Reformasi Politik Ubah Wajah Demokrasi Indonesia Pasca 1998

waktu baca 4 minutes
Kamis, 2 Okt 2025 13:14 0 Nazwa

OPINI | TD – Lebih dari dua dekade setelah runtuhnya Orde Baru pada 1998, reformasi politik telah membawa perubahan signifikan bagi wajah demokrasi Indonesia. Perubahan mendasar terjadi dalam sistem ketatanegaraan, mekanisme pemilihan umum, pembatasan kekuasaan, serta kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan berpartisipasi. Reformasi yang lahir dari gelombang protes mahasiswa dan tuntutan publik itu menjadi titik balik perjalanan demokrasi modern di Tanah Air.

Awal Reformasi dan Tumbangnya Orde Baru

Pada Mei 1998, krisis ekonomi dan politik memuncak dengan lengsernya Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Kejatuhan itu bukan hanya mengakhiri era pemerintahan otoriter dan sentralistik, tetapi juga membuka jalan bagi demokratisasi politik. Pemerintahan transisi B.J. Habibie segera merumuskan langkah awal reformasi, mulai dari pembebasan tahanan politik, kebebasan pers, hingga persiapan pemilu pertama yang lebih terbuka.

Sejak saat itu, gagasan tentang demokrasi, partisipasi rakyat, dan penegakan hukum dibangun secara bertahap melalui amandemen konstitusi, pembentukan lembaga baru, dan pembaruan sistem politik.

Amandemen Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan

Antara 1999 hingga 2002, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen yang menjadi fondasi utama reformasi. Melalui amandemen ini, masa jabatan presiden dibatasi maksimal dua periode. Sistem check and balance diperkuat melalui pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang lebih seimbang.

DPR memperoleh kewenangan lebih besar dalam legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sementara itu, lahir lembaga-lembaga baru seperti DPD, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) sebagai upaya memperluas representasi politik dan pengawasan kekuasaan negara.

Pemilu Langsung dan Sistem Multipartai

Salah satu perubahan paling menonjol dari reformasi adalah mekanisme pemilu. Jika sebelumnya presiden dipilih oleh MPR, sejak 2004 rakyat bisa memilih langsung presiden dan wakil presiden. Pemilu legislatif juga semakin terbuka dengan keikutsertaan banyak partai politik, menggantikan sistem terbatas di era Orde Baru.

Pada 2005, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung mulai diterapkan. Hal ini memberi masyarakat hak memilih pemimpinnya di tingkat lokal dan memperkuat legitimasi pemerintahan daerah. Namun, sistem multipartai dan pemilu langsung juga menghadirkan tantangan seperti biaya politik tinggi, praktik politik uang, serta kompetisi antarpartai yang kerap tidak sehat.

Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Reformasi melahirkan kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22/1999 yang kemudian diperbarui. Pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah dalam bidang pelayanan publik, pengelolaan anggaran, dan pembangunan. Tujuannya adalah mengurangi kesenjangan wilayah serta mendorong partisipasi lokal.

Meski demikian, pelaksanaannya tidak lepas dari persoalan, seperti kesenjangan fiskal antar daerah, penyalahgunaan anggaran, hingga munculnya dinasti politik lokal.

Kebebasan Pers dan Partisipasi Publik

Sebelum reformasi, pers berada di bawah kontrol ketat pemerintah. Pasca 1998, UU No. 40/1999 menjamin kemerdekaan pers. Media tumbuh pesat dan berperan sebagai penyampai informasi, pengawas kebijakan, serta wadah kritik terhadap pemerintah.

Kebebasan berpendapat juga meningkat. Organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan aktivis leluasa menyuarakan aspirasi. Ruang diskusi politik pun melebar, termasuk melalui media digital. Meski demikian, tantangan baru muncul berupa maraknya hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi opini publik.

Lembaga Antikorupsi dan Penegakan Hukum

Sebagai bagian dari reformasi kelembagaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri pada 2003. Lembaga ini menjadi simbol perang melawan korupsi melalui operasi tangkap tangan dan proses hukum yang menjerat pejabat pusat maupun daerah.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi berperan penting menyelesaikan sengketa pemilu dan menguji undang-undang. Meski kinerjanya pernah dipertanyakan, MK tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga supremasi konstitusi.

Tantangan Demokrasi Kontemporer

Meski reformasi membawa banyak kemajuan, demokrasi Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan. Politik uang, dominasi oligarki ekonomi-politik, lemahnya kaderisasi partai, dan rendahnya literasi politik masyarakat menjadi tantangan serius.

Media sosial yang awalnya menjadi ruang ekspresi kini juga dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks dan manipulasi opini publik. Penegakan hukum yang belum konsisten serta maraknya korupsi baik di pusat maupun daerah turut melemahkan kepercayaan publik.

Pengamat menilai, struktur politik memang telah berubah, tetapi perubahan budaya politik membutuhkan waktu lebih panjang. Partisipasi publik perlu ditingkatkan tidak hanya saat pemilu, melainkan juga dalam pengawasan kebijakan dan anggaran.

Harapan dan Arah Masa Depan

Meski belum sempurna, reformasi politik adalah tonggak penting sejarah demokrasi Indonesia. Sistem yang lebih terbuka memungkinkan rakyat memilih pemimpin, mengkritik kebijakan, dan menuntut keadilan. Perubahan sejak 1998 juga membuka ruang lebih besar bagi generasi muda untuk terlibat dalam pemerintahan maupun aktivisme sosial.

Ke depan, penguatan institusi demokrasi, penegakan hukum tanpa pandang bulu, pemberdayaan masyarakat sipil, serta pendidikan politik menjadi kunci keberlanjutan reformasi. Dengan menjaga semangat keterbukaan dan transparansi, demokrasi Indonesia diharapkan terus berkembang secara sehat, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Dua puluh enam tahun pasca reformasi, warisan gerakan 1998 masih menjadi fondasi penting perjalanan bangsa. Reformasi bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan proses panjang yang terus bergerak menuju demokrasi yang matang.

Penulis: Ramadhani Nur Fadhillah, mahasiswa semester 1 mata kuliah Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA