OPINI | TD – Ketika Michael Jackson merilis lagu Earth Song pada tahun 1995, ia seolah menggugah hati dunia yang mulai tuli terhadap jeritan alam. Dengan lantunan yang emosional, Michael Jackson bertanya: “What about sunrise? What about rain? What about all the things that you said we were to gain?”. Kini, hampir tiga dekade setelah lagu itu menggema, pertanyaan-pertanyaan itu terasa semakin relevan, terutama ketika kita menatap ke timur Indonesia—ke Raja Ampat, surga biodiversitas yang kini menghadapi ancaman nyata dari tambang nikel.
Nikel: Logam Masa Depan dengan Bayaran Alam
Nikel sering disebut sebagai logam masa depan. Ia adalah komponen utama dalam baterai kendaraan listrik, simbol peralihan dunia menuju energi terbarukan. Namun, di balik label “hijau” dan “ramah lingkungan” yang melekat pada teknologi ini, terdapat paradoks yang sulit ditampik: kerusakan lingkungan di daerah-daerah penghasil nikel. Raja Ampat, yang selama ini dikenal sebagai surga bawah laut dengan lebih dari 1.500 spesies ikan dan terumbu karang yang memukau, kini berhadapan dengan rencana pertambangan nikel yang bisa mengubah wajah wilayah tersebut secara permanen.
Pemerintah daerah Raja Ampat baru-baru ini mencabut izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah itu. Namun, proses ini tidak terjadi begitu saja. Dibutuhkan tekanan dari masyarakat sipil, akademisi, dan pegiat lingkungan agar kebijakan yang berpihak pada alam dapat diambil. Ini menunjukkan bahwa masih ada celah hukum dan ekonomi yang memungkinkan eksploitasi terus berlangsung, bahkan di kawasan dengan status konservasi dunia seperti Raja Ampat.
“What Have We Done to the World?”
Pertanyaan Michael Jackson dalam lagu Earth Song kembali menghantui: “What have we done to the world? Look what we’ve done.” Raja Ampat bukan sekadar tempat indah; ia adalah rumah bagi ribuan makhluk hidup yang tidak bisa bersuara di meja kebijakan. Namun, suara-suara itu terwakili oleh karang yang memutih, sungai yang tercemar, dan hutan yang ditebang untuk jalan tambang.
Dalam konteks global, narasi transisi energi sering kali terjebak dalam logika kapitalistik: kejar produksi, perluas tambang, dan genjot ekspor bahan baku. Indonesia, sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar dunia, tentu tergoda untuk memanfaatkan posisi strategis ini. Namun, jika tidak dilakukan dengan pertimbangan ekologis dan keadilan lingkungan, maka transisi ini hanya akan menjadi pergeseran beban—dari emisi karbon ke kehancuran ekosistem.
Kekayaan Alam yang Tak Tergantikan
Raja Ampat adalah salah satu titik hot spot keanekaragaman hayati dunia. Tak hanya menjadi destinasi wisata, wilayah ini juga menjadi laboratorium alam bagi ilmu pengetahuan, sumber penghidupan bagi masyarakat adat, dan bagian dari sistem ekologis global. Kehilangan Raja Ampat karena tambang nikel bukan sekadar kehilangan pemandangan indah, tetapi kehilangan warisan dunia.
Lalu, apakah nikel lebih berharga daripada terumbu karang yang berusia ribuan tahun? Apakah kendaraan listrik di kota-kota besar dunia layak dibayar dengan kerusakan lingkungan di tanah Papua? Dalam lagu Earth Song, Michael Jackson tidak memberikan jawaban, melainkan ajakan untuk merenung. Ia mengajak kita mendengarkan suara-suara yang sering kita abaikan: jeritan bumi, tangisan pohon, dan rintihan binatang yang terusir dari habitatnya.
Pembangunan yang Melukai atau Menyembuhkan?
Pemerintah dan industri kerap berdalih bahwa tambang membawa pembangunan. Jalan dibangun, lapangan kerja tersedia, dan pendapatan daerah meningkat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa tambang juga membawa luka: polusi air dan udara, konflik sosial, hilangnya ruang hidup, dan ketergantungan ekonomi yang rapuh.
Sebaliknya, pariwisata berkelanjutan di Raja Ampat terbukti memberikan dampak ekonomi yang lebih merata dan berkelanjutan. Masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan wisata, konservasi menjadi bagian dari identitas budaya, dan ekosistem tetap terjaga. Ini adalah contoh pembangunan yang menyembuhkan, bukan melukai.
Saatnya Mendengarkan Lagu “Earth Song”
Lagu Earth Song adalah lagu protes yang jarang ditemukan dalam arus utama musik pop. Lagu itu menggabungkan gospel, blues, dan orkestra untuk membangkitkan rasa kehilangan dan penyesalan. Namun lebih dari itu, lagu ini adalah panggilan: untuk berhenti, merenung, dan berubah.
Kini, saat dunia berlomba-lomba menuju masa depan yang lebih “bersih” dan “hijau”, kita diingatkan bahwa cara kita mencapainya sama pentingnya dengan tujuannya. Raja Ampat dan wilayah-wilayah serupa bukan sekadar titik di peta yang kaya sumber daya—mereka adalah saksi bisu dari dilema moral umat manusia: memilih kemajuan dengan merusak, atau menata ulang arah pembangunan demi keberlangsungan hidup semua makhluk.
Lagu Earth Song tidak hanya meminta jawaban atas kerusakan yang telah terjadi, tetapi juga menuntut tanggung jawab atas masa depan. Kita, sebagai generasi yang mewarisi dunia dalam krisis iklim, punya kesempatan untuk menjawab panggilan itu—dengan tindakan nyata. Menolak tambang nikel di kawasan konservasi bukan berarti menolak kemajuan, melainkan menuntut bentuk kemajuan yang lebih adil dan beradab.
Karena pada akhirnya, pertanyaan terbesar bukan hanya “Apa yang telah kita lakukan?”, tetapi juga: “Apa yang akan kita pilih untuk dilakukan sekarang?” Agar jeritan ”What about us?” dalam lirik lagu Michael Jackson tidak menggema dari orang-orang yang menderita karena tindakan yang kurang baik ini. Sehingga, pilihan itu ada di tangan kita—dan mungkin, dalam suara yang masih bergema dari lagu Earth Song, alam sedang menunggu jawabannya.
Muhamad Hijar Ardiansah, Mahasiswa KPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Editor: Patricia