Sejarah Pancasila: Dari BPUPKI hingga Penetapan sebagai Dasar Negara

waktu baca 4 minutes
Senin, 9 Des 2024 12:45 0 Redaksi

OPINI | TD —Realitas paham kekeluargaan yang dihayati dan diamalkan oleh berbagai suku bangsa di Nusantara menjadi inspirasi bagi para pendiri negara dalam merumuskan ideologi Pancasila.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila secara konstitusional disahkan sebagai dasar negara Republik Indonesia (NKRI). Posisinya yang fundamental menjadikan Pancasila sebagai sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan pedoman keselamatan bangsa.

Latif (2011) secara tepat menggambarkan Pancasila sebagai dasar negara yang statis dan mempersatukan, sekaligus sebagai Leitstar (bintang penuntun) yang dinamis, memandu bangsa Indonesia menuju tujuan nasional. Hal ini terwujud dengan jelas dalam lima silanya:

1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini menegaskan pengakuan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta dan manusia. Keyakinan religius ini merupakan fondasi integral kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pada paham kekeluargaan.

2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ini menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Setiap warga negara memiliki hak individu yang selaras dengan hak masyarakat dan negara, menciptakan kehidupan yang adil dan beradab.

3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Sila ini mencerminkan komitmen bangsa Indonesia terhadap kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan individualisme. Keragaman masyarakat Indonesia disatukan oleh semangat kekeluargaan, mewujudkan persatuan dalam keberagaman dan keberagaman dalam persatuan.

4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini menunjukkan karakter demokratis bangsa Indonesia. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan melalui musyawarah yang bijaksana, berdasarkan hati nurani yang luhur untuk mencapai mufakat.

5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini bertujuan mewujudkan keadilan sosial, yaitu kehidupan yang selaras antara warga negara, antara peran individu dan sosial, serta antara hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Latif, 2011).

NKRI sebagai Negara Kekeluargaan:

Sesuai UUD 1945, NKRI adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Semangat dan cita-cita negara bangsa yang bersifat kekeluargaan terungkap dalam perdebatan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 28 Mei – 22 Agustus 1945. Konsep negara kekeluargaan ini berbeda dengan pemahaman negara di Eropa.

Wahjono (1997) menjelaskan bahwa sejak menetap, bangsa-bangsa Eropa mendefinisikan negara sebagai penguasaan atas wilayah tertentu. Hal ini melahirkan teori liberalisme (Locke, Hobbes, Rousseau) yang memandang negara sebagai status hukum hasil perjanjian sosial individu-individu bebas, dengan hak asasi individu di atas hak negara. Pandangan ini ditentang oleh sosialisme-komunisme (Marx, Engels, Lenin) yang melihat negara sebagai alat penindasan kaum kuat terhadap kaum lemah, dengan kepentingan kolektif di atas individu.

Indonesia menolak kedua pandangan tersebut. Prof. Soepomo (Wahjono, 1992) menolak individualisme dan kolektivisme, memilih pandangan integralistik (Hegel, Spinoza, Adam Muller) yang memandang negara sebagai kesatuan organik yang harmonis antara makrokosmos dan mikrokosmos. Bung Hatta menambahkan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat untuk mencegah negara integralistik menjadi totaliter. Hasilnya adalah negara integralistik Indonesia sebagai negara kekeluargaan, di mana hak individu, masyarakat, dan negara saling seimbang dan selaras (Alfian, 1992).

Hak Menguasai Negara (HMN):

Dalam negara kekeluargaan, hubungan antara negara dan sumber daya alam (bumi, air, kekayaan alam) merupakan hubungan penguasaan, bukan kepemilikan seperti di negara Barat atau sosialis/komunis. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

HMN adalah hak tertinggi negara atas sumber daya alam, melebihi hak milik individu, kolektif, atau negara lainnya. Namun, penggunaannya harus melalui MPR dan mengedepankan kepentingan rakyat, keadilan, dan kelestarian alam.

Konsep kepemilikan di negara kekeluargaan meliputi: (1) kepemilikan negara atas sumber daya vital; (2) kepemilikan komunal/adat; dan (3) kepemilikan individu/kelompok dengan tanggung jawab sosial.

Kesimpulan:

Pandangan Indonesia tentang negara berbeda dengan negara lain. NKRI adalah representasi keluarga besar yang mampu mengatasi paham golongan dan individualisme, mengutamakan kemakmuran masyarakat tanpa mengorbankan martabat kemanusiaan.

Negara bukanlah perjanjian sosial (kontrak sosial), melainkan kesepakatan satu tujuan (konsep kesatuan). Pemerintah tidak boleh mementingkan diri sendiri di atas kepentingan rakyat (Wahjono, 1992).

Bung Karno menekankan jiwa kekeluargaan, gotong royong, dan keadilan sosial dalam UUD 1945. Abdul Kadir Besar mendefinisikan negara kekeluargaan sebagai keluarga besar bangsa Indonesia, bukan keluarga penguasa.

Ciri-ciri negara kekeluargaan meliputi relasi saling tergantung antara negara dan rakyat; tidak adanya perbedaan kepentingan antara rakyat dan negara; dan kedaulatan di tangan seluruh rakyat.

Empat pokok pikiran NKRI sebagai negara kekeluargaan: melindungi segenap bangsa; berdasarkan persatuan; dan mewujudkan keadilan sosial. Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan hukum dan filosofis negara kekeluargaan Indonesia.

Penulis: Feri Andika, Mahasiswa komunikasi Penyiar Islam, Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten(*)

LAINNYA