Marxisme di Tengah Ketimpangan: Apakah Kita Masih Hidup dalam Kelas?

waktu baca 5 minutes
Jumat, 13 Jun 2025 22:07 0 Patricia Pawestri

OPINI | TD – Di tengah gegap gempita kemajuan zaman, dengan jargon “Revolusi Industri 4.0”, digitalisasi, dan pertumbuhan ekonomi yang diklaim terus meningkat, realitas di lapangan menyuguhkan potret berbeda. Di balik gedung-gedung tinggi dan geliat perdagangan daring, jutaan pekerja masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural. Ketika sebagian kecil elit ekonomi menikmati kemewahan dan akses tanpa batas, sebagian besar lainnya justru harus bekerja ekstra hanya untuk sekadar bertahan hidup.

Apakah ini sekadar ketimpangan biasa, atau tanda bahwa kita masih hidup dalam sistem kelas seperti yang digambarkan Karl Marx ratusan tahun lalu?

Marxisme: Teori Kuno yang Tetap Relevan

Bagi sebagian orang, Marxisme mungkin terdengar seperti teori usang dari abad ke-19 yang tak lagi relevan dalam dunia modern. Namun kenyataannya, Marxisme bukan hanya tentang revolusi dan komunisme. Ia adalah cara berpikir, alat analisis sosial yang tajam untuk membedah ketimpangan yang terus berlangsung di tengah masyarakat modern, terutama di dunia kerja.

Karl Marx menyatakan bahwa sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Dalam sistem kapitalisme, masyarakat terbagi ke dalam dua kutub utama: kelas borjuis yang memiliki alat produksi, dan kelas proletar yang hanya memiliki tenaganya untuk dijual. Dalam struktur ini, ketimpangan bukanlah kecelakaan atau hasil kemalasan, melainkan akibat langsung dari sistem produksi yang tidak adil.

Dunia Kerja: Arena Kelas yang Nyata

Tak perlu melihat jauh untuk menemukan relasi kelas ini. Di pabrik-pabrik industri, buruh bekerja 8 hingga 12 jam sehari, namun upah mereka hanya cukup untuk bertahan hidup. Di balik layar platform digital, para pengemudi ojek online mengejar insentif yang makin tak menentu, sementara pemilik aplikasinya duduk nyaman menerima komisi dari tiap transaksi.

Fenomena pekerja kontrak, outsourcing, dan “kerja fleksibel” menjadi bentuk eksploitasi baru yang lebih halus namun mematikan. Para pekerja tak lagi mendapatkan perlindungan kerja, tak punya jaminan hari tua, dan bisa diberhentikan kapan saja. Ini yang oleh Marx disebut sebagai “prekarisasi” kondisi kerja yang semakin tidak menentu dan menggantungkan nasib pekerja pada mekanisme pasar yang keras

Di sisi lain, para pemilik modal justru diuntungkan dari sistem ini. Mereka bisa menekan biaya produksi, meningkatkan efisiensi, dan memaksimalkan laba. Sementara pekerja dipaksa menerima segala kondisi demi bisa bertahan. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, tapi tanda jelas bahwa relasi kelas masih hidup dan kuat.

Gig Economy dan Platform Kapitalisme 

Munculnya platform digital seperti ojek online, jasa antar makanan, hingga freelance marketplace memberi warna baru dalam dunia kerja. Banyak yang menyebutnya sebagai kemajuan teknologi, bahkan “demokratisasi ekonomi.” Namun, apakah benar demikian? Faktanya, para pekerja gig economy sering kali bekerja lebih lama, lebih keras, dan lebih tidak pasti. Mereka bekerja berdasarkan algoritma, bukan kontrak formal. Pendapatan bisa naik turun tergantung rating dan bonus, tanpa jaminan sosial apapun. Mereka bukan pegawai, tapi juga bukan wirausahawan penuh.

Dalam kerangka Marxis, ini adalah bentuk baru dari alienasi, keadaan di mana pekerja terpisah dari hasil kerjanya, dari proses produksinya, dan bahkan dari sesama pekerja. Mereka bekerja dalam sistem yang tidak mereka kendalikan, untuk keuntungan yang tidak mereka nikmati.

