Menggali Akar De-Soekarnoisasi: Dampak Terhadap Nilai Pancasila dan Keadilan Sosial di Indonesia

waktu baca 5 menit
Kamis, 28 Nov 2024 19:02 0 170 Redaksi

OPINI | TD — Seperti yang kita ketahui, Dasar Negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dibuat dan dicetuskan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Pada sila ke-5, dijelaskan mengenai pentingnya pemerataan kesejahteraan, dihapuskannya ketimpangan sosial, dan keadilan dalam berbagai aspek untuk masyarakat Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa Soekarno memimpikan Indonesia yang bebas dari segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Seiring berjalannya waktu, setelah lepasnya jabatan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia, terjadi perubahan besar dalam interpretasi Pancasila. Hal ini disebabkan karena terbentuknya Paham De-Soekarnoisasi oleh Rezim Orde Baru.

Lalu, apa itu De-Soekarnoisasi? Menurut Adam (2018: 17), De-Soekarnoisasi adalah usaha untuk menggerus peran Soekarno hingga ke akarnya. Sementara itu, menurut Sudibyo (1998: 8), De-Soekarnoisasi adalah upaya untuk menetralisir pengaruh, mitos, dan simbol-simbol tentang Soekarno. Jadi, tujuannya yaitu untuk menghilangkan seluruh jejak Soekarno, mulai dari pemikiran atau ideologi Soekarno (Pancasila), bahkan nama tempat yang menggunakan nama Soekarno (Stadion Gelora Bung Karno yang diubah menjadi Stadion Utama Senayan).

Marhaenisme: Hilangnya Pengamalan Nilai-Nilai Pancasila

Dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Pancasila menurut Bung Karno”, Soekarno menyatakan bahwa ia sangat mencintai Sosialisme. Hal itu didasari karena kecintaannya terhadap agama Islam dan ketulusannya terhadap Tuhan. Ia menganggap bahwa Sosialisme merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Oleh sebab itu, ia menciptakan beberapa ideologi, salah satunya adalah Marhaenisme.

Marhaenisme dicetuskan oleh Soekarno pada tahun 1927 dengan tujuan untuk menggalang persatuan bagi kaum Marhaen. Marhaen merupakan istilah yang melambangkan rakyat miskin akibat kolonialisme. Soekarno, yang sangat menjunjung tinggi keadilan masyarakat Indonesia, tentunya sangat mengutamakan ideologi Marhaenisme ini, karena memberdayakan dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Ideologi ini sejalan dengan sila ke-lima Pancasila yang juga dicetuskan oleh Soekarno.

Soekarno mengemukakan bahwa Marhaenisme tidak akan keluar dari benang merah yang telah ditakdirkan pada tahun 1927, diantaranya:

1. Marhaen adalah suatu kaum miskin dan melarat, yang terdiri dari petani, buruh, tukang, dan kaum kecil lainnya yang menderita karena kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan oleh kolonialisme maupun imperialisme bangsa asing.
2. Domisili atau keberadaan kaum Marhaen ada di mana saja, baik di gunung, dataran rendah, dataran tinggi, maupun lainnya. Kaum Marhaen memiliki agama dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Keberadaan kaum Marhaen ini berdasarkan ideologi dan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
3. Sesuai hakikat dan kodratnya, kaum Marhaen berusaha melepaskan belenggu dari lingkaran kemiskinan dan mengharapkan adanya perubahan nasib dan kondisi kehidupan.
4. Ideologi Marhaenisme pada dasarnya adalah sebuah ideologi dan ajaran yang menghendaki penghapusan segala bentuk pertentangan dan perbedaan yang menyebabkan kesengsaraan dan ketidakadilan terhadap rakyat Indonesia. Tujuan ideologi ini adalah membuat masyarakat sejahtera dan adil berdasarkan Pancasila.
5. Cita-cita dari Marhaenisme adalah terhapusnya kemiskinan. Kemiskinan membuat kaum Marhaen menjadi sengsara dan mengalami penderitaan. Dengan dihapusnya kemiskinan ini, bisa mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang sejahtera dan adil tanpa kelas sosial.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, diperlukan sebuah kemerdekaan nasional yang merupakan jembatan emas. Jembatan emas terdiri dari dua jalan: Pertama, jalan kebaikan yang mengarah kepada rasa keadilan dan kemakmuran. Kedua, jalan keburukan yang mengarah kepada celaka dan masyarakatnya.

