Politik Ekologi Kemenangan Rakyat atas Ekstraktivisme Tambang Nikel Raja Ampat

waktu baca 7 minutes
Kamis, 19 Jun 2025 20:42 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Pluralisme politik (Robert Dahl) menegaskan bahwa dalam masyarakat demokratis, kekuasaan tersebar ke berbagai aktor. Dan bukan hanya terkonsentrasi di tangan negara atau elite ekonomi. Dalam konteks Raja Ampat, keterlibatan masyarakat sipil, tokoh adat, akademisi, dan media dalam memengaruhi keputusan negara menunjukkan bahwa pluralisme bukan sekadar teori, tetapi praktik nyata. Mereka menjadi kekuatan penyeimbang atas dominasi negara dan pasar. Mekanisme tekanan yang bersifat horizontal ini menciptakan demokrasi yang lebih deliberatif dan inklusif.

Pemerintah Indonesia resmi mencabut izin eksplorasi tambang nikel milik empat perusahaan di kawasan konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan yang diumumkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini menjadi respons atas tekanan massif dari masyarakat adat, akademisi, dan kelompok lingkungan nasional maupun internasional. Pencabutan ini menjadi penanda penting dalam pertarungan antara kepentingan ekonomi dan hak ekologis rakyat. Keputusan ini juga menjadi sinyal penting bahwa suara rakyat, bila terorganisasi dan terfokus, mampu menekan kekuatan korporasi dan negara.

Empat perusahaan yang dicabut izin usaha penambangannya, yaitu:

  1. PT Nurham
  2. PT Kawei Sejahtera Mining
  3. PT Anugerah Surya Pratama
  4. PT Mulia Raymond Perkasa

Keempat perusahaan ini terbukti tidak memiliki dokumen krusial seperti Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sejak tahun 2022. Mereka juga melakukan aktivitas tambang di zona lindung yang termasuk dalam UNESCO Global Geopark dan kawasan konservasi laut nasional. Mengapa izin tambang bisa diberikan di kawasan yang secara hukum termasuk wilayah konservasi laut dan geopark UNESCO?

Hal ini menunjukkan adanya kelemahan sistem pengawasan negara dalam menetapkan dan mengevaluasi izin usaha pertambangan. Keberadaan PT Gag Nikel (BUMN) yang tetap beroperasi meskipun berada di sekitar zona konservasi juga menyiratkan adanya standar ganda dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait konsistensi dan integritas pemerintah dalam menjalankan kebijakan konservasi berbasis hukum.

Tekanan Kolektif dan Titik Balik Publik

Kemenangan ini tidak terjadi tiba-tiba. Gelombang tekanan datang dari berbagai arah. Salah satunya adalah petisi daring yang memperoleh tandatangan dukungan lebih dari 200.000 orang. Ini menunjukkan tingkat kepedulian masyarakat sipil terhadap isu lingkungan hidup semakin meningkat. Partisipasi digital telah menjadi kekuatan mobilisasi massa yang tidak bisa lagi diabaikan.

Kajian ilmiah dari akademisi kelautan dan kehutanan memperlihatkan bukti konkret mengenai ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem jika tambang tetap beroperasi. Riset-riset ini menjadi fondasi penting dalam menyusun argumentasi kebijakan berbasis data.

Tekanan media nasional dan internasional telah mengangkat isu ini menjadi sorotan global. Raja Ampat sebagai ikon pariwisata dunia menjadi simbol bahwa eksploitasi tidak dapat dilakukan semena-mena, bahkan jika atas nama transisi energi sekalipun.

Gerakan masyarakat adat telah menunjukkan keteguhan dan legitimasi moralnya. Seperti dikatakan tokoh adat Pulau Waigeo, Yulianus Mambrasar: “Kami menolak perusakan, bukan pembangunan. Laut dan hutan adalah ibu kehidupan kami.” Ini adalah deklarasi yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat lokal dan penolakan terhadap narasi pembangunan yang eksploitatif.