Ilusi Naik Kelas dan Kenyataan yang Statis

Kita hidup dalam budaya yang terus mendorong narasi meritokrasi: bahwa kerja keras akan membawa kesuksesan. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Banyak pekerja yang sudah bekerja bertahun-tahun tidak kunjung naik kelas. Harga rumah yang terus melonjak, biaya pendidikan yang mahal, dan kebutuhan pokok yang tak stabil membuat peluang mobilitas sosial semakin sempit.

Sebaliknya, mereka yang terlahir dari keluarga pemilik modal memiliki lebih banyak peluang sejak awal: pendidikan berkualitas, koneksi sosial, dan modal usaha. Ini memperkuat reproduksi kelas, di mana posisi sosial ditentukan oleh latar belakang, bukan sekadar usaha pribadi. Marxisme menyebut ini sebagai “hegemoni kelas dominan” di mana nilai dan narasi yang menguntungkan kelompok atas justru diterima dan diyakini oleh kelompok bawah. Banyak pekerja bahkan menyalahkan diri sendiri atas kemiskinan mereka, tanpa sadar bahwa mereka adalah korban dari sistem yang lebih besar.

Serikat, Solidaritas, dan Kesadaran Kelas

Di tengah himpitan ini, tidak sedikit buruh yang mulai membangun kesadaran. Mereka sadar bahwa persoalan yang mereka hadapi bukan persoalan pribadi, melainkan persoalan struktural. Kesadaran ini menjadi titik tolak lahirnya serikat pekerja, aksi mogok, hingga advokasi hak-hak buruh.

Sejarah membuktikan bahwa banyak hak pekerja yang kini dianggap wajar, seperti 8 jam kerja, cuti hamil, hingga jaminan sosial, tidak lahir dari belas kasihan pengusaha, tetapi dari perjuangan kolektif. Di Indonesia, gerakan buruh telah lama menjadi aktor penting dalam dinamika sosial politik. Aksi-aksi menolak UU Cipta Kerja, misalnya, menunjukkan bahwa pekerja tidak tinggal diam saat hak-haknya dirampas.

Marxisme memberi bahan bakar ideologis bagi perjuangan ini. Ia mengajarkan bahwa solidaritas adalah kunci untuk melawan ketimpangan. Bahwa perubahan bukan datang dari atas, melainkan dari bawah dari mereka yang sadar, bersatu, dan bergerak.

Kritik Bukan Berarti Anti-Kemajuan

Perlu ditekankan, mengkritik sistem bukan berarti menolak kemajuan. Marxisme bukan ajakan untuk kembali ke masa lalu, melainkan ajakan untuk menciptakan masa depan yang lebih adil. Dunia kerja yang sehat seharusnya tidak hanya menuntut produktivitas, tapi juga memberi perlindungan dan penghargaan kepada pekerja.

Mempertanyakan struktur ekonomi bukan berarti anti-bisnis, tapi mendorong agar sistem bisa lebih manusiawi. Agar mereka yang menciptakan kekayaan juga mendapatkan bagian yang layak. Agar kerja bukan jadi beban hidup, tapi jalan menuju kehidupan yang bermartabat.

Jadi, apakah kita masih hidup dalam sistem kelas? Jawabannya, secara terang: ya. Hanya saja bentuknya kini lebih halus, lebih terselubung, dan lebih dibungkus narasi modern. Namun relasi antara mereka yang menguasai alat produksi dan mereka yang menjual tenaga tetap menjadi fondasi ekonomi hari ini. Marxisme tidak menawarkan solusi instan. Tapi ia menawarkan lensa kritis untuk memahami ketimpangan. Di tengah dunia yang serba cepat, kadang kita butuh berhenti sejenak dan bertanya: siapa yang bekerja, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan?

Dari kesadaran akan struktur itulah, perubahan bisa dimulai. Karena selama ketimpangan tetap terjadi, perjuangan kelas tidak akan pernah benar-benar usai.

Penulis: Rianti Lestari Putri, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Editor: Patricia

LAINNYA