Krisis Air Global: Tiadanya Akses Air Menyebabkan Kemiskinan Semakin Akut

waktu baca 5 minutes
Sabtu, 7 Des 2024 13:51 0 Patricia Pawestri

LINGKUNGAN | TD – Semakin hari, semakin banyak masyarakat global yang tak akan memiliki akses terhadap air yang mereka butuhkan. Hal ini terungkap dalam laporan World Bank dalam “Water for Shared Prosperity”.

Semakin sulitnya akses kepada air merupakan salah satu akibat dari jumlah penduduk yang semakin banyak diiringi urbanisasi yang semakin luas, serta dampak dari perubahan iklim.

Kesenjangan antara yang kaya dan miskin juga semakin memperparah sukarnya sebagian masyarakat untuk mendapatkan air dengan kualitas baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

World Bank mencatat peningkatan kebutuhan akses air di negara berkembang naik setiap tahun, yakni sekitar 65% sejak tahun 2000. Dan pada tahun 2014, terdapat 450 juta penduduk dunia yang tinggal di daerah sulit air. Umumnya mereka hidup dalam kemiskinan.

Dari perkembangan statistik tersebut, terdapat kekhawatiran bahwa kesulitan air akan menjadi berkali lipat pada tahun 2050 nanti.

Faktor-faktor Tiadanya Akses Air

Kesenjangan akses terhadap air dapat terjadi karena pengelolaan irigasi yang tidak merata. Dalam skala global, hal ini dapat ditunjukkan dari angka statistik yang menggambarkan Tiongkok bersama India, yang merupakan 36% populasi dunia, hanya memiliki 11% daerah yang memiliki sumber air tawar. Sedangkan Amerika Serikat, yang pendudukanya merupakan 5% populasi dunia, memiliki 52% sumber air tawar.

Di Afrika, separuh lebih dari seluruh sumber air tawar di benua tersebut dikuasai oleh Republik Demokratik Kongo. Padahal bagian benua lainnya, seperti Afrika Tenggara, sangat miskin air.

World Bank menuliskan, kelangkaan air akan terus terjadi dan lebih berdampak pada negara-negara berkembang. Karena di negara-negara tersebutlah, populasi manusia dengan cepat berkembang.

Dan, hal ini akan menjadi semakin memprihatinkan karena para penduduk terus menerus lebih menyukai untuk tinggal di perkotaan. Yang juga akan menyebabkan kebutuhan akan air diperkirakan akan naik hingga 80% pada tahun 2050 di kota-kota. Hal yang mungkin akan sangat sulit teratasi.

Dalam program kesehatan dan pangan pun, ketersediaan air akan menjadi faktor yang sangat meminta perhatian. Peningkatan populasi perkotaan dan kebutuhan untuk memenuhi konsumsi makanannya, akan menyebabkan kebutuhan air yang semakin besar.

Kesadaran untuk meningkatkan konsumsi protein hewani seperti daging untuk menghindari gizi buruk, misalnya, secara tidak langsung akan menaikkan kebutuhan ketersediaan air. Untuk menyediakan 1 kilogram daging demi memenuhi kebutuhan protein hewani, memerlukan 2 hingga 10 kilogram pakan ternak. Jika pakan tersebut berasal dari biji-bijian, maka dibutuhkan 1.000 hingga 3.000 liter air untuk menghasilkan 1 kilogram biji jagung, atau kedelai, atau lainnya.

Kebutuhan air perkotaan menyebabkan usaha untuk mengalirkan air sejumlah miliaran kubik dari mata-mata air yang berasal dari pedesaan melalui kanal dan infrastruktur air regional lainnya sepanjang ribuan kilometer. Meskipun hal ini menjadi solusi bagi kebutuhan air dari penduduk kota, tapi meninggalkan dampak negatif yang miris bagi penduduk desa yang miskin dan tak punya akses lagi terhadap air di wilayah mereka. Salah satu contoh nyata kasus ini adalah air yang mengalir keluar dari Owens Valley untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota Los Angeles.