Koalisi moral dan politis yang terbangun lintas sektor ini berhasil memengaruhi pengambilan kebijakan negara dan mengembalikan narasi pembangunan ke tangan rakyat. Dampak Lingkungan dan Pekerjaan Lapangan Greenpeace dan investigasi resmi mencatat lebih dari 500 hektare hutan dibuka, sedimentasi mengancam terumbu karang, dan dampak sosial terhadap masyarakat adat di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran

Dimensi Teoritis dan Analisis Politik

Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek tambang nikel di Raja Ampat masyarakat lokal atau elite nasional dan korporasi global?

Kedaulatan Rakyat Kedaulatan rakyat menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menentukan arah pembangunan. Bukan sekadar memberikan suara dalam pemilu, tetapi juga dalam menuntut pertanggungjawaban dan menyuarakan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan kolektif. Di Raja Ampat, rakyat menjadi aktor utama yang menolak pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang. Ini memperlihatkan bagaimana demokrasi substantif bekerja dalam realitas politik kontemporer.

Teori Rasionalitas Instrumental (Mazhab Frankfurt)

Rasionalitas instrumental mengacu pada pola berpikir teknokratis yang menempatkan efisiensi dan keuntungan ekonomi di atas nilai-nilai etis dan ekologis. Pemerintah bisa jadi mencabut izin bukan karena komitmen pada keadilan lingkungan, melainkan karena tekanan politik dan kehendak menjaga citra nasional di mata dunia. Kritik dari Mazhab Frankfurt memperingatkan bahwa jika keputusan lingkungan hanya berdasarkan pada hitung-hitungan strategis tanpa transformasi nilai, maka kebijakan serupa bisa dengan mudah dibatalkan di masa depan.

Ekstraktivisme dan Negara Global Selatan

Ekstraktivisme adalah model pembangunan yang menitikberatkan pada eksploitasi besar-besaran sumber daya alam demi pertumbuhan ekonomi. Negara-negara Global Selatan seperti Indonesia sering kali terjebak dalam logika ini karena tekanan global untuk menyediakan bahan mentah. Dalam kasus Raja Ampat, kebutuhan global akan nikel untuk baterai kendaraan listrik tidak bisa dijadikan pembenaran untuk merusak kawasan konservasi. Ini memperlihatkan paradoks: transisi energi hijau bisa tetap eksploitatif jika tidak dilandasi prinsip keadilan ekologis.

Postkolonialisme Ekologis

Ekstraktivisme juga merupakan bentuk baru kolonialisme: sumber daya negara berkembang diekstrak demi kepentingan negara industri. Dalam kerangka postkolonialisme ekologis, Raja Ampat menjadi arena resistensi terhadap model pembangunan yang tidak sensitif terhadap nilai lokal dan keberlanjutan lingkungan. Proyek tambang di kawasan adat dan konservasi adalah bentuk penjajahan baru yang mengabaikan otonomi komunitas lokal atas ruang hidup mereka. Apakah pemerintah akan menetapkan sistem indeks demokrasi ekologis seperti tingkat partisipasi publik dan proteksi hak adat sebagai indikator keberhasilan kebijakan?

Raja Ampat sebagai Laboratorium Politik Ekologis

Raja Ampat merepresentasikan konflik klasik antara ekonomi dan ekologi. Kawasan ini merupakan salah satu pusat biodiversitas laut dunia yang keberlanjutannya tidak bisa dikompromikan demi pertambangan. Pemerintah memang menjanjikan transisi energi, tetapi tidak boleh dilakukan dengan cara yang justru merusak landasan ekologisnya.

  • Ketimpangan Informasi

Sosialisasi tentang proyek tambang tidak dilakukan secara transparan. Banyak masyarakat adat baru mengetahui izin tambang ketika eksplorasi sudah berjalan. Ini mencerminkan krisis representasi dan kurangnya akses terhadap hak informasi publik.

  • Monopoli Narasi Pembangunan

Pemerintah dan investor sering menyempitkan makna pembangunan menjadi proyek fisik atau angka pertumbuhan ekonomi. Sementara narasi pembangunan berbasis ekologi dan kearifan lokal diabaikan. Padahal, pembangunan seharusnya melibatkan pemaknaan ulang dari bawah, bukan hanya dari atas.

