FENOMENA | TD – Hujan merupakan salah satu fenomena alam menakjubkan yang secara konsisten menopang keberlangsungan hidup seluruh ekosistem di bumi. Ia bukan hanya sekadar air yang dilimpahkan dari langit melainkan sebagai sumber utama bagi kesuburan tanah, menjaga keseimbangan iklim, serta penyedia air bagi makhluk hidup—baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Dalam lanskap ekosistem global, hujan menempati posisi sentral sebagai penyalur pasokan air dalam siklus hidrologi. Setiap tetes hujan yang jatuh membawa harapan dan kehidupan sehingga tanpa adanya hujan maka akan banyak bagian bumi yang mengalami kekeringan ekstrem, sektor pertanian menderita gagal panen dan kehidupan makhluk hidup menjadi terganggu.
Namun di balik keberlimpahan atas manfaat air hujan tersebut, memunculkan beberapa pertanyaan bagi kaum awam yang berpikir, misalnya: Apakah benar air hujan berasal dari air laut? Jika iya, mengapa rasa air hujan tidak asin sebagaimana air laut? Dan mengapa pula air hujan bisa menyebabkan besi mengalami berkarat atau korosi? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara ilmiah, mendalam, dan mudah dipahami, sekaligus menjelaskan proses terbentuknya hujan dari awal hingga akhir.
Ilustrasi ini menggambarkan siklus hidrologi : mulai dari evaporasi, kondensasi, hingga hujan dan aliran air yang kembali ke laut. (Foto: Dok. penulis)
Fenomena terbentuknya hujan bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba melainkan hasil dari suatu siklus panjang yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Dalam siklus ini air mengalami perubahan bentuk dari zat cair menjadi uap bahkan es, lalu berpindah tempat dari lautan ke atmosfer, kemudian ke daratan, dan akhirnya kembali lagi ke laut. Proses tahapan awal pembentukan hujan umumnya dimulai dari lautan yang menutupi sekitar 70 persen permukaan bumi sebagai sumber utama penguapan dan bahan baku pembentukan awan yang kelak akan mencurahkan air hujan.
Proses pertama yang terjadi adalah evaporasi, yakni penguapan air laut akibat dari pemanasan oleh sinar matahari. Sinar matahari sebagai sumber energi kalor menyebabkan molekul-molekul air di permukaan laut bergerak lebih cepat hingga mencapai titik di mana mereka berubah menjadi uap air dan terangkat ke atmosfer. Dalam proses ini, zat terlarut seperti garam, mineral, dan partikel kecil tidak akan ikut terangkat karena proses penguapan hanya terjadi pada molekul air saja (H₂O). Hal ini karena molekul garam dan partikel berat lainnya memerlukan energi lebih besar untuk bisa menguap sehingga tidak akan tercapai pada suhu permukaan air laut normal. Itulah sebabnya air hujan tetap terasa tawar meskipun berasal dari air laut. Proses penguapan bekerja seperti distilasi alami yang hanya mengangkat molekul air murni serta meninggalkan garam, mineral dan senyawa lainnya.
Setelah uap air naik ke atmosfer maka ia akan mengalami penurunan suhu yang cukup signifikan. Pada ketinggian tertentu di atmosfer, suhu menjadi cukup dingin untuk menyebabkan kondensasi yaitu perubahan wujud uap air menjadi titik-titik air kecil. Pada akhirnya titik-titik air ini berkumpul bersama membentuk awan.
Jika kondensasi terjadi di lapisan atmosfer yang cukup tinggi maka awan yang terbentuk bisa membesar, menyatu, dan menjadi lebih tebal. Proses ini sering kali menjadi lebih cepat oleh angin yang mendorong awan untuk bergerak dan bergabung antara satu sama lain, serta terus naik ke lapisan atmosfer paling atas yang lebih dingin. Awan yang mengalami penebalan berlebihan dan terus meningkat ke atas akan berubah menjadi awan jenis cumulonimbus yang sering kali disertai dengan petir, kilat, dan badai.
Angin tidak hanya berkontribusi dalam memindahkan awan tapi ia juga memainkan peran vital dalam mendistribusikan kelembapan udara, mengatur tekanan atmosfer, serta mendorong terjadinya konveksi (perpindahan massa udara panas dari bawah ke atas). Konveksi inilah yang menyebabkan awan naik ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi dan lebih dingin sehingga mempercepat proses kondensasi lanjutan.
