POLITIK | TD — Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, adalah ideologi politik yang diperkenalkan oleh Presiden Soekarno selama periode Republik Demokratik Indonesia, dari tahun 1959 hingga 1965.
Ideologi ini muncul sebagai respons terhadap kekacauan politik dan ketegangan sosial pasca kemerdekaan Indonesia. Nasakom menjadi arena di mana berbagai ide dan partai politik bersaing untuk meraih pengaruh dan kekuasaan.
Tujuan utama dari Nasakom adalah untuk menyatukan tiga ideologi utama yang ada di Indonesia, yaitu Nasionalisme yang diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Agama melalui Nahdlatul Ulama (NU), serta komunisme yang diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Soekarno, sebagai seorang pemimpin visioner, berusaha menciptakan pemerintahan yang inklusif, di mana seluruh elemen masyarakat dapat berpartisipasi dan berpengaruh. Harapannya adalah terciptanya stabilitas dan keadilan di tengah keragaman budaya dan agama di Indonesia.
Konsep Nasakom telah dipikirkan oleh Soekarno sejak tahun 1927, saat ia menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” di surat kabar Indonesia Moeda. Dalam artikel tersebut, ia menekankan pentingnya menggabungkan ketiga gagasan untuk melawan penjajahan dan memajukan bangsa.
Soekarno mengkritik sistem demokrasi saat itu, yang dianggapnya tidak memadai bagi Indonesia, karena lebih melindungi kepentingan negara kapitalis dan elit borjuis, serta tidak mampu menciptakan keadilan sosial.
Ia berpendapat bahwa sistem politik yang ada belum memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga diperlukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi sosial yang beragam.
Pada bulan Februari 1956, Soekarno mengusulkan konsep Nasakom sebagai landasan untuk membangun sistem pemerintahan baru yang dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin. Dalam upaya tersebut, ia berusaha mendapatkan dukungan dari ketiga pemimpin ideologi tersebut untuk memperkuat posisinya sebagai presiden, mengkonsolidasikan kekuasaan, dan mencopot jabatan perdana menteri dan wakil presiden, sehingga kekuasaan Soekarno semakin kuat.
Namun, meskipun Nasakom awalnya bertujuan menciptakan stabilitas, hubungan antara TNI dan PKI justru menghasilkan kekacauan yang semakin besar dalam pemerintahan. TNI, sebagai kekuatan militer dominan, merasa terancam dengan meningkatnya pengaruh PKI, terutama ketika PKI berhasil mendapatkan dukungan luas dari kalangan buruh dan petani. Ketegangan antara kedua pihak ini terus meningkat, dan meskipun Soekarno berusaha menyeimbangkan kekuasaan, situasi politik menjadi semakin sulit untuk dikendalikan.
Puncak dari konflik ini terjadi pada Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965, ketika kelompok yang mengaku PKI melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh beberapa Panglima TNI. Peristiwa ini memicu reaksi keras dari TNI dan masyarakat, yang berujung pada penangkapan dan eksekusi massal terhadap anggota dan pendukung PKI di seluruh Indonesia. Dalam waktu singkat, PKI yang dulunya merupakan salah satu partai politik terkuat di Indonesia mengalami kemunduran drastis dan akhirnya dibubarkan, menandai berakhirnya era demokrasi serta pengaruh Nasakom dalam politik Indonesia.
Setelah runtuhnya PKI, Indonesia memasuki era baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang dikenal sebagai Orde Baru. Pada periode ini, Soeharto menerapkan kebijakan anti-komunis yang sangat ketat, menghapus semua bentuk pengaruh PKI serta ideologi komunisme dari kehidupan politik dan sosial masyarakat.
Perubahan ini membawa dampak besar bagi lanskap politik Indonesia, di mana Nasakom yang pernah menjadi landasan pemerintahan Soekarno kini tidak lagi relevan. Pergantian kekuasaan ini juga menandai akhir dari praktik politik yang inklusif dan multikultural yang coba dibangun oleh Soekarno, digantikan dengan pendekatan yang lebih otoriter dan sentralistik di era Orde Baru.
Sejarah Nasakom memberikan pelajaran berharga mengenai tantangan dalam mengelola keragaman ideologi di dalam suatu bangsa yang kompleks. Meskipun Soekarno berupaya menciptakan kesatuan melalui ideologi ini, ketegangan yang berkepanjangan antara berbagai faksi menunjukkan bahwa perbedaan ideologi yang mendalam dan kepentingan politik yang bertentangan dapat memicu konflik yang merusak.
Lebih jauh lagi, sejarah Nasakom mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat beroperasi dalam konteks ideologi yang beragam. Soekarno berhasil menggabungkan kekuatan nasionalis, religius, dan komunis untuk membangun dukungan yang luas.
Namun, ketika PKI mulai mendapatkan kekuatan signifikan, hal ini menimbulkan kecemasan di kalangan militer dan kelompok lain yang merasa terancam. Ketidakmampuan untuk mengelola ketegangan ini secara konstruktif mengarah pada peristiwa tragis yang tidak hanya berujung pada pembunuhan massal, tetapi juga mengubah struktur sosial dan politik Indonesia secara permanen.
Dari perspektif sosial, dampak dari kebijakan selama era Nasakom dan pasca-Nasakom sangat terasa. Banyak orang kehilangan nyawa, keluarga, dan tempat tinggal akibat tindakan brutal setelah G30S. Trauma kolektif ini masih membekas dalam ingatan bangsa dan mempengaruhi hubungan antar kelompok etnis dan ideologi di Indonesia. Karena itu, penting untuk memahami bahwa pengelolaan keragaman bukan hanya masalah politik, tetapi juga masalah sosial dan kemanusiaan yang memerlukan pendekatan sensitif dan inklusif.
Pelajaran yang bisa diambil dari sejarah Nasakom adalah pentingnya dialog dan kompromi dalam menghadapi perbedaan ideologi. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, dialog antar kelompok sangat diperlukan untuk menciptakan pemahaman dan mengurangi ketegangan. Upaya untuk mengintegrasikan berbagai pandangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan politik dapat membantu mencegah konflik yang berpotensi merusak. Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin masa kini untuk belajar dari pengalaman masa lalu dan menciptakan ruang bagi partisipasi semua elemen masyarakat dalam proses politik.
Meskipun Nasakom telah berakhir, konsep ini tetap relevan dalam diskusi tentang ideologi dan identitas nasional di Indonesia. Dalam konteks globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, tantangan baru muncul yang memerlukan pemikiran kritis dan inovatif tentang bagaimana masyarakat Indonesia dapat bersatu dalam keragaman. Dengan mempertimbangkan pelajaran dari sejarah, diharapkan masyarakat dapat menemukan cara untuk merayakan perbedaan sambil tetap berpegang pada nilai-nilai kebersamaan dan persatuan.
Penulis: Muhammad Ridho Riyandi, Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi. (*)