Sayangnya, pada era Orde Baru setelah dibentuknya De-Soekarnoisasi, ideologi ini dihapuskan. Di bawah pemerintahan Soeharto, Pancasila didasarkan pada prinsip ekonomi-politik daripada pemerataan keadilan masyarakat. Pancasila pada era Orde Baru juga lebih menekankan nilai persaingan dagang dan perdagangan bebas. Tentunya, hal ini sudah melenceng dari nilai-nilai Pancasila yang asli. Pergeseran nilai Pancasila semakin terlihat setelah era Reformasi, karena Pancasila diinterpretasikan sebagai dasar negara yang menekankan kapitalisme dan liberalisasi ekonomi, sehingga peran utama Pancasila sebagai keadilan sosial mulai lenyap.

Dampak De-Soekarnoisasi terhadap Nilai-Nilai Pancasila

Pengaruh dari De-Soekarnoisasi terhadap penghapusan jejak-jejak Soekarno ternyata menimbulkan dampak yang besar, terutama dalam pencapaian keadilan sosial. Setelah hilangnya peran sila ke-lima Pancasila, terjadi ketimpangan sosial dan kesenjangan sosial, dengan banyak orang kaya yang semakin kaya, sementara mayoritas rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Dampak negatif yang paling dirasakan yaitu para etnis Tionghoa yang mengalami pelanggaran HAM di tahun 1998.

Saat itu, Soeharto sangat mengagung-agungkan konsep Identitas Indonesia, namun dalam penerapannya, justru lebih difokuskan pada identitas ke-Jawa-an. Sehingga kelompok yang tidak sesuai dengan identitas Jawa harus direkonstruksi dan diasimilasikan. Hal yang sangat disayangkan, meskipun Rezim Orde Baru mengadakan program bantuan untuk rakyat miskin, pemerintah tidak memprioritaskan masalah kesetaraan sosial dan pemerataan kesejahteraan.

Hilangnya De-Soekarnoisasi di Indonesia

Setelah jatuhnya kekuasaan Soeharto, Era Reformasi menjadi era untuk memulihkan keadaan Indonesia yang sudah terpuruk cukup dalam, terutama hilangnya ajaran De-Soekarnoisasi. Pencabutan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 33 Tahun 1967 dan dibuatnya mandat pada tahun 2003, TAP MPR Nomor 1, menjadi saksi dalam memulihkan nama Soekarno yang negatif dan tuduhan yang tak berdasar.

Menurut Kuntowijoyo, pascareformasi, peran Soekarno kembali dipulihkan pada buku pelajaran dan mulai dipelajari sehingga nama Soekarno kembali naik. Sebaliknya, nama Soeharto yang telah ditulis dalam sejarah, terutama pada buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6” oleh Nugroho Notosusanto justru menyusut dan kalah populer dengan Soekarno. Faktor utama menurunnya kepopuleran Soeharto adalah masyarakat intelektual sudah mengetahui semua kebohongan Orde Baru tentang sejarah. Meskipun nama Soekarno kembali dalam historiografi sejarah Indonesia, nyatanya De-Soekarnoisasi tak sepenuhnya hilang. Hal tersebut masih dilakukan oleh beberapa kelompok atau organisasi yang berideologi transnasional dan liberal kapitalis.

Penulis: Nisrina Wulan Ramadhani, mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (*)

LAINNYA