Skripsi dan Kesehatan Mental: Antara Perjuangan Akademik dan Tekanan Psikologis Mahasiswa Akhir

waktu baca 4 minutes
Selasa, 4 Nov 2025 14:25 0 Redaksi

OPINI | TD — Skripsi merupakan fase yang tak terelakkan bagi setiap mahasiswa tingkat akhir. Ia adalah gerbang menuju gelar sarjana sekaligus ujian mental yang tidak semua orang siap hadapi. Proses yang panjang, tuntutan akademik yang tinggi, serta tekanan sosial membuat perjalanan menyusun skripsi sering kali berubah dari pengalaman ilmiah menjadi beban psikologis.

Bagi sebagian mahasiswa, skripsi bukan sekadar tugas akhir, tetapi perjuangan melawan diri sendiri — melawan rasa cemas, takut gagal, dan kehilangan motivasi. Di balik lembar-lembar penelitian, revisi tanpa henti, serta bimbingan yang menegangkan, tersimpan kisah tentang stres, kelelahan emosional, dan perjuangan menjaga kewarasan di tengah tekanan.

Tekanan Sosial dan Akademik yang Menyudutkan Mahasiswa

Tidak sedikit mahasiswa akhir yang menghadapi tekanan berlapis. Dari keluarga datang harapan untuk segera lulus; dari teman-teman muncul perbandingan yang menyakitkan; dari masyarakat muncul pertanyaan klise namun menghantui: “Kapan lulus?” atau “Kapan wisuda?” Tekanan semacam ini sering kali memicu rasa bersalah dan menambah beban mental mahasiswa yang masih berjuang.

Di sisi lain, interaksi dengan dosen pembimbing pun kerap menjadi sumber stres tersendiri. Ketakutan menghadapi revisi yang tidak kunjung selesai, komentar pedas, atau bimbingan yang minim empati membuat mahasiswa kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya, skripsi yang seharusnya menjadi proses pembelajaran berubah menjadi medan ujian psikologis.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sekitar 50 persen mahasiswa akhir mengalami gangguan tidur, kecemasan, atau kehilangan motivasi saat mengerjakan skripsi. Namun, sebagian besar memilih diam — takut dianggap lemah, malas, atau tidak mampu bersaing. Padahal, diam di tengah tekanan justru memperburuk kondisi mental dan memperlambat penyelesaian skripsi itu sendiri.

Mahasiswa semester akhir yang tengah bergulat dengan tekanan akademik, revisi tanpa henti, dan tuntutan sosial, namun tetap berusaha tegar menyelesaikan skripsinya demi meraih gelar sarjana. (Foto: Dok. Triagus Carlie Daeli)

Kegagalan Sistemik dalam Dunia Pendidikan Tinggi

Fenomena ini menunjukkan adanya persoalan yang lebih dalam: sistem pendidikan tinggi yang terlalu berorientasi pada hasil, bukan proses. Banyak mahasiswa akhirnya menulis skripsi hanya untuk memenuhi syarat kelulusan, bukan untuk memahami nilai ilmiah dari penelitiannya. Akibatnya, proses belajar kehilangan makna, dan tekanan semakin besar ketika hasil yang diharapkan tak kunjung datang.

Institusi pendidikan seharusnya mulai memandang penyusunan skripsi sebagai proses pengembangan diri, bukan sekadar formalitas akademik. Dosen pembimbing pun memegang peran penting. Bimbingan yang efektif tidak hanya berbicara tentang teori dan metodologi, tetapi juga tentang menjaga semangat mahasiswa. Ucapan sederhana, empati kecil, dan dukungan moral bisa menjadi bahan bakar besar bagi mahasiswa yang hampir menyerah.

Mengelola Tekanan: Antara Usaha dan Kepasrahan

Di sisi lain, mahasiswa juga perlu belajar mengenali batas diri. Tidak semua waktu harus dihabiskan di depan laptop. Istirahat, berbagi cerita dengan teman, dan menenangkan diri bukan tanda kemalasan, melainkan bagian dari strategi menjaga kesehatan mental. Yang tak kalah penting, mahasiswa perlu menyertakan nilai spiritual dalam perjuangannya. Menyadari bahwa segala sesuatu berjalan atas kehendak Tuhan memberi ruang bagi ketenangan di tengah ketidakpastian.

Skripsi memang penting, namun kesehatan mental jauh lebih berharga. Gelar sarjana tidak akan bermakna jika diraih dengan jiwa yang rapuh dan hati yang lelah.

Menjadikan Skripsi Sebagai Ruang Tumbuh, Bukan Tekanan

Akhirnya, setiap mahasiswa memiliki ritme dan tantangannya masing-masing. Tidak semua orang bisa cepat menulis, tidak semua punya dosen pembimbing yang suportif, dan tidak semua memiliki lingkungan yang mendukung. Maka, jangan ukur perjuangan dengan kecepatan lulus, tetapi dengan keteguhan untuk tetap melangkah.

Skripsi seharusnya menjadi ruang belajar yang manusiawi — tempat mahasiswa bertumbuh, bukan runtuh. Di balik setiap lembar revisi dan sidang yang menegangkan, semoga ada mahasiswa yang tidak hanya lulus dengan gelar, tetapi juga sembuh dari tekanan yang membebani.

Karena pada akhirnya, skripsi yang baik bukan hanya yang selesai, tapi yang diselesaikan dengan hati yang sehat.
Semangat untuk para pejuang gelar sarjana.

Penulis: Triagus Carlie Daeli
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Tangerang. (*)

LAINNYA