PENDIDIKAN | TD – Kecerdasan buatan (AI) kini telah melampaui batas imajinasi fiksi ilmiah. Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi ini telah mengalami perkembangan yang pesat dan mulai merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Di tengah pesatnya digitalisasi dan kemajuan AI, dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada pertanyaan krusial: seberapa siap sistem pendidikan nasional untuk menyambut era baru ini?
Literasi digital menjadi elemen kunci dalam menghadapi transformasi berbasis teknologi. Ini tidak hanya mencakup kemampuan untuk menggunakan perangkat digital, tetapi juga kemampuan berpikir kritis terhadap informasi, mengenali sumber yang dapat dipercaya, serta memahami cara kerja teknologi, termasuk AI.
Namun, data dari Indonesia Millennial Digital Index (IMDI) 2024 menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam memverifikasi informasi masih tergolong rendah. Kurang dari 50% masyarakat secara aktif memeriksa keakuratan konten digital yang mereka terima. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama di lingkungan sekolah dan kampus, di mana para pelajar sangat rentan terhadap disinformasi.
Dengan meningkatnya penggunaan AI dalam proses belajar mengajar, muncul pula tantangan etika. AI dapat memudahkan siswa dalam mengakses jawaban instan, menyusun tulisan, bahkan membuat presentasi dalam waktu singkat. Meskipun memberikan kemudahan, penggunaan AI tanpa bimbingan etis dapat menurunkan kualitas pembelajaran dan integritas akademik.
Etika dalam konteks ini tidaklah rumit. Ini berkaitan dengan sikap bertanggung jawab, pemahaman tentang batasan penggunaan AI, serta kesadaran bahwa tidak semua hasil yang dihasilkan oleh teknologi dapat diandalkan. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan dari guru untuk membentuk kebiasaan belajar yang tetap mengedepankan kejujuran dan pemahaman konsep, bukan sekadar hasil instan.
Hingga saat ini, pembelajaran tentang AI atau coding belum menjadi bagian wajib dari kurikulum nasional, terutama di tingkat dasar dan menengah. Beberapa perguruan tinggi, seperti ITB, mulai merancang kurikulum yang berorientasi pada AI. Namun, implementasi tersebut masih terbatas dan belum merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mulai mendorong literasi digital. Namun, program literasi tersebut masih perlu ditingkatkan, baik dari segi jangkauan maupun kualitas materi yang disesuaikan dengan perkembangan AI.
Dalam menghadapi era AI, peran guru mengalami perubahan yang signifikan. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, melainkan berfungsi sebagai fasilitator pembelajaran yang mengarahkan siswa dalam memahami dan menyaring informasi.
Tugas administratif yang selama ini membebani guru dapat disederhanakan dengan bantuan teknologi. Namun, hal ini juga menuntut guru untuk menguasai keterampilan baru. Pelatihan yang berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak agar guru dapat mengikuti perkembangan teknologi dan tetap relevan di ruang kelas modern.
Ledakan teknologi AI bukanlah ancaman jika direspons dengan strategi yang tepat. Pendidikan Indonesia harus memperkuat fondasi literasi digital, menanamkan etika penggunaan teknologi, dan menyiapkan tenaga pendidik yang adaptif. Perubahan ini tidak bisa ditunda. Kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, guru, dan masyarakat menjadi kunci agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta masa depan yang bertanggung jawab. (*)