publik.

Supremasi Sipil yang Terancam

Salah satu pilar utama dalam 17+8 Tuntutan Rakyat adalah penegakan supremasi sipil atas militer. Prinsip ini bukan sekadar simbol reformasi, melainkan syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Namun, RUU TNI 2024 menimbulkan tanda tanya serius terhadap prinsip ini, terutama terkait dengan aspek akuntabilitas.

Ketika seorang perwira aktif menempati jabatan di lembaga sipil, kepada siapa ia bertanggung jawab? Kepada pimpinan sipil institusi tersebut, atau kepada atasan militer dalam rantai komando? Ambiguitas ini menciptakan grey area dalam tata kelola pemerintahan dan berpotensi menimbulkan dualisme loyalitas. Dalam jangka panjang, kondisi semacam ini dapat mengaburkan batas otoritas sipil dan militer—sebuah langkah mundur dari prinsip civilian control yang menjadi roh reformasi militer pasca-1998.

Lebih jauh, keterlibatan militer di ranah sipil membuka ruang politisasi institusi pertahanan. Jika tidak dikontrol secara ketat, hal ini dapat memunculkan kembali pola hubungan kekuasaan lama di mana militer bukan hanya alat pertahanan, melainkan juga aktor politik yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan publik.

Profesionalisme Militer di Ujung Tanduk

Profesionalisme adalah inti dari reformasi TNI. Namun, RUU TNI 2024 justru berpotensi menggerusnya melalui dua mekanisme utama:

  • Erosi Kemampuan dan Kapasitas Tempur.
    Penempatan perwira terbaik di jabatan sipil akan menghambat proses regenerasi dan penguatan kemampuan pertahanan. Kompetensi militer yang dibangun melalui pelatihan dan pengalaman lapangan tidak dapat digantikan oleh pengalaman administratif di lembaga sipil. Dalam jangka panjang, ini melemahkan kesiapan pertahanan nasional.
  • Kompetisi Tidak Sehat di Ranah Birokrasi.
    Ketika posisi strategis diisi oleh prajurit aktif, ASN sipil akan kehilangan ruang kompetisi yang adil. Birokrasi menjadi arena yang tidak setara karena kekuatan struktural militer dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan. Situasi ini tidak hanya menghambat meritokrasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap netralitas birokrasi negara.

Jangan Nodai Komitmen Sejarah

Semangat reformasi 1998 adalah upaya kolektif bangsa untuk memisahkan militer dari politik, agar TNI dapat fokus pada fungsi pertahanan. Dengan demikian, upaya mengembalikan prajurit ke posisi sipil, apa pun alasannya, merupakan bentuk regresi politik. Kacamata 17+8 Tuntutan Rakyat tidak melihat hal ini sebagai modernisasi, melainkan sebagai kemunduran dalam demokrasi.

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu membaca kembali pesan sejarah: TNI yang kuat adalah TNI yang profesional; dan TNI yang profesional adalah TNI yang kembali ke barak, tunduk pada otoritas sipil, dan fokus pada tugas pertahanan. Modernisasi alutsista dan peningkatan kesejahteraan prajurit memang penting, tetapi tidak boleh dibayar mahal dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.

Saran Kritis: Menyelamatkan Pilar Supremasi Sipil

Sebagai mahasiswa yang mempelajari politik dan dinamika reformasi, saya mengusulkan agar DPR dan Pemerintah melakukan moratorium pembahasan RUU TNI 2024. Sebagai gantinya, perlu dibentuk Tim Kajian Independen yang melibatkan akademisi, pakar hukum tata negara, organisasi masyarakat sipil pro-demokrasi, dan perwakilan mahasiswa. Tim ini harus meninjau ulang setiap pasal RUU dengan berpedoman pada TAP MPR No. VI/MPR/2000 dan semangat 17+8 Tuntutan Rakyat.

Tujuannya jelas: memastikan bahwa modernisasi TNI berorientasi pada peningkatan profesionalisme pertahanan tanpa menggerus prinsip supremasi sipil dan meritokrasi birokrasi. RUU ini adalah ujian serius terhadap kualitas demokrasi Indonesia pasca-Reformasi.

Titik didih yang kini muncul bukan sekadar persoalan hukum atau kebijakan pertahanan, tetapi ujian moral bagi bangsa: apakah kita masih setia pada cita-cita Reformasi 1998, atau justru rela mengorbankannya demi kompromi politik jangka pendek?

Kesimpulan

RUU TNI 2024 bukan hanya soal struktur militer, melainkan soal arah masa depan demokrasi Indonesia. Dari kacamata 17+8 Tuntutan Rakyat, upaya perluasan peran militer di ranah sipil adalah sinyal bahaya bagi keberlanjutan reformasi. Jika tidak dikoreksi, kita berisiko mengaburkan batas antara barak dan birokrasi, antara senjata dan kekuasaan sipil.

Kini saatnya publik, pemerintah, dan parlemen berdiri teguh menjaga amanat reformasi: menjadikan TNI profesional, modern, dan sepenuhnya berada di bawah kendali sipil. Karena pada akhirnya, pertahanan yang kuat tidak lahir dari militer yang berkuasa, tetapi dari militer yang disiplin, profesional, dan tunduk pada demokrasi.

Penulis: Siti Khalisa Nuraini
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Untirta. (*)

LAINNYA