TANGERANG | TD – Para pembaca sastra tentu mengenal Albert Camus, seorang penulis ternama Prancis yang terkenal dari aliran sastra absurdisme.
Absurdisme sebenarnya merupakan pandangan filsafat yang menganggap bahwa hidup seseorang tidak mempunyai tujuan, makna, maupun nilai yang tetap.
Albert Camus sebagai seorang penulis absurdisme menganggap tokoh yang ia tulis berada dalam keadaan absurd, yaitu tidak adanya kesesuaian antara keinginan manusia untuk mencari makna kehidupan, sedangkan dunia dalam kenyataannya tidak memberikan jawaban.
Selain sebagai absurdis, ia juga dikenal sebagai seorang eksistensialis. Dalam pemahamannya, Camus percaya bahwa seorang manusia memiliki kebebasan untuk meilih dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
Namun, ketika ia dikatakan sebagai eksistensialis, Camus menolak label ini. Mungkin hal ini disebabkan pandangannya yang berbeda dari eksistensialis seperti Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir.
Beberapa karya Albert Camus yang merupakan aliran sastra absurdisme yaitu L’Etranger (Orang Asing), esai Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), dan naskah drama Caligula.
Dalam karya-karyanya tersebut, Albert Camus melukiskan bagaimana reaksi tokoh-tokohnya menghadapi situasi absurd.
Selain itu, Albert Camus juga menuliskan tema-tema lain seperti kemanusiaan, moralitas, dan pemberontakan. Antara lain dalam novel La Peste (Sampar), esai L’Homme revolte (Pemberontak), dan cerita pendek L’Exil et le royaume (Eksil dan Kerajaan).
Albert Camus meninggal pada usia 46 tahun, tepatnya pada 4 Januari 1960 dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin, Prancis. Tiga tahun sebelumnya, pada 1957, ia mendapat anugerah Nobel Sastra atas kontribusinya dalam bidang sastra dan pemikiran. Ia kemudian dianggap sebagai salah satu penulis sekaligus filsuf paling berpengaruh pada abad 20. (*)