Permasalahan lainnya tentang air adalah tingkat kemampuan tanah untuk meresapkan air yang datang dari curah hujan. Masing-masing wilayah mempunyai daya resap air yang berbeda. Misalnya banyak kota yang terletak di Asia Selatan dan Afrika yang memiliki tanah dengan kemampuan resap air yang terbatas. Tanah di wilayah-wilayah tersebut cukup subur dengan curah hujan yang cukup rendah.

Berbeda dengan kota-kota di Eropa yang memiliki tanah dengan daya serap air cukup tinggi tetapi hanya menerima sedikit curah hujan. Sedangkan tanah kota-kota di Amerika hanya memiliki daya serap air yang cukup kecil, padahal curah hujan cukup tinggi. Kondisi Amerika ini menjadi keuntungan karena terdapat cukup besar jumlah air yang dapat dikelola sehingga penduduknya memiliki akses yang cukup mudah terhadap air.

Sedangkan Asia Tenggara mempunyai keberimbangan antara tanah berdaya serap tinggi dan curah hujan yang tinggi pula. Hal ini juga terjadi di Afrika Tengah. Lain dengan Afrika Utara dan Asia Barat yang jarang hujan, dan jika hujan pun, tanahnya langsung kering.

Ketika air tidak terkelola dengan baik, hal ini akan menjadi bumerang saat pemerintah atau pengusaha berusaha mengalirkan air dari mata air pedesaan ke perkotaan. Alih-alih menghidupkan masyarakat di kedua tempat tersebut, hal itu justru akan mengubah wajah pertanian menjadi memelas karena tidak dapat menyediakan bahan pangan yang cukup, baik untuk desa maupun kota. Dan jika air tanah telah turun karena habis tersedot untuk kota, maka usaha pemompaan air untuk irigasi pertanian di desa (yang nyata-nyata memperbesar biaya pertanian hingga berkali lipat) pun akan sulit berhasil mengakses air.

Permasalahan ketiga mengenai air adalah perubahan iklim. Perubahan iklim, yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca, mempengaruhi pergantian musim menjadi tidak menentu. Hal ini akan mempengaruhi produksi pertanian. Dari perubahan iklim pula, cuaca ekstrem timbul menjadi sering dan semakin parah, serta mengakibatkan kerugian besar dari banjir maupun kekeringan.

Untuk itulah, sekali lagi, tata kelola air dalam bentuk irigasi sangat perlu. World Bank menuliskan, saat mengalami penurunan harga komoditas hasil pertanian, petani dengan irigasi yang baik masih diuntungkan karena hasil panen yang melimpah. Berbeda dengan petani yang tak mempunyai akses ke irigasi, hanya dapat merasakan kemalangan akibat turunnya harga, karena hasil panen yang sedikit.

Kesejahteraan Masyarakat Terwujud Berkat Tata Kelola Air

Contoh nyata dari keberlimpahan keuntungan petani dengan irigasi ini adalah Vietnam. Negara ini menginvestasikan 6,5 miliar dolar pada dekade 1980 hingga 1990. Dan menikmati kenaikan panen padi sebesar 50%. Sejak itu Vietnam berubah dari negara pengimpor beras menjadi eksportir beras terbesar kedua di dunia. Angka kemiskinan penduduknya pun berkurang 1,3% setiap tahun karena usaha pertanian tersebut.

Keterbalikan dari keuntungan Vietnam tersebut, negara di Afrika bagian Sub-Sahara tidak dapat memperoleh akses ke irigasi dan teknologi pertanian seperti benih unggul padi. Padahal ini adalah tanaman makanan pokok mereka. Tantangan ini masih berlangsung dan memerlukan inovasi tata kelola air yang belum terpecahkan.

Demikianlah krisis air global, yang bermuara pada sulitnya akses terhadap air, dapat berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat. Akses air yang mudah memerlukan usaha, terutama dalam bentuk investasi besar-besaran, agar air memiliki tata kelola yang baik. Keberhasilan tata kelola yang baik ini akan menyejahterakan seluruh kelompok masyarakat, sehingga terpenuhi kebutuhan hidupnya dan terhindar dari kemiskinan yang akut. (Pat)

 

LAINNYA