Mengurai 6 Stigma Keliru yang Menghambat Pemahaman Kesehatan Mental

waktu baca 4 minutes
Sabtu, 27 Sep 2025 10:59 0 Nazwa

KESEHATAN MENTAL | TD – Pembicaraan tentang kesehatan mental kini semakin sering muncul, baik di media sosial maupun ruang-ruang diskusi publik. Meski begitu, stigma dan kesalahpahaman masih kuat melekat di masyarakat. Banyak orang yang berjuang dengan kesehatan mental justru harus menghadapi pandangan negatif, seperti dianggap lemah, tidak normal, atau bahkan dijauhi.

Hal ini membuat mereka ragu untuk mencari bantuan, menyembunyikan kondisinya, dan akhirnya memperburuk keadaan. Padahal, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan keduanya saling berkaitan erat dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Untuk itu, penting bagi kita memahami apa saja stigma yang keliru dan mengapa perlu diluruskan.

6 Stigma yang Salah Mengenai Gangguan dan Kesehatan Mental

1. Orang berkepribadian introvert sering dianggap anti sosial
Banyak yang menyamakan sifat introvert dengan perilaku anti sosial. Padahal, introvert adalah tipe kepribadian yang cenderung lebih nyaman dengan suasana tenang dan interaksi dalam lingkup kecil. Sementara anti sosial adalah kondisi psikologis yang ditandai dengan perilaku yang menentang norma sosial, bahkan cenderung merugikan orang lain. Menyamaratakan keduanya membuat orang introvert seolah dianggap “bermasalah”, padahal sebenarnya hanya berbeda cara dalam mengisi energi dan berinteraksi.

2. Orang dengan gangguan bipolar sering dianggap tidak waras
Stigma ini sangat merugikan serta membahayakan penderita bipolar. Gangguan bipolar ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem, dari depresi hingga mania. Menyebut mereka “gila” sama saja dengan meremehkan perjuangan yang mereka hadapi dan menambah beban emosional. Faktanya, dengan perawatan medis dan dukungan sosial yang tepat, orang dengan bipolar bisa hidup produktif, stabil, bahkan sukses dalam karier maupun kehidupan pribadi.

3. Munculnya depresi seringkali dianggap karena kurang beriman dan bersyukur
Pandangan ini masih sering terdengar di masyarakat, seakan depresi hanya masalah iman atau rasa syukur. Nyatanya, depresi adalah kondisi medis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ketidakseimbangan kimia di otak, trauma, hingga tekanan hidup berkepanjangan. Mengaitkan depresi dengan lemahnya iman justru dapat membuat penderita semakin terpuruk dan enggan mencari pertolongan profesional. Dukungan sosial dan pemahaman yang benar jauh lebih bermanfaat daripada sekadar menyalahkan.

4. Orang dengan gangguan mental dianggap tidak bisa sukses
Stigma ini membuat banyak orang dengan gangguan mental merasa tidak berharga. Padahal, sejarah mencatat banyak tokoh sukses yang pernah berjuang dengan masalah kesehatan mental, dari seniman hingga ilmuwan. Kesuksesan tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya gangguan mental, melainkan bagaimana seseorang mengelola kondisi tersebut dengan dukungan yang tepat. Memberikan ruang dan kesempatan bagi mereka adalah langkah penting untuk melawan stigma.

5. Gangguan kecemasan dianggap hanya sekadar rasa cemas berlebihan
Banyak orang mengira gangguan kecemasan hanyalah “overthinking” atau rasa gugup biasa. Padahal, kecemasan klinis bisa mengganggu kehidupan sehari-hari, membuat penderitanya sulit tidur, konsentrasi, bahkan beraktivitas normal. Menganggap remeh kondisi ini membuat penderita merasa masalahnya tidak valid. Padahal, terapi dan penanganan yang tepat dapat membantu mereka mengelola kecemasan dan menjalani hidup lebih seimbang.

6. Pergi ke psikolog atau psikiater sering dicap hanya untuk orang gila
Stigma ini menjadi salah satu hambatan terbesar dalam menjaga kesehatan mental. Banyak orang enggan berkonsultasi karena takut dicap “gila”, padahal psikolog dan psikiater justru ada untuk membantu siapa saja yang mengalami kesulitan emosional, stres, atau ingin meningkatkan kualitas hidup. Sama halnya seperti pergi ke dokter ketika sakit fisik, mencari bantuan profesional untuk kesehatan mental adalah langkah wajar dan sehat.

Tips Mengurangi Stigma dan Mendukung Kesehatan Mental

Selain memahami stigma yang keliru, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari:

  1. Gunakan bahasa yang tepat: Hindari menyebut orang dengan gangguan mental sebagai “gila” atau label merendahkan lainnya. Pilih kata-kata yang lebih empatik.

  2. Belajar dari sumber terpercaya: Cari informasi tentang kesehatan mental dari psikolog, psikiater, atau lembaga resmi agar pemahaman kita tidak salah kaprah.

  3. Dengarkan tanpa menghakimi: Saat ada teman atau keluarga yang curhat soal kondisi mentalnya, berikan ruang aman untuk mendengar tanpa langsung memberi stigma.

  4. Normalisasi mencari bantuan: Ingatkan bahwa pergi ke psikolog atau psikiater sama wajarnya dengan ke dokter umum. Ini bisa membantu orang lain lebih berani mengambil langkah.

  5. Jaga percakapan yang sehat: Biasakan membicarakan kesehatan mental sebagai bagian dari kesejahteraan hidup, sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Penutup

Stigma yang salah tentang kesehatan mental bukan hanya menyakiti mereka yang mengalaminya, tetapi juga memperlambat upaya masyarakat dalam membangun lingkungan yang lebih sehat secara emosional. Dengan meluruskan pemahaman, serta membiasakan diri bersikap lebih terbuka dan empatik, kita bisa menciptakan ruang yang mendukung siapa saja yang sedang berjuang. Kesehatan mental adalah bagian penting dari kesejahteraan hidup, dan sudah saatnya kita bersama-sama menghentikan stigma yang salah kaprah. (Nazwa)

LAINNYA