  • Krisis Representasi Politik Lokal

Banyak pejabat lokal lebih condong pada kepentingan investor daripada warganya sendiri. Mereka menjadi corong pembangunan, bukan pelindung rakyat. Ini memperlihatkan bagaimana demokrasi lokal pun bisa mengalami kooptasi dan delegitimasi.

Langkah Lanjut Dari Simbol ke Struktur

  1. Pemulihan Ekologis

Langkah pertama adalah melakukan audit ekologis menyeluruh di wilayah terdampak. Restorasi terumbu karang, rehabilitasi mangrove, dan monitoring biodiversitas laut harus segera dimulai. Pemulihan ini perlu melibatkan masyarakat lokal sebagai penjaga alamnya.

  1. Penguatan Hak Masyarakat Adat

Pemerintah harus mengakui dan melindungi hak masyarakat adat secara konstitusional. Kenapa warga adat tidak dilibatkan sejak awalpadahal prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sudah diakui secara internasional? Penerapan FPIC (Free, Prior and Informed Consent) harus menjadi syarat mutlak setiap perizinan. Ini bukan sekadar formalitas, tapi jaminan perlindungan eksistensial komunitas adat.

  1. Reformasi Tata Kelola Tambang

Izin-izin tambang harus melalui proses evaluasi berkala yang terbuka. Sistem informasi berbasis digital dan partisipatif harus dikembangkan agar publik dapat memantau secara aktif. Evaluasi lingkungan pun harus dilakukan oleh lembaga independen.

  1. Redefinisi Transisi Energi

Transisi energi hijau tidak boleh menjadi kedok eksploitasi baru. Perlu kerangka regulasi nasional yang mengatur rantai pasok mineral secara adil dan ramah lingkungan. Indonesia harus menjadi pemimpin dalam transisi energi yang berkeadilan, bukan hanya produsen bahan mentah.

  1. Pembangunan Indikator Demokrasi Ekologis

Ukuran keberhasilan pembangunan tidak lagi cukup dengan PDB atau volume ekspor. Diperlukan indikator yang mengukur partisipasi publik, perlindungan hak komunitas, dan akuntabilitas korporasi dalam isu lingkungan. Ini akan menjadi tolak ukur baru dalam perencanaan pembangunan nasional.

  1. Pendidikan Ekologis dan Advokasi Publik

Kurikulum pendidikan harus mengintegrasikan isu-isu ekologi dan hak lingkungan. Kesadaran generasi muda harus dibangun sejak dini, agar mereka menjadi aktor pembela lingkungan di masa depan. Selain itu, organisasi masyarakat sipil perlu memperkuat advokasi dan literasi hukum lingkungan untuk melindungi komunitas akar rumput.

Refleksi Akademik dan Arah Masa Depan

Menurut Dr. Grita Anindarini dari ICEL: “Kemenangan rakyat seperti di Raja Ampat adalah titik cerah demokrasi lingkungan. Tapi perubahan struktural masih panjang. Kewaspadaan dan keterlibatan harus terus dijaga.” Pandangan ini sejalan dengan banyak akademisi lingkungan yang melihat kasus Raja Ampat sebagai “momen pembelajaran kebangsaan” mengenai batas antara kemajuan dan keberlanjutan.

Kasus ini membuktikan bahwa lingkungan bukan sekadar ranah teknis, tetapi politis. Bahwa ekologi dan demokrasi berjalan seiring. Dan bahwa rakyat bisa dan harus menjadi pelaku utama dalam menentukan masa depan ruang hidupnya. Dalam konteks geopolitik masa kini, penguatan demokrasi ekologis menjadi keharusan moral dan strategis bagi negara berkembang. Apakah masyarakat Indonesia siap mengubah cara berpikir tentang pembangunan dari sekadar pertumbuhan ekonomi menuju keberlanjutan ekologis?

Penulis: Rehan Akmal, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

Referensi Terkait:

Tagar:

#RajaAmpat #Ekstraktivisme #KedaulatanRakyat #PolitikLingkungan #TambangNikel #DemokrasiEkolog

 

 

LAINNYA