OPINI | TD — Peran perempuan dalam demokrasi Indonesia merupakan isu krusial yang menandai perjalanan panjang menuju kesetaraan gender. Meskipun konstitusi menjamin kesetaraan hak, realitas menunjukkan kesenjangan signifikan antara ideal dan implementasi.
Sebelum era Reformasi 1998, norma sosial patriarkal secara sistematis membatasi partisipasi perempuan dalam politik. Mereka dikonsepsikan sebagai figur domestik, peran mereka terbatas pada urusan rumah tangga dan subordinasi terhadap laki-laki. Stereotip gender yang kuat – laki-laki sebagai pemimpin rasional dan produktif, perempuan sebagai figur emosional dan reproduktif – menciptakan hierarki kuasa yang menghambat akses perempuan ke ruang publik, termasuk ranah politik.
Pandangan ini diperkuat oleh struktur sosial dan budaya yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Hambatan dan Tantangan Keterlibatan Perempuan: Internal dan Eksternal
Hambatan yang dihadapi perempuan dalam berpartisipasi di politik bersifat multi-dimensi, meliputi faktor eksternal dan internal. Hambatan eksternal mencakup:
Sistem rekrutmen politik yang tidak inklusif: Partai politik seringkali didominasi oleh jaringan patriarkal, menciptakan bias dalam proses seleksi calon legislatif dan pengambilan keputusan internal partai. Kriteria yang digunakan seringkali menguntungkan kandidat laki-laki yang memiliki akses dan modal sosial lebih besar.
Hambatan birokrasi: Akses perempuan terhadap informasi, sumber daya, dan proses administratif politik seringkali terhambat oleh birokrasi yang kompleks dan kurang responsif.
Kurangnya dukungan dari partai politik dan masyarakat: Kurangnya komitmen nyata dari partai politik untuk mendorong keterlibatan perempuan, serta sikap masyarakat yang masih menganggap politik sebagai ranah laki-laki, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi perempuan.
Hambatan ekonomi dan pendidikan: Kesenjangan ekonomi dan akses pendidikan yang tidak merata antara perempuan dan laki-laki menciptakan perbedaan kemampuan dalam bersaing dalam politik, yang membutuhkan sumber daya finansial dan jaringan yang luas.
Hambatan internal juga berperan signifikan:
Kurangnya kepercayaan diri: Sosialisasi gender yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi dapat menciptakan kurangnya kepercayaan diri dan ambisi politik.
Kurangnya kesadaran politik: Akses perempuan terhadap informasi politik dan pemahaman akan isu-isu politik seringkali terbatas, menghasilkan partisipasi politik yang pasif.
Kurangnya kemampuan dan pengalaman: Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan pengalaman dalam manajemen, kepemimpinan, dan advokasi politik menghambat perempuan untuk bersaing secara efektif.
Kebijakan Kuota dan Realitas di Parlemen: Sebuah Celah yang Menganga
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen sebagai upaya afirmatif. Namun, data menunjukkan bahwa capaian ini masih jauh dari target. Pada Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya mencapai sekitar 20,5 persen, dan data tahun 2023 menunjukkan angka yang sedikit meningkat menjadi 21,6 persen.
Perbandingan dengan negara-negara seperti Vietnam (30,3%) dan Rwanda (61,3%), yang telah mencapai atau melampaui target kuota, menunjukkan betapa Indonesia masih tertinggal dalam hal kesetaraan gender di parlemen. Kegagalan mencapai target kuota menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap implementasi UU dan strategi yang lebih efektif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kegagalan ini, antara lain lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, serta kurangnya komitmen dari partai politik.
Dampak Positif Keterlibatan Perempuan: Lebih dari Sekadar Angka
Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik berdampak positif terhadap kualitas kebijakan publik. Seperti yang disoroti oleh Vicky Randall dan berbagai studi lainnya, perempuan cenderung memprioritaskan isu-isu kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan perlindungan anak – isu-isu yang sering kali diabaikan dalam politik yang didominasi laki-laki.
Keterlibatan perempuan membawa perspektif yang lebih inklusif dan holistik, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Langkah Maju Menuju Demokrasi yang Setara: Sebuah Agenda Aksi
Meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik membutuhkan strategi komprehensif dan terintegrasi yang meliputi:
1. Penguatan pendidikan politik: Program pendidikan politik yang dirancang khusus untuk perempuan, mencakup pelatihan kepemimpinan, manajemen kampanye, dan advokasi politik, sangat penting untuk membangun kepercayaan diri dan kapabilitas.
2. Reformasi sistem politik yang inklusif: Partai politik perlu menerapkan mekanisme rekrutmen yang transparan dan adil, menetapkan target kuota yang lebih ambisius dan sistem sanksi yang tegas terhadap partai yang gagal memenuhinya.
3. Kampanye perubahan sosial dan budaya: Upaya untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap peran perempuan dalam politik sangat penting. Kampanye publik yang efektif dapat membantu menghancurkan stereotip gender dan mempromosikan nilai kesetaraan.
4. Penegakan hukum dan pengawasan yang efektif: Penegakan UU terkait kesetaraan gender dan pengawasan terhadap pelaksanaan kuota perempuan di parlemen mutlak diperlukan untuk memastikan komitmen politik terhadap kesetaraan gender.
5. Peningkatan akses terhadap sumber daya: Dukungan finansial dan akses terhadap informasi serta teknologi bagi perempuan yang ingin terjun ke dunia politik sangat krusial.
Penutup
Kesetaraan gender dalam politik bukan hanya tentang memenuhi angka, tetapi tentang memastikan bahwa suara dan perspektif perempuan terwakili dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan seluruh masyarakat.
Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan individu, Indonesia dapat mewujudkan demokrasi yang benar-benar inklusif dan berkeadilan.
Penulis: Ihsan Hidayat, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)