Selain itu angin juga membantu menciptakan turbulensi yang mempertemukan antara partikel-partikel air dalam awan, sehingga mereka menyatu dan membentuk tetes-tetes air yang cukup besar untuk jatuh sebagai hujan.
Ketika awan telah cukup jenuh dengan titik-titik air dan suhu udara di sekitarnya yang semakin dingin maka awan akan berubah warnanya menjadi gelap. Hal ini karena cahaya matahari tidak lagi dapat menembus awan tebal. Titik-titik air yang terlalu berat untuk ditahan oleh gaya angkat atmosfer akhirnya jatuh ke bumi sebagai hujan (precipitation).
Dalam kondisi ekstrem jika suhu di lapisan atmosfer atas sangat rendah maka hujan bisa turun dalam bentuk salju atau es. Namun di daerah tropis seperti Indonesia, hujan umumnya turun dalam bentuk cair.
Meski air hujan terasa tawar dan terlihat bersih namun ia bukanlah air murni secara kimiawi. Dalam perjalanannya di atmosfer, uap air bisa bereaksi dengan gas-gas lain yang ada di udara, seperti:
Reaksi antara uap air dan gas-gas tersebut menghasilkan senyawa yang bersifat korosif seperti asam karbonat (H₂CO₃), asam sulfat (H₂SO₄), dan asam nitrat (HNO₃).
Itulah sebabnya air hujan memiliki tingkat keasaman (pH) di bawah 7, bahkan dalam kondisi tertentu bisa sangat asam. Air dengan tingkat keasaman tinggi dapat bereaksi dengan logam seperti besi sehingga menyebabkan terjadinya korosi atau karat.
Reaksi Kimia Korosi:
Besi (Fe) yang terkena air dan oksigen (O₂) akan mengalami reaksi sebagai berikut:
Fe + H₂O + O₂ → Fe₂O₃·nH₂O (karat besi)
Ketika air hujan yang mengandung asam mempercepat reaksi ini, maka proses korosi akan lebih cepat dan lebih merusak.
Mengapa Rasa Air Hujan Tidak Asin?
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui prinsip selektivitas penguapan. Dalam proses evaporasi, hanya molekul air (H₂O) yang terangkat ke atmosfer. Molekul berat seperti garam natrium (NaCl), magnesium, kalsium, dan mineral lainnya tetap tertinggal di laut. Proses ini membuat uap air yang naik ke atmosfer tidak membawa rasa asin.
Namun perlu menjadi catatan, bahwa meskipun air hujan terasa tawar namun air hujan bukanlah air suling (distilasi sempurna). Ia tetap bisa membawa partikel kecil dari udara, termasuk polutan, debu, bahkan mikroorganisme. Oleh karena itu, air hujan sebaiknya tidak langsung diminum tanpa disaring atau direbus terlebih dahulu.
Hujan bukan hanya sekedar fenomena cuaca melainkan ia adalah cerminan dari keseimbangan ekologis, keteraturan mekanisme alam, dan tanda kasih sayang Sang Pencipta kepada bumi. Mulai dari proses penguapan air laut, hembusan angin, pembentukan awan, hingga turunnya hujan, semuanya itu merupakan siklus hidrologi yang begitu presisi dan terukur sesuai dengan kadar yang telah tetap.
Kita sering kali menikmati pemandangan turunnya hujan dari jendela rumah, di jalanan atau saat sedang berteduh namun mengabaikan keajaiban ilmiah dan spiritual yang terkandung di dalamnya. Bahwa setiap tetes air hujan adalah hasil dari proses panjang yang tak terlihat namun membawa dampak yang luar biasa bagi keberlangsungan kehidupan di bumi.
Maka marilah kita tidak hanya mensyukuri keberadaan hujan tetapi juga menjadikannya sebagai suatu pelajaran tentang bagaimana alam bekerja dalam harmoni. Serta bagaimana sesuatu yang sederhana seperti air bisa mengandung ilmu, logika, dan keajaiban dalam satu kesatuan yang menenangkan.
Penulis: Sugeng Prasetyo
Editor: Patricia