OPINI | TD — Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pada 6 Desember 2022 menjadi tonggak sejarah bagi Indonesia. Setelah lebih dari satu abad menggunakan hukum pidana warisan kolonial Belanda, Indonesia akhirnya memiliki produk hukum nasional. Namun, lebih dari sekadar pencapaian historis, KUHP baru juga mencerminkan arah politik hukum Indonesia: bagaimana negara mengatur hukum untuk melayani kepentingan tertentu, menyeimbangkan stabilitas politik, serta merespons dinamika sosial dan budaya masyarakat.
Sejarah Singkat: Dari Warisan Belanda ke Produk Nasional
KUHP lama Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie yang berlaku sejak 1918. Meski Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun, hukum pidana itu tetap dipakai dengan sejumlah penyesuaian.
Upaya merevisi KUHP sudah dimulai sejak era Presiden Soekarno, berlanjut ke Soeharto hingga reformasi, namun selalu tertunda akibat tarik-menarik politik, perbedaan kepentingan, dan resistensi masyarakat. Barulah pada 6 Desember 2022, DPR berhasil mengesahkan KUHP nasional. Peristiwa ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum di Indonesia bukan sekadar teknis yuridis, melainkan juga hasil kompromi politik.
Proses Politik dan Dinamika Pengesahan
Konsep politik hukum dapat dipahami sebagai arah kebijakan hukum yang dipilih negara untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks KUHP baru, proses pengesahan sarat dengan pertimbangan politik.
Pada 2019, rancangan KUHP hampir disahkan, namun gelombang protes besar dari mahasiswa dan masyarakat sipil dalam gerakan Reformasi Dikorupsi memaksa pemerintah menundanya. Tiga tahun kemudian, meski kritik publik tetap kuat, DPR dan pemerintah tetap mengesahkannya. Keputusan ini memperlihatkan prioritas politik hukum Indonesia: menegaskan simbol kedaulatan hukum nasional dan menjaga stabilitas politik, meskipun harus mengorbankan sebagian aspirasi masyarakat.
Pasal-Pasal Kontroversial
Beberapa pasal yang menimbulkan polemik luas antara lain:
- Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara
Menunjukkan prioritas negara pada stabilitas kekuasaan ketimbang kebebasan berekspresi. Pasal ini rawan dipakai untuk mengkriminalisasi oposisi, aktivis, maupun jurnalis. - Hidup Bersama Tanpa Nikah dan Zina
Cerminan politik hukum moralitas. Negara masuk ke ranah privat masyarakat dengan dalih menjaga nilai keluarga. Namun, berpotensi menimbulkan diskriminasi dan mengekang kebebasan individu. - Demonstrasi Tanpa Izin
Memperlihatkan negara lebih menekankan keteraturan publik dibandingkan kebebasan berpendapat. Hal ini bisa melemahkan fungsi masyarakat sebagai pengawas pemerintah.
Pasal-pasal tersebut memperlihatkan bagaimana pilihan politik hukum cenderung membatasi kebebasan sipil demi stabilitas kekuasaan.
Reaksi Publik dan Internasional
Di dalam negeri, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) menilai pasal-pasal kontroversial membuka ruang kriminalisasi. Kelompok mahasiswa menegaskan KUHP baru sebagai ancaman demokrasi.
Di luar negeri, media internasional seperti BBC dan The Guardian menyebut KUHP sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat juga menyatakan keprihatinan karena aturan ini dianggap bisa mengancam kebebasan pers sekaligus merugikan iklim investasi dan pariwisata, terutama di Bali.
Reaksi tersebut menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi diawasi oleh dunia internasional.
Respons Pemerintah: Politik Kompromi
Pemerintah menyebut KUHP sebagai “produk kompromi” yang menyesuaikan dengan nilai-nilai Indonesia. Presiden Jokowi menekankan adanya masa transisi tiga tahun sebelum berlaku penuh pada 2026. Namun, keraguan publik tetap besar, mengingat pasal-pasal “karet” dalam sejarah sering dipakai menekan kebebasan sipil.
Langkah kompromistis ini memperlihatkan strategi politik hukum yang berusaha menyeimbangkan stabilitas dan nilai budaya, namun tetap kurang memberi ruang pada perlindungan hak-hak sipil.
Dimensi Sosial-Budaya
Selain politik, KUHP baru juga memperlihatkan dimensi sosial-budaya. Pasal tentang zina dan kohabitasi mencerminkan nilai budaya ketimuran dan Pancasila yang menekankan pentingnya institusi keluarga.
Namun, muncul pertanyaan: apakah hukum perlu mengatur moralitas masyarakat secara ketat, ataukah memberi ruang pada pluralitas budaya dan cara hidup yang berbeda? Pertanyaan ini mencerminkan tarik-menarik khas negara majemuk seperti Indonesia.
Analisis: Politik Hukum di Persimpangan
Secara politis, KUHP baru menegaskan dominasi pemerintah dan DPR dalam menentukan arah hukum nasional. Meski ditolak publik, aturan tetap disahkan. Hal ini mencerminkan politik hukum yang elitis, di mana aspirasi masyarakat sipil belum sepenuhnya diakomodasi.
Dampaknya, ruang demokrasi berpotensi menyempit. Kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan hak mengkritik pemerintah bisa terancam. Dengan demikian, KUHP baru menempatkan Indonesia di persimpangan jalan antara menjaga stabilitas hukum atau melindungi demokrasi.
Harapan dan Solusi
Meski penuh kontroversi, KUHP baru adalah realitas hukum yang harus dihadapi. Ke depan, politik hukum Indonesia perlu diarahkan pada tiga hal:
- Sosialisasi luas dan transparan, agar masyarakat benar-benar memahami isi pasal.
- Pengawasan publik yang ketat, guna mencegah penyalahgunaan pasal karet.
- Dialog berkelanjutan antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil, sehingga pembaruan hukum berpihak pada rakyat.
Generasi muda juga harus meningkatkan literasi hukum agar tidak mudah dikriminalisasi. Dengan begitu, politik hukum tidak sekadar menjadi alat kekuasaan, tetapi benar-benar menjadi sarana melindungi rakyat.
Kesimpulan: Antara Reformasi Hukum dan Ancaman Demokrasi
Pengesahan KUHP Baru 2022 bukan sekadar pergantian kitab pidana, melainkan cermin arah politik hukum Indonesia. Di satu sisi, ini adalah capaian historis yang menegaskan kemandirian hukum dari kolonialisme. Namun di sisi lain, pasal-pasal kontroversial memperlihatkan politik hukum yang lebih menekankan stabilitas politik dan moralitas sosial ketimbang perlindungan kebebasan sipil.
Dengan demikian, politik hukum dalam KUHP baru ibarat pedang bermata dua: simbol kemandirian hukum sekaligus tantangan serius bagi demokrasi Indonesia. Implementasinya kelak akan menentukan, apakah KUHP benar-benar menjadi instrumen keadilan, atau justru alat pembatas kebebasan rakyat.
Penulis: Nafsa Fitri Alifa, Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA. (*)