Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya kedaulatan ekonomi dan reformasi kepercayaan publik sebagai fondasi utama arah kebijakan “Prabowonomic”. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)OPINI | TD — Tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi babak baru dalam perjalanan ekonomi-politik Indonesia. Ia mewarisi kondisi ekonomi yang relatif stabil—pertumbuhan 5,05 persen, inflasi 2,8 persen, dan cadangan devisa di atas 145 miliar dolar AS. Namun, di balik stabilitas itu tersimpan sejumlah tantangan berat: defisit kepercayaan publik, bengkaknya subsidi fiskal, serta stagnasi produktivitas nasional.
Dalam konteks inilah, istilah “Prabowonomic” muncul sebagai rumusan arah baru kebijakan ekonomi-politik sang presiden. Sebagian melihatnya sebagai strategi besar—strategic statecraft—yang mencoba memadukan kebijakan ekonomi, stabilitas politik, dan rekonsiliasi kekuasaan dalam satu kerangka nasional. Sebagian lain menilai, konsep ini masih dalam tahap “uji coba”, lebih banyak bersifat simbolik ketimbang reformasi struktural yang nyata.
Namun satu hal yang menarik, Prabowonomic tidak berdiri sendiri. Ia berjalan beriringan dengan fase yang oleh publik dijuluki “Fishing Time” —masa di mana Prabowo memberi ruang bagi para pembantunya, birokrat, dan elite ekonomi untuk bekerja, sambil diam-diam “memantau siapa yang benar-benar melayani rakyat, dan siapa yang menyalahgunakan kekuasaan.”
Dengan kata lain, ini bukan sekadar manajemen birokrasi, tapi eksperimen kepercayaan berskala nasional.
Jika Soeharto dikenal dengan Trilogi Pembangunan dan SBY dengan slogan pro-growth, pro-job, pro-poor, maka Prabowo membawa pendekatan yang lebih taktis: kedaulatan ekonomi, efisiensi fiskal, dan reformasi kepercayaan publik.
Dalam pidato pelantikannya (20 Oktober 2024), Prabowo menegaskan:
“Kedaulatan ekonomi adalah fondasi dari martabat nasional.”
Dari prinsip itu lahir dua garis kebijakan besar:
Program Mass Basic Goods (MBG) menjadi contoh konkret. Melalui distribusi bahan pokok bagi masyarakat miskin, program ini tak hanya menjaga daya beli, tetapi juga membuka ratusan ribu lapangan kerja di sektor logistik dan pertanian.
Kebijakan cutting budget policy, yakni pemangkasan anggaran kementerian non-prioritas hingga 15 persen, berhasil menekan defisit APBN ke 1,83 persen PDB. Tapi di sisi lain, konsumsi rumah tangga kelas bawah sempat melambat. Tantangannya kini adalah menjaga keseimbangan antara disiplin fiskal dan daya beli rakyat kecil.
Selain menata ekonomi, strategi Prabowo juga menyentuh aspek yang lebih mendasar: integritas kekuasaan.
Melalui fase Fishing Time, pemerintah tampak melakukan “uji karakter” terhadap birokrasi dan elite politik. Dalam 10 bulan pertama, Kejaksaan Agung menetapkan lebih dari 80 pejabat publik dan korporasi sebagai tersangka korupsi, termasuk di sektor strategis seperti energi dan ketenagakerjaan.
Data KPK juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam operasi tangkap tangan, dengan potensi kerugian negara yang berhasil diselamatkan mencapai Rp13,4 triliun.
Pendekatan ini mengingatkan pada strategi “memancing tikus keluar dari lubang”—bukan dengan gebrakan besar yang menimbulkan instabilitas, tetapi lewat tekanan bertahap dan pengawasan cerdas.
Dalam kerangka teori state capacity (Acemoglu & Robinson, 2012), strategi ini meningkatkan dua hal sekaligus: coercive capacity (daya penegakan hukum) dan extractive capacity (kemampuan negara mengelola sumber daya secara efisien).
Namun, langkah ini juga berisiko. Di tengah reformasi yang agresif, gesekan politik dalam koalisi besar tak terhindarkan. Sebagian elite merasa “terancam”, sementara sebagian masyarakat menilai langkah ini justru menumbuhkan kepercayaan baru pada pemerintah.
Hasilnya mulai terasa. Survei Indikator Politik (Oktober 2025) menunjukkan 72 persen publik menilai pemerintah serius memberantas korupsi, naik dari 58 persen pada 2024. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) juga naik dari 34 ke 38 poin — angka tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Kenaikan kepercayaan ini menciptakan apa yang disebut trust dividend —dividen sosial yang berdampak langsung pada ekonomi. Investasi asing tumbuh 9,4 persen, terutama di sektor pangan dan energi, dengan total komitmen investasi mencapai USD 4,7 miliar.
Penerimaan pajak pun meningkat 11 persen YoY, tertinggi dalam satu dekade. Sebagian surplus digunakan untuk program pengembangan SDM dan pelatihan birokrasi berbasis digital governance.
Inilah ciri khas Prabowonomic: bukan sekadar pembangunan fisik, tapi pembangunan kapasitas kelembagaan dan moral birokrasi.
Namun kritik tetap ada. Kalangan teknokrat menilai pendekatan berbasis “trust experiment” terlalu personalistik dan berpotensi menciptakan bottleneck pengambilan keputusan. Sementara sebagian oposisi khawatir, penegakan hukum bisa menjadi alat politik.
Kekhawatiran ini wajar. Sebab sebagaimana diingatkan ekonom Dani Rodrik (2022),
“Negara kuat bisa membawa kemakmuran, tapi hanya jika tetap terikat pada akuntabilitas.”
Dengan kata lain, keberhasilan Prabowonomic bergantung pada kemampuan Prabowo menjaga keseimbangan antara sentralisasi dan transparansi.
Dari sisi sosial, efek jangka panjang mulai terasa. Angka kemiskinan turun ke 8,12 persen, pengangguran terbuka turun ke 4,6 persen, dan tingkat optimisme publik terhadap masa depan ekonomi naik 12 poin (World Values Survey, 2025).
Namun, keberlanjutan program ini sangat bergantung pada institusionalisasi kepercayaan. Jika digitalisasi birokrasi dan transparansi APBN berbasis blockchain benar-benar diterapkan, maka Prabowonomic bisa menjadi model baru trust-based governance.
Sebaliknya, jika keberhasilan ini hanya bertumpu pada figur presiden, maka risiko kemunduran pasca-2029 akan muncul.
Seperti diingatkan Francis Fukuyama (2014),
“Pembangunan bukan soal kebijakan, tapi soal lembaga.”
Negara kuat bukan yang punya banyak aturan, tapi yang punya sistem tahan terhadap penyimpangan.
Prabowonomic, pada akhirnya, bukan sekadar proyek ekonomi. Ia adalah proyek membangun negara yang dipercaya.
Melalui strategi Fishing Time, Prabowo seolah mengajarkan bahwa korupsi dan inefisiensi tidak bisa dihapus hanya dengan regulasi, tapi dengan disiplin kepercayaan.
Seperti dicatat oleh The Economist Intelligence Unit (2025):
“Prabowo’s governance will be judged not by how many enemies he catches, but by the institutions he leaves behind.”
Dan mungkin, di sanalah ukuran sejati kepemimpinan: bukan seberapa keras ia memerintah, tetapi seberapa dalam ia menanam kepercayaan.
Penulis: Kalina Aulia
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)